Jika merujuk KBBI daring, "dungu" dalam beberapa pilhan didefinisikan sebagai bebal atau bodoh. Kata "dungu" tidak asing, makin populer dipakai netizen di Twitter, khususnya dalam menjatuhkan lawan-lawan politik.
Saking seringnya, pada Sabtu (31/3/2018) dan Minggu, (1/4/2018) yang semestinya diperuntukkan untuk berbahagia, dia menuliskan demikian di Twitter:
"Bahkan untuk memahami yang faktual, mereka tak sanggup. Karena mereka tak berjarak dengan fakta. Mereka memang sudah jadi fakta. Menggeletak begitu saja. Itulah artinya "dungu". *gak ada di gugel #BerbagiLogika".
Kemudian cuitan tersebut dilanjutkan:
"Padahal 'dungu' adalah kata yang terhormat, untuk menyadarkan kaum delusionis-fanatis."
"Saran gua, kita nikmati saja tweet2 cerdas Bang @fadlizon sambil makan popcorn. jangan tunjukkan sikap reaktif yg justru mempertontonkan kedunguan. Politik itu harus dibuat menyenangkan. Cocok?"
"Memang yg paling berbahaya di twitter adalah sekelompok orang dungu yang mengambil kesimpulan dari keterbatasan lingkar kepala tapi tak mau bertanya dan sedikit berpikir keras menemukan 'makna'".
Maka, satu, dua, tiga netizen yang bercokol di media sosial adalah si dungu. Netizen mana yang tidak bebal? Mana pula yang tidak menunjukkan kebodohannya? Itulah dia si dungu. Jangan-jangan penulis pun termasuk di antara si dungu tersebut karena tidak percaya pada kebenaran yang dikatakan seseorang. Sudah terlanjur.
Uniknya, membantah "saya tidak dungu" adalah kekonyolan lainnya. Dungu an sich tidak mungkin berpikir secara sehat untuk menerangkan sesuatu. Hal yang sama seperti mendengarkan ucapan orang tolol, kebenaran apa yang dapat diterima dari orang ini?
Inilah bahasa. Kebebalan hanya termaktum dalam bahasa, dalam tanda-tanda yang muncul di pikiran. Sederhananya, kita sudah bersiap siaga untuk mendefinisikan realita, bukannya menerima realita itu terlebih dahulu. Ide mendahului realita atau dengan kata lain kecurigaan mendahului kebenaran.
Jika mampu berpikir terbuka dan menerima banyak kemungkinan, mustahil seseorang akan menuduh yang lain dungu, seperti yang dicuitkan Dahnil Anzar di atas. Artinya, kita juga dituntut, baik kesadaran sendiri atau desakan dari luar, untuk menerima kebenaran berbeda dari orang lain sekaligus menimbangnya dalam nalar, tidak sekadar dianggap angin lalu.
Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, demikian Descartes berujar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H