Ada banyak alasan untuk menghujat, mencintai, mengagumi, dan melupakan Green Day. Band punk yang terbentuk pada 1986 ini menghentak semua lapisan masyarakat, memukul pemerintah hanya lewat pekikan gitar, simbal, dentuman bas dan lirik-liriknya. Terakhir, mereka merilis album  Revolution Radio pada 2016 silam.
Lagu-lagu mereka seolah menjadi catatan sejarah dalam setiap periode, bagaimana kegelisahan dan keputusasaan masih terbenak di tengah arus optimisme dan modernisme yang didengungkan AS Â dan negara Barat lain pada era 90an hingga setidaknya abad milenium ini. Hal ini mudah dipahami setelah runtuhnya negara-negara sosial-komunis di Eropa Timur dan Jerman yang kemudian menandai kejayaan AS-Eropa Barat dalam mendikte peradaban dunia.Â
Tapi keruntuhan itu tak lantas menghentikan segala persoalan, justru pada akhirnya berujung pada sejumlah perang di Timur Tengah.
Bagaimanapun juga Green Day telah memilih jalur musik untuk menyuarakan keresahan mereka ke seluruh dunia dalam periode-periode yang kontekstual. Beberapa lagu mereka juga bisa ditarik untuk mencermati keadaan universal manusia yang sesungguhnya terhubung secara global, termasuk kepada generasi millenial.
Ada 4 alasan yang penulis rangkum berdasarkan pengalaman pribadi dan pengakuan orang-orang, mengapa Green Day layak untuk didengarkan.
1. Referensi untuk menjadi gitaris handal
Hampir semua lagu Green Day dimainkan memakai power chord (palang/blok) semisal Basket Case, 21st Century Breakdown, atau Jesus of Suburbia. Lagu-lagu tersebut bisa dijadikan tahap awal dalam bermain gitar atau membaca tab karena chord (kunci) gitar yang digunakan merupakan dasar. Kalian bisa mencari referensi kunci dan tab melalui sejumlah laman di internet.
Basket Case dimainkan dari kunci E yang selanjutnya dikembangkan menjadi E-B-C#m-A, Jesus of Suburbia dari kunci C yang selanjutnya dikembangkan menjadi C-G-F-Am.
Power chord ditandai angka 5 di belakang kunci: E5 B5 A5 dan seterusnya tanpa peduli kunci tersebut adalah kunci minor, mayor, dan sebagainya.
Dalam satu konser Green Day, seorang anak bisa mengiringi secara sempurna lagu JAR dengan gitar di atas panggung. Sebagai apresiasi, sang vokalis Billie Joe menghadiahkan gitarnya kepada anak tersebut.
Jika sudah khatam dengan lagu band asal California, AS, ini, yakinlah untuk lanjut mempelajari lagu-lagu rock dari Guns n Roses, Metallica, atau Led Zeppelin. Artinya kalian sudah terlatih untuk memindahkan chord secara cepat.
"Born into Nixon, I was raised in hell..."
Ini adalah penggalan lirik yang mengawali lagu 21st Century Breakdown yang kurang lebih diartikan, "Lahir semasa Nixon, aku tumbuh dalam neraka".
Agar dapat mendekati maknanya secara mendalam, kita bisa merujuk pada tahun kelahiran sang vokalis dan pencipta lagu Billie Joe yaitu pada 1972 dimana pada tahun itu Amerika Serikat, negara kelahirannya, dipimpin Presiden Richard Nixon yang berkuasa dari 1969-1974.
Dari penggalan lirik tersebut bisa diketahui bagaimana Billie Joe menyadari, masa-masa balitanya berada dalam situasi suram di bawah periode Nixon, Presiden yang dikenal karena skandal Watergate.
Dalam lagu itu, Billie Joe secara menyedihkan seperti hendak mengungkapkan, dia (dan juga orang-orang seusianya) adalah generasi hampa. Ada kata humility (kesopanan) yang menjadi tampak absurd karena nyatanya sifat itu berjalan seiring bersama pemerintahan Nixon yang dianggapnya sebagai 'bast**d'.
Meski dipenuhi amarah, di akhir lagu, Billie Joe menunjukkan kecintaannya pada Tanah Air yang dilukiskannya dengan menyebut American Dream. Bagi penulis, secara keseluruhan, lagu ini menunjukkan sebuah ekspresi kekecewaan seorang warga negara karena cita-cita besarnya akan Amerika dianggap semata sebagai slogan manis.Â
Sementara ia dianggap hanya sebagai pemanis bibir, pada kenyataannya ide American Dream justru telah menyihir banyak orang untuk berjuang dan menumpahkan darah mereka demi kehormatan negara.Â
Contoh lain bisa ditemukan dalam beberapa lagu dari album American Idiot yang dirilis pada 2004 semasa Presiden AS George Bush berkuasa.
Lewat lagu American Idiot, Green Day merusak kemapanan pemikiran orang-orang yang seolah paling tahu akan dunia dan Timur Tengah, padahal sebenarnya mereka telah menelan propaganda media yang menyempitkan pandangan terhadap dunia yang sangat luas, kompleks, dan beragam. Lagu American Idiot semakin mengena di telinga karena mendorong orang untuk mengikuti beat-nya yang cepat dan bersemangat, namun sesekali ditahan oleh dentuman bass drum di setiap bait lagu.
Lagu lainnya dalam album itu, Holiday, terlihat seakan merepresentasikan Presiden Bush sebagai Hitler. Hal ini menjadi sangat memungkinkan karena di bawah pemerintahan Bush, perang Irak menjadi persoalan serius yang olehnya dipoles rapi seakan perang tersebut wajar untuk dijalankan dan diterima masyarakat.
Beberapa lagu seperti Boulevard of Broken Dreams, 21 Guns, Redundant, dan Wake Up When September Ends lebih banyak dipahami sebagai lagu cinta dan patah hati. Namun, beberapa lagu Green Day lainnya juga menyimpan satu kesan mendalam bahwa sebenarnya pergulatan hidup manusia bukan hanya soal kehilangan teman dekat atau pacar, melainkan kehilangan keluarga.
Kehilangan orang-orang yang kita cintai, orang tua dan keluarga, telah mencampakkan harapan dan optimisme anak-anak muda. Perceraian orangtua pula yang melumpuhkan naluri mereka akan cinta dan semakin memuakkan ketika mereka dikutuk sebagai orang lain atas pilihan hidup yang sulit dipahami orang lain.
Wacana keluarga harmonis, nuclear family, boleh dikatakan menutup kesempatan mereka untuk menikmati hidup. Pada intinya, inilah aku yang hidup merdeka dengan pilihan yang sangat terbatas. Hal ini tercermin dalam lagu Jesus of Suburbia, St Jimmy, yang menurut penulis jika kalian mempunyai Jesus di dalam gereja, aku memiliki Jesus yang tinggal di pinggiran bersamaku.
4. Formasi tiga orang
Semua kebisingan itu datang dari tiga orang: Billie Joe, Mike Dirnt, dan Tre Cool. Meski dalam konser, Green Day kerapa dibantu beberapa personel tambahan, ketiganya tetap konsisten untuk menciptakan banyak lagu lewat tiga instrumen: gitar, bass, dan drum (minus vokal).
Ini adalah jumlah minimal untuk mendirikan sebuah band dan mereka berhasil memaksimalkannya untuk menghipnotis banyak orang agar terus melompat dan berteriak setiap kali mendengar dan menyaksikan penampilan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H