Polisi itu memberikan jeda untuk mengumpulkan bagian per bagian dari masa lalunya sebelum menyampaikan tuduhan terakhir tadi. Mukanya terlihat memerah seolah segala emosi yang terendap di dalam pikirannya meledak lewat setiap kata.
"Oliver mencintai ibunya, mencintai dirinya, mencintai Helena, mencintai kehidupan, begitu banyak yang dicintainya sampai dia merasa hancur karena tidak satu pun yang terpenuhi," kataku.
"Kau... Anda hanya seorang penjaga makam."
"Namun aku telah banyak menyaksikan orang-orang mati."
Endusan polisi itu perlahan menurun setelah dia melengketkan punggung badannya pada sandaran kursi. Ia berpikir untuk menyingkirkanku dari hadapannya.
"Anda sakit jiwa, aku pikir tidak ada gunanya saya melanjutkan pertanyaan ini."
Polisi itu jelas tidak terkontrol dan mengalihkan sikapnya untuk menyampingkan ucapan tadi. Dia membuka halaman-halaman berkas dari catatannya dalam waktu yang cukup lama dan tanpa maksud yang jelas.
"Oliver adalah sahabatku, kami sangat dekat. Ini sungguh mengganggu pikiranku," ucap Polisi itu.
"Kau tidak seharusnya terkejut mengetahui kematiannya," balasku.
"Aku tidak butuh nasihatmu."
Aku menuruti ucapannya. Namun, sepasang matanya justru membelalak tepat di depan wajahku ketika kepalanya tertunduk mencari sesuatu yang tidak pasti diketahui dalam lembaran itu.