Beranjak ABG yang mendekati usia bangku SMP, Mamak membuat aturan baru lagi. Saya bersama adik-adik wajib melaksanakan kebaktian harian di rumah tiap jam 7 malam, Senin samapi Sabtu kecuali Minggu. Kami keluarga Katolik, tata cara kebaktian dibuat sederhana selama setengah jam.
Masing-masing di antara kami mendapat tugas siapa yang memimpin doa dan siapa yang membaca Injil. Sesi ibadah ditutup dengan Salam Maria bergiliran lalu meminta maaf kepada Mamak. Bagian ini menjadi evaluasi kepada kami anak-anaknya selama seharian. Loh, Bapak ke mana? Belum pulang dari pekerjaannya. Jadi, praktis waktu kami lebih banyak dihabiskan bersama Mamak.
Sesi sesi maaf-maafan atau evaluasi ini yang membuat jantung saya dan adik-adik saya berdebar-debar, kadang menegangkan karena tahu kesalahan yang dilakukan, apalagi kalau kami kakak-beradik bertengkar.Â
Kadang bisa menjadi tawaan karena kenakalan-kenakalan kami yang lucu dan menggelikan. Sebenarnya, kami punya kesempatan untuk membela diri, tapi rasanya tidak berarti banyak. Toh, akhirnya kami harus mengakui kesalahan pribadi masing-masing.Â
Saat bertandang ke rumah siapapun, harus kalem. Mamak memang sangat disiplin mendidik kami, tetapi dia akan membela kami habis-habisan jika ada orang yang mengusik.
Karakter itu akhirnya terbawa sampai saya dewasa. Saat kuliah di luar kota, saya terbiasa mandiri melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci pakaian, menyapu kamar, dan memasak.
Pengalaman masa kecil saya dibanding anak-anak zaman sekarang tentu memiliki banyak perbedaan. Disiplin ketat yang diajarkan oleh Mamak mungkin tidak ideal. Atau ini dianggap sangat mengekang bagi anak-anak yang seharusnya lebih banyak waktu untuk bermain.Â
Awalnya memang pahit. Ada positif dan negatif, ini hal lumrah. Saya tidak mau menyalahkan bagaimana perlakuan orangtua terhadap anak zaman sekarang. Naluri setiap Ibu adalah ingin anaknya tumbuh bahagia.Â
Tetapi, saya bangga memiliki pengalaman masa kecil dan didikan dari Mamak. Didikan yang memberikan pengalaman agar saya tidak gagap menghadapi kerasnya dunia, apalagi orang-orang sekarang sulit untuk saling memaafkan.Â
Berkat didikan dari kebaktian itu, saya pribadi sudah terbiasa untuk mengatur mana yang patut dibicarakan mana yang tidak patut diumbar ke banyak orang. Semua ada tempat dan momentum untuk saling meminta maaf dan mengevaluasi diri. Hal semacam ini tidak diajarkan banyak di bangku sekolah. Terima kasih, Mamak telah menjadi sekolah kehidupan. Ajaranmu menunjukkan apa arti dari kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H