Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Albert Camus dan Nietzsche: Siapakah Manusia?

27 Januari 2020   08:10 Diperbarui: 27 Januari 2020   08:12 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejenak, kita pinggirkan kemacetan di jalan raya, banjir yang tak tahu kapan habisnya, dan cita-cita kita. Ada fenomena yang luput, barangkali sengaja kita lalaikan, dalam membangun cerita hidup.

Seperti rakyat kecil di bumi ini, humanisme selalu berada paling belakang. Namun semudah itukah memahami letak posisi ini? 

Humanisme berarti --isme dari manusia sebagai pusat segalanya. Cogito ergo sum, kata Descartes, "Aku berpikir maka aku ada." Ungkapan ini menunjukkan kepada kita sebuah tindakan (berpikir) mempertegaskan ke-ada-an itu sebagai aku.  Aku 'ada' selama aku memang berpikir. Dengan rasio, dunia hanya akan terungkap sebab aku memikirkannya.

Bagi penulis, muncul pertanyaan sederhana untuk sebuah jawaban yang hampir berabad-abad lamanya tak pernah terungkap jelas. Siapakah manusia itu? Aku sebagai yang 'ada' harus 'berpikir', bila sedang tidur, lantas, apakah aku ini tetap 'ada'? 

Aku sebagai subjek, aku sebagai manusia. Manusia sebagai yang 'ada' kemudian melegitimasi dirinya sebagai subjek. Demikian penulis melihat yang 'ada' tersebut sebagai wujud manusia itu sendiri.

Bagi filsuf Modern Thomas Hobbes, pendapat tersebut ditertawakannya. Manusia, katanya, serigala bagi manusia lain (Homo homini lupus). Manusia ada karena ia memangsa, menaklukan manusia lainnya. Bukan Hobbes saja yang memberikan definisi manusia. Bermacam-macam pendapat lahir ke alam fana tempat kita hidup. Manusia seakan-akan tak pernah habis.  

Lagi, manusia adalah makhluk tertawa (homo ridens), makhluk yang berkesinian (homo aestheticus), manusia beragama (homo religious), makhluk yang bekerja (homo faber, homo laborans).

Inilah humanisme. Dalam pencerahan (aufklarung), dia adalah salah satu wajah modernisme yang anggun. Ilmu pengetahuan berkembang, maju pesat, manusia mulai meninggalkan tradisi agama yang dianggap usang dan menjenuhkan. Rasio dalam sains mulai mendapat tempat mulia di atas manusia itu sendiri!

Begitulah manusia, tampak kecil, agung dan misteri. Memahaminya sama sukarnya dengan Tuhan sendiri. Dalam postmodernisme, keagungan dan misteri manusia semakin luas maknanya lalu beranak-pinak tujuh keturunan ke bawahnya. Filsafat tentang manusia semakin terpojokkan. Kontradiksi itulah, bagi penulis, wajah humanisme yang sekarang ini berdiri atau bersembunyi di balik tragedi.

Penulis menyederhanakan luasan topik humanisme tersebut ke dalam suatu pandangan absurditas dan pemberontak yang pernah dijabarkan oleh Albert Camus, sastrawan awal abad ke-20. Perlu dipahami, Camus adalah sama dengan penulis dan sastrawan Prancis lainnya yang tidak pernah mengkalim terang-terangan dirinya sebagai seorang filsuf maupun sastrawan humanisme. Analisa dan pembacaan atas karyanyalah yang menggerakkan naluri kita dan beberapa penulis lain meletakkan mahkota humanisme itu.

Manusia sebagai Subjek
Manusia hadir sebagai subjek. Dialah (subjek) yang pertama hadir, mengatur yang lain. Tuhan telah mati (Got ist tott) dan kitalah pembunuhnya, kata Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan pandangan nihilisme yang cukup banyak tergambar dalam absurditas. 

Tuhan sebagai satu-satunya penentu kehidupan manusia, satu-satunya sumber moralitas telah mati. Kematian Tuhan itu sebuah penanda bahwa subjek telah hilang dari kehidupan ini. Posisinya lantas jatuh kepada manusia. Nietzsche melihat dengan hilangnya subjek, maka kekacauan justru akan terjadi. Realita sedari lahirnya adalah sebuah chaos.

Lalu manusia menjadi subjek, makhluk yang berkehendak. Sanggupkah manusia mengemban tugas suci ini? Manusia menjadi penentu keadilan bagi kehidupan. Dia bertanggungjawab dalam menjawab dan memberikan keadilan itu bagi manusia. Ubermensch, manusia super rekaan Nietszche hanya sampai pada angan-angan tentang cerita indah kehidupan. Nietszche hanya meninggalkan angan-angan untuk sebuah fenomena yang terlalu sulit dicari jawaban mudahnya.

Tentang kematian Tuhan selanjutnya menggiring beberapa pemikir untuk menindaklanjuti persoalan ini. Mereka, sejauh penulis memandang, tak terlalu banyak memperdebatkan mengapa kematian Tuhan. Manusia mendapat perlakuan istimewa dalam filsafat dan dunia sastra. Apa yang menjadi kemajuan zaman dan peradaban akan menyelipkan kehendak manusia itu sendiri.

Dunia adalah objek bagi manusia. Dengan gairah tinggi, manusia memperkosanya. Inilah konsekuensi yang harus diterima manakala Tuhan telah mati. Baik dan buruk menyatu. Moralitas yang datang dari manusia hanyalah sebuah kejahatan baru pula, tampaknya. Kehendak untuk berkuasa bagi manusia tak lain adalah sebuah pembunuhan terhadap moralitas itu sendiri.

Kematian Tuhan bukan sebuah ketiadaan total bagi eksistensi Tuhan. Tuhan yang mati bukanlah Tuhan yang satu seperti kita yakini. Manusia akan menciptakan Tuhan yang baru atas kehendak manusia itu, semisal teknologi, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. 

Namun Nietzsche juga mengingatkan bahwa usaha tersebut, kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin tinggi akan berakhir pada kesia-siaan semata. Puncaknya, manusia akan menemukan ketiadaan makna (nihilisme).

Absurditas
Albert Camus setidaknya memiliki kesepahaman dengan Nietszche tentang sebuah kesia-siaan. L'Etrangers menunjukkan absurditas tersebut. Penokohan Mersault sebagai seorang yang aneh bagi masyarakat tampak dalam awal cerita. Tidak masuk akal seorang anak dengan raut wajah datar meneguk segelas kopi di atas peti mati ibunya. Tiada duka di hari itu.

Lanjut cerita di pantai. Mersault menembak mati seorang Arab yang sebenarnya tak ada urusan langsung dengannya. Justru temannya yang terlibat pertengkaran dengan si Arab tersebut. Namun atas perasaan yang membuat hina dirinya, peluru disasarkannya kepada orang Arab tersebut. Bahkan dalam keadaan tergeletak tak bernyawa sekalipun, tiga tembakan tetap dipelatuk Mersault.

Dia mendapat ganjaran atas perbuatannya. Hakim menjatuhkan hukuman mati. Baginya, entah alasan apa, penembakan tersebut harus disangkutpautkan dengan masa lalu, sewaktu kehadirannya pada pemakaman sang ibu. Dan hakim merasa itu perlu dipertimbangkannya, yakin pada vonisnya. Mati!

Mendekati hari terakhirnya, dia memiliki perasaan sama seperti orang lain, ingin menikmati sebuah kebebasan. Pendeta yang datang sebelum hari eksekusi bukan memberi jawaban tersebut, malah menambah kemarahannya. Sungguh, Mersault ingin menikmati hari terakhirnya dengan tenang tanpa perlu cerita indah tentang surga dan kehidupan setelah kematian. Di hari kematiannya, dia ingin masyarakat menyambutnya dengan teriakan kebencian.

Mersault bukanlah orang yang bertingkah laku seperti masyarakat pada umumnya. Manusia yang menurut pada tatanan sosial masyarakat justru kehilangan otonominya. Mersault tak ingin asing untuk dirinya sendiri, biarlah masyarakat menganggapnya demikian. Dalam dua titik ini, kebenaran sejatinya tidak menemui maknanya. Pencarian akan kebenaran tersebut hanya sia-sia. Sayangnya, Camus menunjukkan dalam novelnya bahwa individu telah takluk akibat kebenaran umum yang berlaku.

Pembunuhan bukan lagi sebagai pro-kontra manakala kita percaya pada ketiadaan (nothing), ketiadaan tersebut mempunyai makna, dan kita menyetujui bahwa di sana tidak ada nilai-nilai, maka segala sesuatu menjadi mungkin dan ketiadaan itu pun menjadi suatu hal yang tidak penting. Tak ada pro kontra: pembunuhan itu bukanlah sesuatu yang benar atau salah.

Untuk mengatakan bahwa hidup itu absurd, maka hati nurani perlu dihidupkan. Sejak saat kehidupan ini dikenal atau diakui sebagai sesuatu yang baik, maka hal itu baik untuk semua orang.

Absurd kontradiksi dalam dirinya. Sebab, dalam keinginannya untuk menegakkan hidup, ia mengeluarkan semua pertimbangan nilai, padahal, bila kita hidup berarti suatu pertimbangan nilai. 

Paham absurd, dalam bentuknya yang paling murni, mencoba untuk tetap membisu. Jika ia menemukan suaranya, itu disebabkan karena ia telah terpuaskan dengan dirinya sendiri atau mempertimbangkan dirinya sebagai sesuatu yang sementara.

Kematian dan Pemberontakan
Kematian sendiri absurd, selama orang tak lagi menerima kenyataan yang transenden. Menjelang kematian itulah setiap orang berhadapan dengan kenyataan yang diinginkannya. Kematian kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan. Apa gunanya membangun peradaban sekian lama namun kita akhirnya ditelan kematian?

Masa depan adalah sesuatu yang absurd, tak pernah bisa dipahami. Camus amat konsekuen dengna pandangannya bahwa seorang absurd tak bisa berbuat selain menggeluti absurditasnya saat ini. Camus menolak segala bentuk futuriseme dan ideologi yang menjanjikan hari yang indah dan masa depan yang cerah.

Manusia yang menyadari absurditasnya dapat menyerah atau putus asa begitu saja. Namun, ada pilihan untuk memberontak. Camus lebih memilih alternatif ini. Pemberontakan ini harus konsisten dengan menyadari kodrat dunia seraya menolak turut masuk ke dalam tragedinya.

Kematian merupakan sindiran terhadap seluruh rencananya, maka pemberontakan merupakan ekspresi kebebasan yang istimewa: menyatakan diri benar kendati harus menjalankan hukuman mati. Seseorang harus mengumpulkan pengalaman pemberontakan sebanyak-banyaknya. Pemberontakan dapat dilihat sebagai reaksi positif dari kemacetan dunia karena absurditas itu.

Manusia sebagai pelayan ide (kehendak)
Pandangan Camus, bagi penulis, menerangkan dimensi waktu bahwa manusia hidup dalam 'saat ini'. Sisipus bisa saja memberontak terhadap hukumannya bila saat ini memang menjatuhkan martabatnya.

Dewasa ini, ide maupun kehendak manusia bertemu dengan otonomi manusia. Ini titik penting bagi manusia, dia harus melawan ide atau patuh terhadapnya. Sebagai warga negara, ide tersebut mulai dibungkus rapi sebentuk ideologi. Atas nama ideologi tersebut, peristiwa di luar akal sehat terjadi sebanyak mungkin, walau beberapa orang akan menolak dengan berbagai pertimbangan.

Atas nama bangsa dan negara, sikap patriotik terutama kalangan militer, seseorang bertaruh sebagai subjek yang otonom. Manusia bukan tak mungkin bergelut sendiri walau jelas dia harus merelakan kebebasannya. Angan-angan dan cita-cita tentang masa depan, manusia perlu merefleksikan kehendaknya.

Tulisan ini tayang kali pertama di overblog penulis dengan judul, "Pemberontak dari Absurditas" pada 16 Oktober 2016.

Catatan penulis: Peristiwa banjir dan kemacetan yang disinggung di awal tulisan berlatar kota Malang pada 2016 lalu. Meski 3 tahun berlalu, penulis menganggap kejadian tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini, tanpa mengubah esensi dan substansi pembahasan. Publik banyak membahas dan mengomentari peristiwa serupa yaitu banjir yang terjadi pada awal Januari tahun 2020 yang mendera warga Jabodetabek dan kota lain di Indonesia.

Daftar Pustaka
Borgias, Fransiskus, Manusia Pengembara. Jogjakarta: Jalasutra, 2013
Camus, Albert, Pemberontak. Jogjakarta: Narasi, 2015
Astri Adriani Allien: Makna Kehidupan Manusia Menurut Albert Camus, FIB Undip. Diunduh 17 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun