Sementara MK mempunyai wewenang mengadili:
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment).
Dari wewenang itu, terlihat bahwa MK sendiri mau tidak mau akan bersinggungan dengan Presiden dalam hal menguji UU Cipta Kerja dan UU lain yang diperkarakan.
Uniknya, enam dari sembilan hakim MK juga merupakan pilihan dari DPR dan Presiden. Sementara UU Cipta Kerja yang dibahas dengan cepat kurang dari setahun memperlihatkan sikap politik DPR dan pemerintah mendukung kelahiran UU Cipta Kerja.
Ada pula pemberitaan yang mengabarkan bahwa Presiden Jokowi pada Januari 2020 sempat meminta dukungan MK terkait pengajuan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang kala itu masih digodok.
Untuk mengurai masalah ini, semua kembali kepada independensi dan integritas moral para Hakim MK untuk tegaknya keadilan sistem hukum. Mereka harus menjunjung etika dan profesionalisme, tidak terpengaruh pada tekanan atau kebaikan dari pihak manapun.
Sebenarnya, cara yang bisa dilakukan untuk mencegah konflik kepentingan dan menjaga independensi adalah keterbukaan dan penolakan hadiah atau pemberian apapun yang sangat berpotensi mengganggu profesionalisme.