“Kita tunggu aja,” kata Akhtur.
Kunaikkan dahiku, pertanda setunju.
Jalan menuju Ekowisata Bakau ini tidak terhubung ke jalan lain. Kita berjalan seperti menuruti revolusi matahari, terus berputar-putar, kembali ke titik awal. Aku mengajak Akhtur untuk segera masuk.Tempat ini tutup pukul 17.00. Dua jam lagi. Sebaik-baiknya aku melakukan usaha persuasif, toh Akhtur kukuh menunggu Udin. Aku meneguk sisa air di botol. Sebelum tetes penghabisan, Akhtur merebutnya. Mahasiswa Ilmu Politik ini pun leleh dan memutuskan untuk masuk ke dalam pekarang hutan bakau.
Renggangan baut papan terhadap beton penyangga menadakan langkah-langkah orang. Lebar jalan sekitar satu setengah meter. Selang lima langkah, kami berpapasan dengan orang-orang. Di antara celah papan, air coklat pekat terlihat. Ada yang kering, ada juga yang menggemburkan tanah. Di kiri dan kanan adalah pohon bakau.
Beberapa pengunjung memunggungi hamparan bakau. Mereka tersenyum manis sambil disambar lampu kilat kamera.Abadi dalam bingkai. Deru mesin perahu terdengar lagi. Tiadaaku melihat wujud fisiknya.Sesal rasaku.
Ada pertigaan, kami berjalan lurus. Muda-mudi berlalu-lalang. Orang tua membawa serta anak-anaknya. Segala bakau ditanam. Di setiap pinggiran jalan, berdiri sebuah mimbar kayu layaknya mimbar seorang pemimpin iringan musik. Di sana terpampang informasi tentang bakau yang berada di belakangnya.
Jalannya pendek, tidak mencapai satu kilometer. Setibanya di ujung jalan,lagi-lagi, beberapa orang mengambil waktu untuk menggambar dengan tangkapan cahaya. Udin belum juga datang. Biarlah waktu yang menjawab kepastian. Ponselnya padam kehabisan daya baterai sejak berangkat.
Sudah setengah jam, aku dan Akhtur keluar dari pekarangan hutan bakau.Pucuk dicinta ulam tiba, kata pepatah Melayu. Orang yang ditunggu hadir. Senangnya dia yang sudah tiba, sementara bagiku remuk-remuk badan seakan tiada tertawar lagi.
Masing-masing kami membayar lima ribu rupiah untuk memasuki area Jogging track. Di sini memang seperti di dalam hutan. Pohon bakau yang meninggi, daunnya membentuk kanopi. Berjalan terus, berhenti sebentar. Dahulukan orang-orang melewati kami. Setelah dirasa bagus, klik. Senyum abadi di dalam layar ponsel.
Dari jarak sepuluh meter, jalan seperti menuju gua. Bakau mulai meninggi dengan kanopi besar. Surabaya yang panas itu mendadak sejuk. Jalannya lebih panjang dari jalan awal yang kami lewati. Tiada papan informasi yang menerangkan pohon bakau. Benar-benar seperti hutan. Hanya ada plang dari lembaga, perusahaan atau instansi yang turut serta mengembangkan ekowisata. Beberapa dari Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Caranya dengan penelitian atau Kuliah Kerja Nyata. Ada dari BUMN sebagai program tanggungjawab sosial (CSR). Dari tahun yang tertulis, aku memngira bahwa sebagai ekowisata tempat ini terbilang baru. Agustus 2013, tertulis di salah satu papan.