Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado Istimewa buat Ayah

25 Januari 2020   02:02 Diperbarui: 25 Januari 2020   02:22 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak laki-laki (Photo by Nico van Diem from FreeImages)

Bocah kecil itu berlari mengejar kumbang di pekarangan yang menyerupai kebun dengan hamparan bunga matahari mengisi permukaan tanah. Dia berusia 7 tahun seperti anak-anak lainnya yang duduk di bangku kelas 2 SD. Katanya kepada sang Ibu sambil menunjuk kumbang itu, "Bisakah aku terbang?" Jawab Ibu, "Suatu saat". Setelah itu dia mengangkat tubuh mungilnya tinggi hingga menyentuh ujung ventilasi pintu. "Terbaaaang...," teriak si bocah kegirangan.

Anak itu bernama Nadam. Dari kejauhan setelah selesai bermain, dia mendengar suara deru mobil yang melaju mendekatinya. Ayahnya sampai di rumah dengan wajah kusuk setelah seharian melepas tenaga dan pikiran pada pekerjaannya. Nadam kembali berucap, "Aku ingin terbang." Mendengar sahutan itu, Ayahnya hanya memberi senyum kecil.

Terbesit di pikiran sang Ayah, bagaimana Nadam kelak dewasa. Nadam adalah bocah yang riang namun juga keras kepala. Ada bayangan yang agak mengganggu sang Ayah sebab dua hari lalu dia menghadap ke Ibu Guru Yanti, wali kelas sang anak di sekolah yang mengeluhkan kelakuan Nadam hingga tak acuh terhadap pelajaran.

"Dia masih anak kecil, saya harap Anda memahaminya," kata si Ayah kepada guru.

"Tetapi dia mengganggu anak-anak lain. Bagaimana pun aku sering menerima keluhan dari orangtua lainnya yang berkeberatan setiap hari selalu ada perkelahian di antara anak-anak mereka karena kelakuan Nadam," ucap Guru Yanti.

Pikiran sang Ayah mulai kalut mendengar alasan Guru itu. Baginya, anak-anak tetaplah anak-anak. Namun, soal pertengakaran Nadam, ia belum bisa menjawabnya.

Sore itu selepas dari jam kerja, si Ayah bergegas menuju lokasi parkir kantor, menyalakan Toyota Corolla kendaraannya untuk berjalan menuju kawasan Blok M yang berjarak 10 km dari tempatnya. Dia berharap di tempat itu bisa menemukan 'ramuan' untuk mengubah laku Nadam yang bila sekali lagi melukai temannya, maka sekolah akan mengeluarkannya.

"Saya mencari sesuatu yang bisa terbang," ucap Ayah kepada penjual toko mainan.

"Terbang? Maksudmu sebuah pesawat terbang? Aku tidak memilikinya...," sahut penjual itu.

Belum selesai berucap si penjual tadi, dia lekas bergeser menuju toko sebelah dan meminta hal yang sama. Rasa panik membuat Ayah bertindak lebih cepat dari biasanya. Namun, pesawat yang diinginkan habis terjual hingga 3 toko berikutnya.

"Apa tempat ini memang tak menjual apapun untuk terbang?" ucap Ayah dengan agak frustasi kepada penjual mainan di ujung lorong terakhir. Nyaris putus asa dengan apa yang dia cari, dia mulai bercerita mengenai persoalan Nadam. Kisah yang tentu tak diinginkan orangtua manapun ketika anaknya sedang dirundung perkara yang bagi orang dewasa pun sulit menerimanya. Mendengar itu, si penjual mulai memberinya alternatif.

"Mungkin barang ini bisa membantu," katanya sambil mengangkat sebuah sport car mini yang dibungkus bersama sebuah remote control.

"Mobil? Apa ini mobil terbang? Wow menakjubkan!"

"Bukan, hanya mobil mainan biasa. Anda cukup menggerakkannya dengan konsol, ke kiri, kanan, maju, mundur." Dan seolah menjadi pembaca filsafat yang bijaksana dia berujar, "Anda tak perlu memperlihatkan pesawat untuk menyenangkannya, berikan mobil ini karena aku yakin imajinasi akan terbang lebih tinggi dari pesawat tercanggih manapun," ucap penjual itu.

Bujuk rayu penjual berhasil menenangkan hati si Ayah. Segera mainan itu dibawanya pulang. Dan dalam perjalanan, suara deru mesin mobil kembali mengajak Nadam untuk keluar rumah, menyambut kedatangan ayahnya yang molor setengah dari jam pulang biasanya.

Diberikannya mobil mainan itu kepada Nadam dan dengan girangnya Nadam melompat kegirangan mendapati kado yang diterimanya.

"Terima kasih, Ayah," kata Nadam.

"Ajaklah teman-temanmu untuk bermain bersamamu."

"Nggak!" dengan lantang Nadam menolak.

"Jangan keras kepala, besok kau harus mengajak temanmu ke mari. Jika tidak, Ayah akan menahan mainan ini."

Perintah sang Ayah telah membuat kedua mata Nadam melembab hendak menangis. Agak sulit memenuhi kemauan yang mengecewakan itu. Dia ingin berlari melampiaskan sedihnya kepada sang Ibu.

Hari demi hari berganti, Nadam mulai terbiasa menghabiskan waktu sore bermain dengan teman-temannya, bergilir mengontrol mobil mainan bertipe sedan hitam. Supaya terlihat keren, Nadam menggambarkan logo Toyota di kap mobil karena hanya merk ini yang dia tahu, berharap sang Ayah juga bisa mengganti wujud mobilnya seperti sport car mainan miliknya.

Permainan ini juga membuat Adi, Rendi, dan teman-temannya yang lain menginginkan mainan serupa dan membujuk kedua orangtua mereka untuk membelikannya.

Itulah yang membuat sang Ayah akhir-akhir ini tersenyum lebar, seperti tiada lagi kecemasan yang menghantuinya sejak teguran di sekolah. Tiba-tiba di tengah permainan, mobil mainan yang tengah bermanuver menghindari gundukan tanah terlihat tak bergerak. Lagi-lagi daya baterainya telah habis.

"Ayah, apa baterai mobilku bisa diganti dengan baterai mobil Ayah?"

"Itu mustahil Nadam," jawab sang Ayah sambil tertawa. "Mobil Ayah bergerak karena memakai bensin, bukan baterai. Mari kita isi ulang lagi baterai mobilmu," ujar Ayah.

Tapi apa yang disampaikan Ayahnya ternyata membuat Nadam terkejut. Ia mengira Ayahnya berbohong tentang baterai di mobilnya. Satu waktu saat menemani Ayahnya mengisi bahan bakar di SPBU, wajahnya asyik memandang nozzle yang menusuk masuk ke muncung tangki bensin. 

Setibanya di rumah, setelah mobil terparkir dan beberapa menit setelah Ayahnya duduk bersantai menonton TV, Nadam merengsek masuk ke kolong mobil. "Di mana baterai mobil ini?" Namun seperti apa yang dilihatnya, hanya terlihat rangkaian logam yang menyatu satu sama lain yang membuat Nadam keheranan.

Sejak itu, keingintahuan Nadam tentang misteri baterai di mobil semakin dalam. Sebuah barang sederhana, namun dengan mekanisme listrik yang rumit untuk dipahami anak-anak seusianya.

Di kelas 2 SMA, dia baru puas mengetahui mobil di era modern memang tak digerakkan oleh tenaga listrik. Namun, sejarah telah lebih dahulu menembus imajinasi Nadam ketika William Morrison menciptakan mobil elektrik pertama pada 1890 dengan 24 storage battery cells yang dipasang pada bagian depan kendaraan.

Dari sebuah mobil remote, Nadam semakin giat mencari seluk beluk soal listrik dan baterai. Ia memutuskan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi untuk mendalami teknik kimia yang kadung merayapinya sejak keingintahuannya akan baterai mobil mainannya.

Namun, keputusan itu bertolak dengan keinginan sang Ayah yang berharap dia menempuh pendidikan kedokteran yang konon punya kepastian ke depan soal pekerjaan. Ayahnya adalah orang yang ketat dalam mempertimbangkan suatu hal. Maka dia mencemooh keputusan Nadam yang dianggapnya hanya berdasarkan kesenangan dan sensasi.

12 Februari 2019, menjadi hari tak terduga bagi Nadam. Ayahnya berkunjung ke kediamannya di Surabaya bersama Ibu, mengendarai Toyota Corrolanya dari Jakarta, tanpa pemberitahuan apapun. Nadam mengingat betul suara deru mesin itu.

"Kalian mengejutkanku," kata Nadam.

"Oh, kami seperti listrik yang menyengat" kata Ayahnya berseloroh.

Nadam kini berprofesi sebagai insinyur kimia industri dengan kelibatannya dalam proyek pengembangan baterai lithium sebagai tenaga mobil listrik. Kepada ayahnya, Nadam mengatakan akan menghadiahkannya sebuah mobil listrik.

"Kau ingin memintaku bermain mobil listrik dengan remote controle?"

"Bukan, ini mobil listrik sesungguhnya."

"Oh, ya! Aku mulai khawatir kau benar," kata Ayah yang mengira Nadam lagi-lagi bercerita memori masa lalu. "Apa itu juga Toyota?"

"Ya. Aku tak berbohong," jawab Nadam. "Yakinlah padaku, aku akan merakitnya untukmu. Mobil listrik pertama untukmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun