Semua geger, kita tidak akan pernah mengerti perihal Kanjeng Dimas Taat Pribadi. Uang yang dilempar-lemparkannya, bilangannya tak lagi jutaan: milyaran sudah. Jangankan Anda, petinggi negeri ini pun geleng-geleng kepala.Â
Kalau urusan itu adalah perkara tipu-menipu, serahkanlah kepada pihak kepolisian dan jajarannya, biarlah hukum yang berjalan. Namun, andaikata ini adalah perkara kebenaran, surga atau neraka, iman atau tidak, apa jadinya?Â
Jangan terkejut atas hal-hal gaib yang terjadi. Jikalau kita mau lebih cermat, mencari lebih jauh lagi sejarah bangsa ini, matanglah timbangan itu. Jikalau pula kita lebih mendalami suatu ilmu lainnya semisal kuantum fisika atau metafisika seperti yang diungkapkan Marwah Daud Ibrahim, itu akan lebih baik. Namun perlukah sejauh itu perjalanan kita untuk menimbang-nimbang semua tindak-tanduk, keganjilan Kanjeng Dimas Taat Pribadi?
Lihat dan rasakan, sekali lagi diingatkan. Sebab inilah keterbatasan yang dialami semua manusia, bahwa dia hanya akan yakin setinggi-tingginya kalau pengalaman itu dimilikinya. Haruslah memang demikian kita mencermati, lebih jauh berjalan-jalan di atas perkara yang memanggil Kanjeng Dimas Taat Pribadi. Kalaupun berlebihan rasa penasaran itu, mungkin pula untuk menjadi muridnya.Â
Apa sebab yang mengharuskan demikian? Baiklah kita mengakui bahwa segala kesalahan dan kebenaran itu adalah sekumpulan pengakuan yang kukuh dalam keyakinan. Namun, tiada pula kita mengetahui kekuatannya, tahan godaan atau bertahan sambil menambal retakannya.Â
Ambil contoh perkara heliosentris Galileo. Salahkah Gereja Katolik terhadap Galileo? Jikalau kita bertanya kepada mahasiswa sekarang, ada yang menjawab: Ya, gereja bersalah, banyak pula yang berkata serupa barangkali. Namun, jikalau kita bertanya kepada orang terdahulu sezaman Galileo, yang kolotnya bukan main soal agama, ada yang menjawab: Galileo jelas bersalah.
Tiada lain kita sedang membenarkan sesuatu dalam dimensi ruang dan waktu yang menitikberatkan pada kehadiran konteks. Itu pertarungan ilmu pengetahuan yang dibahaskan. Para ilmuwan dan pemikir lainnya tidak akan membiarkan hal demikian harus dibawa sampai dalam mimpi. Susahnya tiada kepayang, memang aneh orang-orang macam ini. Semua itu baginya wajar, ada kalanya ia berdaulat dan menjadi jawara yang sekali lagi hanya ada pada waktunya.
Positivisme dan rasionalitas memenangkan panggung dunia. Abad-abad pencerahan itu akhirnya lahir. Perlahan-lahan ditinggalkanlah agama, mitos-mitos yang tak terjelaskan oleh nalar, dan bau-bau tradisional lainnya. Ada yang atheis pula. Sainslah yang menang.Â
Bila kaum agamawan memilih tidur dalam mimpi-mimpi indah, takluklah agama dan segala teologis yang membidaninya. Susah payah pula mereka untuk membenah diri, ada yang mengakui kekeliruannya sembari merefleksikannya, namun ada juga yang tiada habis-habisnya mengutuk. Biarlah waktu yang menjawab.
Ada juga yang luput dari penilaian kita, bahwa zaman adalah babak-babak berbeda, terus mengalir. Sekalipun kita berpikir dapat menghentikan segalanya, dapat menguasai segalanya, adakah waktu akan menuruti kehendak kita, yakni manusia? Namun, karena manusia berkehendak, ia dapat menghakimi, sekalipun peristiwa itu beraba-abad lalu, dan memang itulah watak manusia kita sekarang.Â
Namun, hal yang baru terlahir lagi, bahwa ilmu dan segala teori yang menyokongnya tiada juga abadi. Galileo akhirnya dipuja, namun ada pula yang segera memperbaiki teorinya. Pernyataan bahwa matahari diam (immovable) itu perlu diralat. Pasca Einstein, bergerak dan tidak bergerak dalam pandangan ilmiah ruang-waktu adalah hal yang relatif.Â