“Jika Anda tidak menyukai cuaca ini, tunggulah sebentar, ia akan berubah.” –Dan Nimmo
Pilkada Serentak 2017 tinggal menghitung hari. Dalam masa-masa kampanye sekarang, informasi, lewat media massa atau media sosial, beredar terus-menerus dan berkelanjutan. Dan informasi itu tidak sekadar mampir lalu hilang begitu saja dari kepala. Masyarakat mengolahnya, dengan kata lain terbilang aktif mengikuti proses Pilkada. Sayangnya, yang menempel di batok kepala hanyalah nama Ahok. Lalu, menjadi pertanyaan, kemana nama Gatot Pujo Nugroho?
Dari fenomena Ahok dan Pilgub DKI Jakarta yang sudah mengangkasa tinggi ini, masyarakat perlu mencari gaya baru menentukan seleranya. Sebabnya, kampanye gelap sudah bermain kelewat batas. Apalagi dengan isu-isu yang bernada kebencian. Padahal, jika seseorang tidak menyukai salah satu pasangan, dia mempunyai pilihan untuk tidak memilih.
Daripada menyulut bara, sebelum memutuskan untuk tidak memilih, membenci salah satu calon dengan teramat sangat, tunggulah cuaca yang akan berubah. Siapa yang akan merubahnya? Kata Nimmo, persepsi akan merubahnya. Nah, itulah mengapa dalam setiap pemberitaan, pengamat komunikasi politik selalu hadir. Di media massa, hasil survey selalu diperhitungkan di dapur redaksi.
CNN, BBC, The New York Times dan The Washington Post bahkan memberi pengakuan bahwa David Plouffe dan David Axel Rod telah memenangkan pemilihan Presiden di AS pada 2008 silam. Toh, dalam sejarah Amerika kedua orang ini tidak pernah mencatat namanya sebagai Presiden Amerika. “Duo David” ini hanyalah manajer kampanye dan ahli strategi kemenangan tim inti kampanye Barack Obama.
Memang, di negeri Paman Sam, konsultan politik termasuk pekerjaan yang diperhitungkan. Hasil Survei Global Political Consultancy pada tahun 2000 menyebut, hampir seperampat (23%) semua konsultan kampanye bekerja di satu negara tertentu di luar Amerika. Dan kecenderungan global itu juga yang melanda Indonesia. Kita tentu masih ingat Partai Demokrat pernah melakukan Konvensi Calon Presiden 2014.
Artinya, siapapun orang yang akan memimpin, para konsultan politik ini mempunyai pengaruh yang tidak dapat disepelekan. Untuk mengetahui sosok-sosok pemenang di belakang layar tersebut, berikut ini terdapat rangkuman empat orang yang berhasil memenangkan kandidat yang pernah ditanganinya.
Reince Priebus
Priebus merupakan penasihat kampanye Donald Trump hingga akhirnya Donald Trump memenangkan Pemilihan Presiden AS 2016 yang dilakukan secara elektoral. Kesetiaan Ketua Komite Nasional Partai Republik (RNC) ini patut diapresiasi. Di tengah elektabilitas Trump yang terus menjauh di bawah Hillary Clinton, lawannya dari Partai Demokrat, Priebus tetap berada pada pendiriannya untuk mendukung Trump.
Kedekatannya dengan Trump mudah ditemukan karena setiap hari mereka berbincang bergam isu. Priebus pula yang mampu membuat Trump legawa manakala idenya dinilai kurang bagus. Kita tahu bahwa Donald Trump seseorang dengan tipikal keras kepala dan sering melontarkan kata-kata yang memanaskan telinga sehingga tidak semua orang mampu melunakkannya. Mundurnya Paul Manafort dari Ketua Tim Pemenangan tidak dapat dilepaskan dari sikap Trump itu sendiri.
Tidak ingin seperti Manafort, Priebus bahkan mengatakan akan mengundurkan diri jika akhirnya Trump kalah dalam pemilihan. Namun segala kekhawatiran berlalu, Trump memenangkan pemilihan. Atas kesetiaannya, Priebus dipilih menjadi Staf Gedung Putih Donald Trump.
James Carville
Konsultan politik pemilu (electioneer) ini mempunyai rekam jejak yang baik. Carville mampu memenangkan Benjamin Netanyahu dalam pemilu Israel tahun 1999. Dalam pemilihan itu, Netanyahu hanya memiliki satu tim sukses. Tim inilah yang menjalankan semua rekomendasi Carville. Selain Netanyahu, nama lain yang pernah merasakan tangan dinginnya adalah Tony Blair, mantan PM Inggris 1997-2007.
Namun Carville berubah, tidak mengikat dirinya pada ucapan tersebut setelah Obama berhasil memenangkan pemilihan calon presiden dari Partai Demokrat. Dia membuka diri untuk membantu Obama melawan kandidat dari Partai Republik John McCain
Selain menjalankan strategi kampanye pemenangan, Carville juga tercatat sebagai seorang pembawa acara di CNN. Pada tahun 2014 Carville bergabung dengan media Fox News sebagai seorang kontributor. Kerjanya saat menangani kampanye pemenangan Bill Clinton diangkat ke dalam film dokumenter The War Room.
Rob Allyn
Nama Rob Allyn sempat menjadi perbincangan hangat di Tanah Air. Sepak terjang Rob Allyn tersebut dapat dilihat pada Pilgub DKI Jakarta 2012. Allyn kala itu bekerja sama Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Gerindra sendiri menyatakan dukungannya terhadap pasangan Jokowi-Ahok dalam perebutan Jakarta Satu. Ahok juga merupakan kader partai tersebut. Allyn mengambil peran dalam kampanye melalui pembuatan iklan televisi bagi pasangan Jokowi-Ahok.
Namun, siapa yang menyangka, bahwa Allyn dapat berubah. Allyn dituduhkan ikut dalam kampanye hitam terhadap Jokowi-Jusuf Kalla. Peristiwa melakukan ini terjadi pada Pilpres 2014 silam.
Siapa sebenarnya aktor yang bertanggungjawab dalam kampanye hitam tidak dapat dipastikan. Dengan operasi secara rahasia, tersembunyi, dan informasi yang dapat tersebar lewat bisik-bisik orang, boleh dikatakan sulit melacak dalang pelakunya.
Rob Allyn sebenarnya lebih banyak menangani politisi lokal di AS. Prestasi besarnya diperoleh ketika berhasil memenangkan Geroge W. Bush kembali menjadi Gubernur Texas tahun 1994. Namun, pemilihan gubernur ini juga terbilang tidak sehat karena isu yang dilemparkan berbau SARA. Isu tersebut mengena kepada John McCain, lawan Bush dalam pemilihan. McCain dikabarkan memiliki anak berkulit hitam dari hubungannya di luar pernikahan. Isu inilah yang kemudian turut menjatuhkan pamor McCain dan berhasil memenangkan Bush sebagai pemenang.
Harvey LeRoy ‘Lee’ Atwater
Kepada Harian The New York Times, Lee menyebut dua tujuan hidupnya: mengatur kampanye presiden dan menjadi Ketua untuk Partai. Kedua cita-cita Lee terwujud. Dia menjabat sebagai Ketua RNC atas usahanya memenangkan Geroge H.W. Bush pada Pilpres AS 1989. Kemenangan Ronald Reagen dan George H.W. Bush sebagai Presiden AS tidak dapat dilepaskan dari taktik racikannya.
Dilansir dari laman nytimes.com, keterlibatan Lee pertama kali dalam kampanye tampak ketika memenangkan Ronald Reagen sebagai Capres dari Partai Republik. Usianya terbilang masih sangat muda saat itu, 29 tahun, untuk menempati posisi sebagai koordinator kampanye.
Laman merdeka.com bahkan lebih keras. Jonas Tobing, dalam artikelnya sampai menyebut Lee sebagai ahli plintir (spin doctor) nomor wahid. Lagi pula pilihan Lee memang cenderung membangkitkan sentimen rasial. Contohnya ketika dia menjadi operator politik Strom Thurmond, seorang senator dari South Carolina yang menentang hak-hak sipil kepada kaum kulit hitam.
Lee menutup mata di usia yang sangat muda, 40 tahun, akibat tumor otak yang menyerangnya.
(tulisan ini pertama kali dimuat pada laman www.indoneside.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H