Rasa ingin tahu mendorong manusia untuk terus bertanya akan segala sesuatu. Pepatah pula yang menyebut, malu bertanya sesat di jalan. Bertanya adalah langkah awal untuk sebuah pengetahuan, setidaknya agar orang tidak keliru dalam melangkah atau mengambil keputusan.
Kita bisa mempertanyakan segala hal kepada diri sendiri, menjadikannya sebagai refleksi. Namun dalam kesempatan ini, saya hendak membagikan pengalaman saya yang sering mengajukan pertanyaan kepada orang lain lewat wawancara.Â
Wawancara yang saya maksud dalam tulisan kali ini berbeda dibanding model bertanya kepada kerabat, teman, atau saudara dalam kehidupan sehari-hari. Ada tujuan yang harus dicapai, apakah wawancara dilakukan untuk menunjang kebutuhan suatu riset atau untuk memperdalam sebuah tulisan.
Sejauh pengalaman saya di bidang jurnalistik, saya memaknai wawancara dengan syarat memperhatikan kondisi narasumber. Pertama, narasumber bersedia diwawancarai. Kedua, apakah dia adalah narasumber utama atau sekunder.
Namun, selama wawancara berlangsung, hal terakhir ini sering menjadi absurd. Terkadang pernyataan narasumber sekunder bisa menjadi petunjuk untuk memperluas, bahkan menjadi topik dasar dalam tulisan menggantikan posisi narasumber utama.
Saya akan memberi ilustrasi kecil. Seorang mahasiswa diberikan tugas untuk membuat esai mengenai organisasi kemahasiswaan. Terbesit dipikirannya saat itu untuk mencari tahu apa pentingnya berorganisasi bagi mahasiswa. Ia sudah menyusun rumusan masalah dan selanjutnya akan mewawancarai Rektor selaku pimpinan tertinggi universitas yang kompeten untuk mengomentari organisasi kemahasiswaan.
Sang Rektor menyambut baik topik yang diangkat dan mengatakan dinamika dalam organisasi akan mendorong mahasiswa bersikap lebih peka terhadap isu-isu sosial di sekitarnya, bisa menempah jiwa kepemimpinan mahasiswa, dan sebagainya, dan sebagainya. Mahasiswa itu merasa puas atas pernyataan Rektor.Â
Ia kemudian bergegas mencari mahasiswa secara acak (narasumber sekunder) untuk menanggapi pernyataan Rektor tersebut. Ternyata, seorang mahasiswa yang menjadi narasumbernya mengaku kurang sependapat atas pernyataan sang Rektor. Mahasiswa ini mengatakan, jika berorganisasi hanya sebatas sebagai sarana membentuk kepemimpinan, maka hampir dipastikan organisasi itu akan tenggelam dengan sendirinya.
"Mahasiswa itu kan selalu menyimpan banyak ide, pengennya benar sendiri, egoislah intinya. Jadi bisa dibayangkan mereka yang mau benar sendiri ini ketemu satu forum selama bertahun-tahun. Mungkin seminggu aja (dia) udah ngga betah," kata mahasiswa itu.
Si pewawancara pun tersenyum lebar menampakkan lekuk manis bibirnya pertanda bahwa dia amat bahagia mendengar pernyataan mahasiswa ini. Hidupnya seakan terlepas dari cengkeraman sang Rektor. Ia pun bergegas mencari mahasiswa lain untuk mengadu komentar mahasiwa tadi.
"Mahasiswa seharusnya sadar ketika berorganisasi, mereka harus melepas ego masing-masing. Perbedaan kan hal yang wajar. Disitulah mahasiswa akan belajar menerima perbedaan pendapat," ucap mahasiswa lain yang ditemuinya.
Maka, setelah mendapat jawaban yang cukup dan pusing tidak menentu, keesokkan harinya, mahasiwa itu muncul lewat sebuah esai berjudul, "Gejolak perbedaan pendapat di kalangan mahasiswa organisasi".
Topik awal tentang pentingnya berorganisasi dan pernyataan sang Rektor disingkirkannya.Â
Ia justru mengembangkan pernyataan dua mahasiswa sebelumnya dan selanjutnya mewawancarai sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Sudah jelas, pertanyaan yang diajukan bukan lagi soal penting atau tidaknya berorganisasi, melainkan bagaimana mahasiswa bersangkutan menyikapi pendapat anggota organisasinya sendiri atau anggota dari organisasi lain.
Anda barangkali akan menganggap cara semacam ini salah karena telah melenceng dari topik awal. Namun, apa yang terjadi sebenarnya adalah keingintahuan si mahasiswa pada sesuatu yang lebih luas yang berangkat dari sebuah pikiran terbuka. Rumusan masalah telah diobrak abriknya karena hasil wawancara dua mahasiswa tadi.Â
Saya sengaja mengondisikannya demikian sebab wawancara akan menggerakkan pikiran kita ke sana-kemari, dengan syarat pertanyaan yang diajukan bukanlah pertanyaan tertutup yang hanya membutuhkan jawaban ya atau tidak. Berikan keleluasaan kepada narasumber untuk menanggapi peristiwa yang diajukan sebagai contoh kasus. Pewawancara dalam situasi ini adalah orang yang pasif, hanya mendengarkan apa yang diucapkan narasumber.
Sikap pasif ini setidaknya akan memberikan banyak gambaran kepada pewawancara untuk menemukan sudut pandang lain, membuka narasi kecil yang luput dibicarakan mahasiswa saat itu, misalnya pentingnya menerima perbedaan pendapat.
Setidaknya, wawancara merupakan sebuah ruang dialektika atau diskursus yang pada akhirnya membantu kita dalam memilih, apakah ingin meluaskan atau mendalamkan sebuah peristiwa agar lebih istimewa dari gagasan awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H