Gerakan Time's Up dengan tagar MeToo secara serempak menandai pergerakan kaum feminis di seluruh dunia. Gerakan ini merupakan perlawanan terhadap pelecehan seksual dan bentuk kesewenangan di industri perfilman Hollywood. Momentumnya lahir ketika terungkapnya skandal pelecehan seksual Harvey Weinstein Oktober silam yang menjadi headline banyak media massa.
Tema perlawanan makin tersebar dan berkembang luas karena keterlibatan sejumlah selebritis Hollywood, satu di antaranya Angelina Jolie, dalam pelbagai kampanye di platform media sosial dan panggung ajang penghargaan semisal Golden Globe Awards 2018 dan Academy Awards 2018 yang usai beberapa waktu lalu.
Sejauh pengamatan penulis, gerakan Time's Up ini juga mulai dikenal beberapa orang di Indonesia, namun tak sebesar di Amerika dan Eropa. Tapi hal ini tidak menyurutkan semangat masyarakat Indonesia untuk terus mengecam tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang kerap menyasar kaum hawa.
Kesetaraan gender dan pelecehan seksual masih menjadi kata kunci untuk bisa memahami arah gerakan ini. Boleh dikatakan Time's Up telah mendominasi gerakan feminis serupa lainnya yang selama ini terlihat senyap atau berjalan tiarap dalam membesarkan wacana kesetaraan gender dan feminisme. Paling banter isu feminisme dahulu hanya bisa dinikmati di dalam kampus, diskusi kajian sastra dan budaya atau praktisnya di Indonesia memberikan porsi kursi kepada kaum hawa untuk menduduki jabatan resmi.
Sama seperti isu lain, ketika ia semakin membesar, muncul sebuah keprihatinan dan kritik, terlebih gerakan ini menempatkan maskulinitas sebagai musuh utama yang harus dikubur dan diganti. Pun tantangan terberatnya tak lain dan tak bukan datang dari wanita itu sendiri. Boleh dikatakan tidak semua wanita di dunia akhrinya sepakat pada gerakan Time's Up. Mereka sudah bersandar kuat menikmati kenyamanan dari kelas sosial, corak budaya, dan agama masing-masing.
Soal kelas sosial ini pernah dialami The Duchess of Cambridge Kate Middleton, istri dari Pangeran William, yang menolak memakai dres hitam sebagaimana telah disepakati wanita lainnya ketika menghadiri British Academy Film Awards pada Februari lalu, dikutip dari Metro.co.uk, Senin (19/2). Kate Middleton yang sedang mengandung anak ketiganya justru mengenakan dres hijau gelap.
Banyak perdebatan mengenai keputusannya memakai dres hijau mengingat warna dres merupakan simbol politik yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan. Kate Middleton di satu sisi dinilai tidak memperlihatkan kekompakan. Anggapan ini kemudian menjerumuskannya pada pendapat yang meragukan komitmennya terhadap isu pelecehan seksual. Namun di sisi lain sebagaimana dikatakan pihak Istana melalui website resmi, sang Putri sebagai kepala negara bersikap netral terhadap masalah politik.
Meski begitu, Kate Middleton sebenarnya sudah mengkomunikasikan bahwa dirinya tetap ikut berdiri bersama Time's Up terlihat dari tas tangan hitam yang dibawanya dan dres hijau yang dipilih dengan warna gelap.
Tapi, baiklah mengesampingkan soal kontroversinya karena toh Time's Up telah menjadi sebuah power yang akan membuat gentar pihak-pihak yang selama ini tertawa dan abai terhadap isu pelecehan seksual dan isu lainnya. Gerakan feminisme yang digaungkan Time's Up dianggap bisa merongrong kemapanan wacana politik dan menjadi sebuah kekhawatiran sejumlah pihak karena semakin masifnya gerakan ini.
Terkait feminisme, di Jerman, muncul tuntutan kepada negara untuk mengganti kata Vaterland (Fatherland) dan brderlich (brotherly) dalam lagu kebangsaan das Deutschelandlied karena kedua kata itu dianggap bernuansa maskulin. Dikutip dari welt.de, Minggu (4/3) Kristin Rose-Mhring dari Komisioner kesetaraan  gender Jerman mengusulkan agar kedua kata itu diganti dengan kata yang netral yaitu Heimatland (homeland) dan couragiert (courageous). Sayangnya, usulan ini ditolak Kanselir Angela Merkel.
Setidaknya kebangkitan kaum feminis menandai sebuah keinginan akan sebuah perubahan secara terstruktur agar perjuangan ini berumur panjang dan menjadi sebuah simbol monumental.Â