Pemilihan Presiden RI 2019 tinggal menghitung hari. Masing-masing tim pemenangan mempunyai kalkulasi dan tindakan terukur demi memenangkan Calon Presiden: Joko Widodo atau Prabowo Subianto.Â
Tim pemenangan akan bekerja maksimal demi meningkatkan kepercayaan, mempertahankan keuntungan persentase suara sementara atau menjatuhkan lawan dengan mempertimbangkan kualitas masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Semua cara akan dilakukan dalam beberapa hari ke depan demi mencapai satu tujuan: menjadi seorang Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024.
Maka dari itu, segala peristiwa dan opini yang terjadi dari detik ke detik kian menjadi penentu. Arah angin dapat berubah cepat. Hari ini, misalnya, tidak banyak yang mempedulikan masalah hukum yang menjerat Ahmad Dhani. Isu hukum Ahmad Dhani digantikan bergabungnya Ahok ke PDIP dan Abu Janda yang dituduh bagian Saracen.Â
Topik mengenai jeratan hukum Ahmad Dhani tidak lagi relevan untuk disinggung sekarang. Meski begitu,,toh orang-orang menanti tindak lanjut penegak hukum selanjutnya. Namun satu langkah hukum dapat menimbulkan seribu tafsir, hal yang membuat para penegak hukum harap berhati-hati.
Jika Ahmad Dhani tidak populer, bagaimana dengan Jerinx Superman is Dead? Pemukul drum asal Kuta, Bali, ini sama keras kepalanya seperti Ahmad Dhani. Keras kepala namun sedikit yang benar-benar peduli.
Sejarah perlawanan keduanya berbeda. Jerinx kekeuh untuk mempertahankan perlawanannya karena ia masuk dalam realita. Pertama mengenai Bali Tolak Reklamasi dan terakhir mengenai penolakan RUU Permusikan. Ia pun tidak menolak dianggap sebagai 'evil' akibat perjuangan tersebut.
Figurnya tidak sepopuler Ahmad Dhani yang ternyata mampu menggerakan emosional pendukung pasangan nomor urut 01 dan 02.Â
Dia adalah musisi yang sangat mengganggu kemapanan cara bertindak dan berpikir masing-masing tim pemenangan Capres-Cawapres. Sekalipun Jokowi menggemari musik SID, hal tersebut tidak otomatis menggerakkan Jerinx untuk mendukungnya.
Dia tidak mengajak penggemarnya untuk membahas utang negara, hoaks, dan isu populer lainnya. Bali tolak reklamasi dan tolak RUU Permusikan adalah harga mati yang tidak dapat ditawar.
Sama-sama memperjuangkan keadilan dan kemakmuran rakyat, namun ia tidak berada dalam barisan pendukung Prabowo-Sandiaga. Jerinx SID mempunyai pandangan sendiri menyikapi kesenjangan dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat.
Jerinx SID adalah satu dari sekian komunitas atau orang-orang yang memutuskan untuk tidak memilih pada Pilpres 2019. Katadata.id dalam beritanya medio Januari 2019 lalu melaporkan, potensi golput diperkirakan mencapai 20 persen berdasarkan survey Indikator Politik Indonesia. Angka itu termasuk mereka yang belum menentukan pilihan (undecided voters) sebesar 9,2 persen dan swing voters sekitar 14 persen.
Masih dari sumber yang sama, Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menjelaskan, mereka yang golput dapat meningkat dari kubu pendukung petahana. Kekecewaan pada pemerintahan Jokowi yang sebelumnya mereka dukung pada 2014 adalah satu alasannya.
Hal itu berhubungan pada janji politik Jokowi yang mengatakan akan mengakomodasi agenda-agenda terkait penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Jerinx SID dan aktivis lingkungan lainnya yang sebelumnya mendukung Jokowi pada Pilpres 2014 kini semakin beralasan kuat untuk tidak mendukung dia akibat kemelut reklamasi Telok Benoa yang tidak kunjung usai.
Ditambah lagi pada akhir-akhir ini, Jerinx terlihat semakin bersemangat untuk melambungkan penolakan RUU Permusikan bersama musisi lainnya. Hanya saja, isu RUU Permusikan tidak mendapat perhatian luas meski RUU tersebut berpeluang menjadi celah pada ancaman kebebasan berekspresi.
Satu-satunya peluang terletak pada Presiden Joko Widodo. Namun, sampai saat ini, pemerintah urung menanggapinya secara serius. Belum ada tanda bahwa Presiden Joko Widodo akan turut menolak RUU Permusikan yang diprioritaskan tuntas pada tahun 2019.
Sungguh aneh memang, isu-isu HAM, lingkungan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang sangat fundamental dalam kehidupan bernegara justru terlihat kempes dalam pembahasan semasa kampanye. Hal sebaliknya malah terjadi, kedua tim kampanye saling melaporkan pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung ujaran kebencian. Pada akhirnya, toh isu kecil dan isu besar bernilai sama: sama-sama tidak berdampak besar pada pemilih.
Saya pun mengira, debat Capres kedua bakal tidak akan dinikmati penuh oleh masyarakat. Debat hanya akan menjadi sebuah pentas untuk mengakomodir kepuasan masing-masing tim kampanye.
Saya tidak habis berpikir bahwa persoalan utang negara, infrastruktur, hoaks, terus menerus menjadi pembahasan setiap hari seolah negara ini tidak memiliki pemimpin yang dapat menyelesaikan itu semua.Â
Hal ini merembet kepada banyak politisi yang kini sebagian besar waktunya banyak dihabiskan untuk mengumpulkan data-data keuangan negara, data-data hoaks, data-data ujaran kebencian sebagai alat untuk melawan lawan, bukan untuk menghadapi persoalan nyata yang dihadapi masyarakat saat ini: kesenjangan sosial dan lapangan pekerjaan.
Jerinx SID adalah simbol yang mewakili warga negara lain yang memiliki pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu, termasuk untuk tidak memilih.
Mereka hanya perlu suatu kejelasan dan jaminan bahwa isu HAM, lingkungan, dan kebebasan berekspresi benar-benar menjadi prioritas. Apabila itu terpenuhi, dalam keadaan apapun, mereka akan ikut berjuang mensukseskan Pilpres, termasuk mengampanyekan salah satu calon. Jangan meragukan perjuangan para aktivis, apalagi mempertanyakan sikap kenegaraan mereka.
Akhir kata, I love you, please don't disappoint me.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H