Itulah mengapa saya menyebut bahwa ini adalah ujian bagi hakim MK bagaimana kualitas demokrasi bisa dipenuhi. Mereka harus menjawab apakah DPR dan Presiden telah beres mengikuti prosedur pembuatan UU.
Mereka juga harus menelusuri politik hukum suatu UU. Misalnya UU Cipta Kerja yang dikatakan mempunyai tujuan menarik banyak investasi masuk untuk penciptaan lapangan kerja.
Hal ini terlihat sangat bagus, namun ada juga kekhawatiran pada perlindungan buruh. Presiden KSPSI Andy Gani Nena Wea yang mengajukan gugatan menilai UU Cipta Kerja telah mengangkangi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, melanggar hak-hak konstitusional kaum buruh dan masyarakat, dan menista hak asasi manusia.
Ada juga kekhawatiran timbulnya pertentangan antara pemodal dan pekerja. Publikasi Indonesia Jentera School of Law menyebutkan bahwa pemodal pada dasarnya berpikir untuk menekan biaya barang-barang modal seperti buruh dan tanah, termasuk lingkungan dan izin-izin eksploitasi sumber daya alam.
Pekerja tidak perlu lagi menjadi faktor biaya yang besar, tidak terlalu sulit untuk diatur, dan mudah dipecat andai ia tidak produktif. UU Cipta Kerja dianggap menjadi karpet merah untuk kepentingan investasi.
Ada demokrasi yang harus dirawat di tengah perdebatan panjang masyarakat dan pejabat tentang UU yang digugat. Tetapi, keyakinan penyelesaian masalah UU kepada MK membuktikan masih tingginya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara untuk mengadili sistem hukum dan sistem keadilan.Â
Sebelum putusan atas gugatan keluar, MK sekarang dianggap lebih mendekat terhadap lembaga kekuasaan lainnya. Bila saja itu terjadi, pemerintah dengan kekuasaannya secara politik harus mendekatkan diri kepada masyarakat untuk mencegah kemungkinan orang lain yang absen dalam isu ini menjadi bersimpatik terhadap arus perlawanan, sebagaimana telah dikatakan Benjamin Franklin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H