Beberapa pergerakan lain yang andil dalam mengkampanyekan larangan miras antara lain The Woman's Christian Temperance Union (WCTU), The Anti-Saloon League, sampai Ku Klux Klan (KKK).
Amandemen ke-18
Larangan miras akhirnya berlaku secara nasional ketika amandemen konsitusi ke-18 berlaku pada 16 Januari 1920. Amandemen ini menyatakan produksi, pengangkutan, dan penjualan minuman keras yang memabukkan adalah ilegal.
Apakah larangan nasional itu berhasil? Ternyata tidak. Â Malah terlihat sebagai ironi.
Mark Thornton dalam artikelnya Alcohol Prohibition Was a Failure mengemukakan, awal larangan itu berlaku, konsumsi alkohol memang turun, tetapi angkanya kembali meningkat dalam beberapa tahun setelahnya.
Ekonom Clark Warburton dalam jurnal The Economic Results of Prohibition (1932) menuliskan secara detil kenaikan konsumsi tersebut.
Pada 1921 konsumsi per kapita minuman beralkohol berada di kisaran 0,2 galon alkohol murni. Namun, melonjak menjadi 0,8 galon alkohol murni pada 1922, kemudian naik lagi mendekati 1,2 galon alkohol murni pada 1923.
Konsumsi alkohol itu tidak hilang selama periode prohibition. Penyelendupan malah marak untuk memenuhi hasrat peminum yang membuncah. Mereka mendistribusi miras dengan memanfaatkan celah dari aturan turunan Volstead Act yang mengecualikan larangan miras untuk ritual keagamaan.
Di sisi lain, prohibition mengakibatkan banyak miras oplosan berbahaya beredar di masyarakat. Situs History menyebutkan, para pembuat miras ilegal telah memproduksi "gin bathup" dan rotgut selama periode larangan. Dengan rasa yang sangat bau, beberapa peminumnya mengalami kebutaan dan keracunan. Miras kualitas rendah telah membunuh kebih dari 10 ribu orang.
Dampak buruk lainnya, seperti diungkapkan Mark Thornton, penegakan hukum ketat sekalipun tidak mampu membatasi konsumsi miras. Malahan praktik kejahatan meningkat dan menjadi terorganisir.