Sederhananya, pemerintah bisa saja memerintahkan agar beras CBP diserahkan kepada warga yang membutuhkan. Ini benar dan sudah terlaksana. Ada program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Bulog juga menyalurkan beras ke BPNT.
Tapi penyalurannya tidak bisa maksimal, dugaannya karena ada praktik tidak beres di lapangan sehingga warga penerima manfaat enggan membeli beras Bulog yang disebut berkutu, namun belakangan Buwas membantahnya.
Atau kemungkinan lain bahwa oknum di lapangan sengaja mengisi beras kualitas buruk dengan kemasan bermerek Bulog. Warga yang waras meski lapar tentu berpikir ulang jika harus membeli beras buruk.
Di saat beras CBP belum tersalurkan maksimal, pada saat bersamaan Bulog harus membeli beras/gabah petani. Gudang semakin sesak, padahal kapasitasnya terbatas. Beras makin banyak, tapi yang keluar sedikit. Sementara kualitas beras akan selalu menyusut seiring berjalannya waktu.
Maka, tidak ada jalan lain. Pemerintah harus tegas menugaskan Bulog menyalurkan beras BPNT karena itu peluang agar beras CBP bisa dilepas dan mengenyangkan perut warga.
Di sisi lain, pengawasan harus diperketat, jangan ecek-ecek karena bukan tidak mungkin akan ada oknum yang gerah bersaing harga dengan beras Bulog yang kompetitif.Â
Setidaknya kita yang peduli pada masalah pangan ini juga mau berpartisipasi untuk mengawasi tata niaga pangan. Jangan lengah dengan celah sekecil apapun, karena akumulasinya akan membengkak dengan memperkirakan 260 juta penduduk Indonesia yang perlu makan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H