Ketika Anda berada di dalam kereta api yang sedang melaju dengan sangat kencang dari Jakarta menuju Malang, suatu waktu, air seni meronta agar dikeluarkan dari tubuh. Lalu Anda berangkat menuju toilet kereta yang berada di sebelah barat, artinya berjalan sebaliknya dari arah kereta: Malang ke Jakarta. Dan, sebenarnya Anda sedang bergerak ke arah mana?
Mungkin juga karena kita terlalu apa-adanya dalam menilai bahwa ini benar, itu salah, ini normal, itu gila, ini sehat dan itu sakit. Akan terlalu banyak peristiwa bersejarah yang harus kita bedah-bedah, kita rekontstruksi, kita recovery seperti pekerja forensik, lalu ditafsir ulang. Sialnya kita menilainya dalam iklim sekarang yang kadang-kadang banyak semaputnya, sering terdistorsi karena suatu alasan tidak autentik dengan waktu yang lampau.
Namun, segala kegiatan yang memungkinkan tersebut dapat kita lakukan demi melunakkan kebekuan akan dogma dan apriori. Seperti bumi yang luas lautannya tak terpandang mata, namun ia dapat menjadi gelora hantam yang menghanyutkan. Percaya keganasannya atau akankah kita mau berlayar di atas airnya agar memahami suatu damai  terhadap ketakutan? Pertanyaan ini semata-mata untuk mengingat nasihat Buya Hamka: supaya matanglah timbangan kita.
Sebabnya, perkara sesat telah lama diderita beberapa lembaga atau orang di negeri ini. Ahmadiyah, Syiah di Sampang, itu beberapa saja. Bila memang minoritas menjadi bulan-bulanan penindasan, bagaimana menjelaskan PKI yang lebih pagi menerima penghakiman moral, yang anggota dan pendukungnya sampai berjuta-juta itu? Dalam hal adu angka, kita memang seringkeliru untuk memahami sesuatu. Dan memang kuranglah timbangan kita.
Mantan Ketua MK Mahfud MD tidak berbicara akan angka. Ia merasa aneh betul jika ada seorang Kiai seperti Kanjeng Dimas Taat Pribadi. Tidak berterima pula MUI Jawa Timur akan sandangan santri yang dikenakan terhadap para anggota yang tinggal di padepokan itu. Dalam hal ini, kuat dan teguhlah berpegang pada keyakinan.Â
Dan karena masyarakat kita belum merdeka pula dalam memegang kuat keyakinannya, masih berpegang pada tangan para pemuka agama, ini yang masih dinanti-nanti. Bolehlah berharap yang terbaik dari mereka agar baikpula timbangan yang akan kita pandang. Supaya siap batin juga manakala di antara kita masih ada yang bertanya-tanya mengapa perlu mensesatkan yang lainnya.
Apalah rasanya disebut sesat? Mersault merasa tidak artinya lagimempersoalkan hal itu. Tokoh fiksi L’Etranger ini pun mati dalam kegilaannya. Kita perlu mempertanyakan lagi makna kegilaan itu sebab Mersault mengakui ia tidak tahu harus berbuat macam apa lagi,hak dan pembelaannya hanya dijadikan olok-olok. Ia tahu itu, bahkan kematiannya sendiri tidak serta merta menghapus olok-olokkan itu.Â
Apa sangkut paut ini semua? Kanjeng Dimas Taat Pribadi hanya akan menebar senyum.Tidaklah aneh ia berbuat demikian. Namun, sebuah senyum adalah pertanda yang bermakna banyak. Ia dapat berarti sebuah kekaguman,rasa sinis, atau sebuah kepasrahan. Mungkin pula senyum itu menjadi misteri, bila hari ini kita maknai sebagai rasa sinis, timbanglah maknanya yang barangkali dapat berubah di waktu mendatang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H