DPR RI membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol. Ada polemik dalam RUU tersebut karena isinya memuat larangan untuk memproduksi, menyimpan, memasukkan, menjual dan mengonsumsi minuman beralkohol, Jumat (13/11/2020).
Perdebatan muncul, baik dari sudut pandang agama dan budaya dan norma lainnya. Percakapan itu menjadikan UU Larangan Minuman Beralkohol bertengger di trending topic Twitter.Â
Meski kontroversi, ternyata larangan minuman beralkohol bukan barang baru di dunia.
Awal abad ke-20, Amerika Serikat pernah memberlakukan larangan minuman beralkohol ini atau dikenal sebagai prohibition. Â
Meniliki ke sejarahnya, kehadiran minuman beralkohol di Amerika berhubungan erat dengan kedatangan orang-orang Eropa. Misalnya, imigran Skotlandia-Irlandia, memperkenalkan tradisi pembuatan wiski pada abad-18.
Bagi orang Eropa sendiri, miras sudah menjadi bagian dari budaya mereka. Pengaruh itu diteruskan sampai ke Amerika Serikat masa kolonial.Â
Miras dianggap dapat memberikan kekuatan. Alkohol memang memabukkan, tetapi mereka menganggapnya sebagai zat yang menyehatkan, bahkan diyakini dapat menghilangkan rasa sakit, lelah, memperlancar pencernaan hingga menangkal demam.
Saat sarapan, mereka menikmati anggur. Saat makan siang, mereka minum bir dan sari apel, lalu pada malam hari, mereka meneguk toddies, wiski olahan yang disajikan panas.
Perlahan, konsumsi minuman beralkohol meningkat. Pemerintah kolonial menangkap peluang pendapatan lewat penarikan pajak. Maka, pada 1630-an, pajak ad valorem dikenakan untuk produk miras anggur dan miras lainnya, baik produksi lokal maupun impor.
Dana itu digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan lokal, dari pendidikan di Connecticut, perbaikan penjara di Maryland, hingga memperkokoh pertahanan militer di perbatasan. Dalam relasi sosial, miras berfungsi sebagai alat untuk mengakrabkan pertemuan.