Mohon tunggu...
EFREM GAHO
EFREM GAHO Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya Seorang Penulis

Penulis di NESIATIMES.COM

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Manajemen Krisis Berbasis Strategi Komunikasi

19 Maret 2016   07:46 Diperbarui: 19 Maret 2016   09:16 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kebijakan Perusahaan terkait dengan isu lingkungan, idealnya memenuhi tiga syarat utama diantaranya kebijakan bersifat cerdas, bijaksana dan memberi harapan besar. Namun, terkadang kebijakan yang dibuat oleh perusahaan sering kali tidak memenuhi ketiga syarat tersebut sehingga mengalami krisis. Perbedaan kepentingan mengenai kebijakan tentang lingkungan, acap kali diciptakan oleh pihak-pihak yang terlibat langsung didalamnya seperti pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Komunitas, masyarakat, dan perusahaan itu sendiri.

Perbedaan kepentingan tersebut menuai krisis kepentingan. Setiap pihak bertahan pada posisinya dalam mengeluarkan serta menjalankan sebuah kebijakan sehingga berakibat buruk bagi pihak yang berkepentingan terutama perusahaan, implikasi ini juga akan mengenai lingkungan serta masyarakat.

Krisis yang dialami, akan bertransformasi ketika semua pihak bersepakat untuk menanganinya. Maka, dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang baik. Hal ini mengingat dampak negatif dan kerugian yang sedemikian besar terjadi, maka krisis tidak dapat dibiarkan saja tetapi perlu manajemen yang baik.

Tepat tahun 1994, terdapat 2 (dua) perusahaan besar yang bergerak diperminyakan, Shell dan Exxon memiliki problem terkait dengan rencana pembuangan sejumlah pelampung penyimpan minyak (buoy) bernama Brent Spar yang sudah tidak dipergunakan selama 5 lima tahun.

Perusahan Shell mengadakan riset sebanyak tiga puluh kali secara terpisah untuk membuat pertimbangan dampak pembuangan pelampung tersebut. Pertimbangan ini, meliputi segi teknis, keamanan, dan lingkungan (Löfstedt & Renn, 1996). Setelah melakukan riset, maka muncul empat opsional, yakni :

1.      Pembuangan di darat

2.      Penenggelaman pelampung ditempat dimana ia berada

3.      Dekomposisi pelampung di tempat, dan

4.      Penenggelaman di laut, perairan Ingrris Raya

Dari keempat opsional diatas, kemudian Shell sepakat memutuskan memilih opsi empat, dengan pertimbangan bahwa biaya yang relatif murah dan dampak lingkungan yang rendah.   Selain keputusan memilih opsi empat, Shell juga memiliki opsi lain dengan pembuangan di darat. Namun Shell melihat bahwa opsi lain tersebut membutuhkan empat kali lipat biaya untuk mengeksekusinya.

Keputusan Shell dalam mengeksekusi opsional keempat ini diterima oleh pemerintah Inggis sebagai keputusan berbasis lingkungan yang paling mungkin dilakukan atau Best Practicable Environmental Option (BPEO). Departemen Perdagangan dan Industri Inggris memberi tahu negara-negara di Eropa lain mengenai maksud dari Shell ini. Hal ini seringan dengan ketetapan yang dikeluarkan oleh Konvensi Paris-Oslo tentang lingkungan kelautan.

Selama tenggang waktu 60 hari lamanya mulai dari pemberitahuan dilakukan, satu pun negara atau pun akitivis lingkungan tidak menyatakan protes atau keberatan sehingga Pemerintah Inggris memberanikan diri untuk mengeluarkan izin. Namun teryata, sebelum izin dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris aktivis  perdamaian lingkungan melakukan protes. ((Löfstedt & Renn, 1996).

Waktu demi waktu, kontroversi pun mulai muncul dan menjadi agenda utama media, terutama ketika muncul gambar aktivis perdamaian hijau yang disemburkan oleh water canon kapan penarik milik Shell. Kemudian, muncul Kementerian Lingkungan dan Agrikultur Jerman merasa keberatan atas keputusan ini dan menyatakan bahwa pembuangan pelampung tersebut ke darat dirasa belum benar-benar dipertimbangan secara matang oleh Shell. Namun, karena telah melewati tenggang waktu yang sudah diberikan Pemerintah Inggis pun menolak pengajuan keberatan ini.

Oleh karena arus informasi yang begitu pesat berkembang sehingga menyadarkan banyak pihak untuk ikut berkontribusi dalam memprotes keputusan Shell ini. Kampanye melawan keputusan Shell datang secara bertubi-tubi, termasuk sebuah aksi untuk mengumpulkan tanda tangan para politisi dan tujuan untuk memboikot SPBU Shell. Sebagaimana Konferensi Perlindungan Laut Utara, delegasi (Menteri-menteri lingkungan hidup dari negara sekitar laut utama) kecuali pemerintah Inggris dan Norwegia mengambil  sikap untuk mengutuk segala keputusan yang dibuat oleh perusahaan Shell. Protes semakin hangat ketika Aktivis-aktivis dari Greenpeace mengklaim bahwa terdapat banyak bahan pencemar beracun yang belum dilaporkan Shell.

Upaya Shell Inggris dalam meyakinkan negara-negara di Eropa bahwa opsional yang diputuskan merupakan opsi yang terbaik selalu menuai kegagalan. Hal ini sama sekali tidak mendapat dukungan, malah justru terjadi pengrusakan melanda, boikot, dan banyak serangan hebat terhadap SPBU Shell. Terdapat 11.000 surat dikirim kepada Shell terkait rencana mereka ini.

Dalam permasalahan ini, Perusahaan Shell pun berusaha untuk memperbaiki keadaan yang semakin tegang dengan memasang iklan sehalaman penuh di 100 media cetak (Koran) lokal dan nasional dengan isu “Kami Akan Berubah”.  Dalam koran itu, Shell menjelaskan bahwa keputusan yang telah mereka buat mengalami kekeliruan, meskipun secara teknis dan lingkungan Shell merasa benar akan itu. Selain itu, Shell meminta Det Norske Veritas, sebuah perusahaan di Norwegia untuk mengecek tuduhan aktivitis Greenpeace dan mengkonfirmasi bahwa tuduhan itu tidak benar. Namun, aktivis Greenpeace merasa keliru akan itu, tetapi keputusan penenggelaman itu tetap salah.

Akan tetapi, setelah kemudian dilakukan penelitian lanjutan hasilnya tetap sama. Sehingga krisis yang dialami oleh perusahaan Shell selalu berkepanjangan. Dari permasalahan ini, dipandang bahwa Shell belum secara cerdas, bijaksana dan memberi harapan besar dalam membuat suatu kebijakan. Hal yang paling inti idealnya dilirik oleh perusahaan Shell dan perusahaan lain dalam bertindak sesuatu adalah bagaimana menciptakan manajemen krisis berbasis komunikasi dapat menyelesaikan masalah yang terjadi. Oleh karena itu, meminjam dari Kasali ( 1999:231-232) menurutnya terdapat 5 (lima) langkah utama dalam melakukan manajemen krisis, yakni :

Identifikasi Krisis

Sebuah langkah awal, dengan melakukan riset secara kilat dan sifatnya informal. Tim diterjunkan untuk mengumpulkan sejumlah data, untuk kemudian bisa ditarik kesimpulan tentang krisis apa yang sedang terjadi.

Analisis Krisis

Sejumlah data yang sudah diperoleh, dianalisis dengan cakupan yang luas. Tahap analisis ini dilakukan untuk melihat keterkaitan data dengan data lain sehingga dapat dikategorikan. Tindakan analisis yang kita lakukan yaitu analisis parsial dan analisis integral.

Isolasi Krisis

Sebuah krisis dapat diidentikkan dengan sebuah penyakit menular. Sebelum menyebar secara luas, maka krisis mesti dikarantinakan sebelum kita beralih pada tindakan serius.

Opsi Strategi

Sebelum mengambil langkah-langkah komunikasi apa untuk mengendalikan krisis, pihak pihak membutuhkan penetapan strategi yang generik yang akan diambil.  Terdapat 3 strategi generik untuk menangani krisis. Pertama, stategi defensif, sebuah langkah dengan metode mengulurkan waktu, tidak bertindak sesuatu, membentengi diri dengan kuat. Kedua, Strategi adaptif, langkah dengan mengubah kebijakan, modifikasi operasional, kompromi, meluruskan citra. Ketiga, strategis dinamis, bertindak untuk melakukan langkah-langkah merger dan akuisisi. Investasi baru, menjual saham, meluncurkan produk baru, menggandeng kekuasaan, melempar isu baru, untuk mengalihkan perhatian.

Program Pengendalian

Sebuah langkah untuk mengaplikasi yang dilakukan untuk menuju strategi generik yang sudah dirumuskan. Mayoritas strategi generik dapat dilakukan sebelum krisis timbul dan dapat menjadi pedoman untuk mengambil langkah yang pasti, sedangkan program manajemen diadakan dilapangan ketika krisis muncul. (Efrem Gaho/131005163/SOS)

Referensi :

 

Löfstedt, R. E. & Renn, O. (1996). The Brent Spar Controversy: An Example of Risk Communication Gone Wrong.

http://ugm.ac.id/id/berita/521 diakses tanggal 06 Maret 2016 pukul 20 : 21 WIB

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun