Maka, setelah mendapat jawaban yang cukup dan pusing tidak menentu, keesokkan harinya, mahasiwa itu muncul lewat sebuah esai berjudul, "Gejolak perbedaan pendapat di kalangan mahasiswa organisasi".
Topik awal tentang pentingnya berorganisasi dan pernyataan sang Rektor disingkirkannya.Â
Ia justru mengembangkan pernyataan dua mahasiswa sebelumnya dan selanjutnya mewawancarai sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Sudah jelas, pertanyaan yang diajukan bukan lagi soal penting atau tidaknya berorganisasi, melainkan bagaimana mahasiswa bersangkutan menyikapi pendapat anggota organisasinya sendiri atau anggota dari organisasi lain.
Anda barangkali akan menganggap cara semacam ini salah karena telah melenceng dari topik awal. Namun, apa yang terjadi sebenarnya adalah keingintahuan si mahasiswa pada sesuatu yang lebih luas yang berangkat dari sebuah pikiran terbuka. Rumusan masalah telah diobrak abriknya karena hasil wawancara dua mahasiswa tadi.Â
Saya sengaja mengondisikannya demikian sebab wawancara akan menggerakkan pikiran kita ke sana-kemari, dengan syarat pertanyaan yang diajukan bukanlah pertanyaan tertutup yang hanya membutuhkan jawaban ya atau tidak. Berikan keleluasaan kepada narasumber untuk menanggapi peristiwa yang diajukan sebagai contoh kasus. Pewawancara dalam situasi ini adalah orang yang pasif, hanya mendengarkan apa yang diucapkan narasumber.
Sikap pasif ini setidaknya akan memberikan banyak gambaran kepada pewawancara untuk menemukan sudut pandang lain, membuka narasi kecil yang luput dibicarakan mahasiswa saat itu, misalnya pentingnya menerima perbedaan pendapat.
Setidaknya, wawancara merupakan sebuah ruang dialektika atau diskursus yang pada akhirnya membantu kita dalam memilih, apakah ingin meluaskan atau mendalamkan sebuah peristiwa agar lebih istimewa dari gagasan awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H