Apapun yang kalian posting dan tuliskan sangat berpotensi dikritik. Itulah media sosial.
Lantas, apa itu berarti Anda yang menyandang status 'istimewa' harus mundur dari media sosial demi menghindari kehebohan?
Tentu tidak. Sejatinya penilaian salah atau benar, patut atau tidak patut, merupakan perdebatan yang akan selalu terulang sepanjang masa kehidupan manusia. Manusia tidak akan bisa melepas dirinya dari kesalahan. Tak ada manusia yang sempurna.
Media sosial selalu memberikan kejutan. Seperti yang saya singgung, perkara benar atau salah suatu postingan selalu datang terakhir. Bisa jadi, hal sederhan menjadi luar biasa dan memberikan dampak positif bagi pengguna lainnya.
Barangkali di antara kita menganggap postingan dr Fika merupakan hal biasa: seseorang berfoto dengan mobilnya. Adanya pelanggaran karena larangan parkir tentu bukan suatu musibah besar. Dokter juga manusia biasa.
Lalu postingan itu menjadi viral karena dipersepsikan negatif. Artinya ada yang meleset dari perkiraan bahwa itu adalah postingan biasa.
Efeknya merembet ke segala lini. Beberapa saat setelah postingan itu viral, sebuah akun mengungkap praktik tersembunyi di dunia kedokteran di mana terjadi 'akad' antara oknum dokter dan sales obat untuk menambah pundi-pundi pendapatannya.
Semua orang bisa bersalah dan memperbaiki dirinya. Syaratnya adalah kepekaan yang diperoleh dari pergumulan individu lewat pendalaman pengetahuan, pendalaman nilai religiusitas dan sikap rendah hati.
"Hire character, train skill," kira-kira kalimat dari akun Twitter Kementerian Perdagangan @Kemendag pagi ini perlu kita resapi.