Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Menulis Untuk Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menatap Kemajuan Daerah Pasca Pemilu

10 Februari 2024   11:31 Diperbarui: 28 Februari 2024   20:08 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keberadaan sarana dan infrastruktur dibutuhkan untuk meretas kesenjangan  di daerah. (Dokumentasi Pribadi)

Potret keberadaan daerah di Indonesia berpusar pada dua hal, yakni kesenjangan (disparitas) dan kemiskinan. Inilah tantangan yang perlu diretas, dalam menatap kemajuan daerah ke depan.

Terkait kesenjangan, sudah bukan rahasia lagi. Ketimpangan sarana dan infrastruktur sangat terlihat. Jika berkunjung ke sejumlah pelosok daerah di Indonesia, maka akan menemukan realitas tersebut.

Aksesibilitas dan konektivitas masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diatasi. Terutama bagi daerah di wilayah Indonesia Timur. Dalam satu Propinsi saja masih ada konektivitas yang belum terhubung, karena belum terbukanya aksesibilitas transportasi kendaraan roda empat.

Sebagai contoh di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Konektivitas antara Kecamatan Lore Barat kabupaten Poso dan Kecamatan Kulawi Selatan Kabupaten Sigi belum terhubung.

Hingga 78 tahun Indonesia merdeka, akses jalan roda empat di wilayah tersebut belum terbuka. Padahal jika aksesibilitas di daerah tersebut terkoneksi, akan memperpendek mobilisasi transportasi warga dan logistik dari lembah Lore Poso ke Kota Palu.

Demikian pula dengan kemiskinan. Ini adalah realitas yang tidak bisa dielakkan. Dimana kesenjangan menjadi salah satu aspek yang menyebabkan terjadinya kemiskinan tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan sudah merilis 10 provinsi termiskin di Indonesia pada tahun 2023. Tujuannya bukan untuk mendeskritkan daerah (provinsi) tertentu, namun sebagai gambaran bahwa tingginya kemiskinan di sebuah daerah adalah keniscayaan.

Sepuluh provinsi termiskin tersebut meliputi Papua, persentase penduduk miskin 26,03 persen. Menyusul Papua Barat (20,49 persen),Nusa Tenggara Timur (19,96 persen), Maluku (16,42 persen), Gorontalo (15,15 persen), Aceh (14,45 persen), Bengkulu (14,04 persen), Nusa Tenggara Barat (13,85 persen), Sulawesi Tengah (12,41 persen) dan Sumatera Selatan (11,78 persen).

Dari sepuluh provinsi termiskin tersebut, tujuh provinsi berda di wilayah Indonesia Timur. Ini menjadi gambaran, bahwa kemiskinan di wilayah ini cukup tinggi. Maka menjadi tantangan, bagaimana kemiskinan di wilayah ini bisa diretas.

Padahal wilayah Timur Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun tidak berbanding lurus terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Eksploitasi sumber daya alam belum dapat menggenjot kemajuan daerah secara signifikan.

Kebijakan Belum Berpihak ke Daerah

Ada beberapa faktor yang membuat kesenjangan dan kemiskinan menjadi realitas yang belum teratasi. Namun di atas semua faktor tersebut, political will dari elit politik dan negara adalah faktor utama kesenjangan dan kemiskinan masih terus terjadi.

Mengapa politicall will? Karena dengan adanya politicall will maka kebijakan bisa dibuat demi meretas realitas kesenjangan dan kemiskinan antar daerah. Apalagi konstitusi UUD 1945 sudah mengamanatkan kepada negara, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pembangunan infrastruktur jalan lintas Provinsi guna memperlancar aksesibilitas. (Dokumentasi pribadi)
Pembangunan infrastruktur jalan lintas Provinsi guna memperlancar aksesibilitas. (Dokumentasi pribadi)

Berpuluh tahun pembangunan berpusar pada Jawa Sentris akibat kebijakan yang tidak berpihak ke wilayah di luar pulau Jawa. Maka jangan heran jika untuk PDRB nasional, sekitar 50 persen lebih berada di Pulau Jawa.

Jangan heran pula jika sarana dan prasarana serta infrastruktur di luar pulau Jawa sangat tertinggal. Jangankan untuk aksesibilitas sektor udara dan laut, untuk sektor darat saja ketimpangannya sangat terlihat.

Mau bepergian lintas Kabupaten di Pulau Jawa, fasilitas dan sarana kereta api serta jalan tol sudah sangat memadai. Sementara di Sulawesi baru dibangun jalur kereta api di Sulawesi Selatan. Demikian pula jalan tol, baru ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Jika ada elit politik di pusat yang mengatakan Indonesia tidak harus mengutamakan pembangunan infrastruktur. Bisa jadi elit politik tersebut mainnya kurang jauh. Atau terlalu keasyikan menikmati mulusnya infrastruktur jalan di ibukota, sehingga menafikan kondisi di daerah.

Jika amanat konstitusi dikonversi lewat kebijakan yang berpihak pada keadilan, maka pasokan listrik akan merata ke seluruh daerah. Akses transportasi bisa dinikmati di seluruh wilayah dan konektivitas tercapai hingga ke pelosok daerah.

Demikian pula distribusi anggaran tidak mencolok disparitasnya antara pusat dan daerah. Sebagai contoh distribusi APBN hingga saat ini masih dominan ke pemerintah pusat, yakni sebesar 64 persen, sementara untuk pemerintah daerah sebesar 36 persen.

Padahal ketimpangan anggaran bisa saja diatur lewat kebijakan (regulasi) yang berkeadilan. Seperti dana bagi hasil (DBH) yang bersumber dari investasi dan eksploitasi sumber daya alam di daerah. Karena bagaimanapun juga, daerah butuh anggaran besar dalam menggenjot pembangunan dan meretas kemiskinan.

Sebagai contoh Provinsi Sulawesi Tengah, investasi yang masuk sangat signifikan, dampaknya pertumbuhan ekonomi melompat 11, 91 persen di tahun 2023. PDRB Sulteng juga menjadi yang tertinggi di Pulau Sulawesi. Namun angka kemiskinannya justru masuk sepuluh besar tertinggi secara nasional.

Paradoks ini adalah bukti bagaimana dana bagi hasil yang harusnya dominan ke daerah, tidak terwujud secara berkeadilan. Di satu sisi menjadi gambaran dari adanya realitas kesenjangan antar sektor lain yang menyerap banyak tenaga kerja di desa.

Yakni sektor pertanian dan maritim yang menjadi andalan masyarakat serta potensi terbesar di Sulteng. Di mana tidak mendapat dukungan signifikan untuk pembangunan sarana, fasilitas dan infrastruktur yang memadai di kedua sektor tersebut.

Dari kesenjangan distribusi anggaran ini, maka untuk menggenjot kemajuan daerah harus butuh waktu. Benar bahwa ada juga daerah yang sudah melompat maju dengan meminimalisasi kesenjangan pembangunan.

Itu tidak lepas dari inovasi dan kreativitas pemimpin daerahnya, dalam mengelola potensi daerah. Serta kemampuan melakukan sinergisitas dengan pemerintah pusat terkait dukungan stimulan angaran, serta program pembangunan ke daerah.

Dibutuhkan sarana dan infrastruktur yang memadai guna memajujan sektor pertanian di daerah. (Dokumentasi pribadi)
Dibutuhkan sarana dan infrastruktur yang memadai guna memajujan sektor pertanian di daerah. (Dokumentasi pribadi)

Harus diakui sepuluh tahun pemerintahan Presiden Jokowi pembangunan dengan pendekatan Indonesia Sentris, sudah banyak terobosan dalam membangun fasilitas, sarana dan infrastruktur di pelosok daerah di Indonesia.

Namun terobosan itu harus dibarengi dengan sinergisitas program dengan pemerintah daerah, agar pembangunan bisa lebih masif dan kesenjangan dapat dimininalisasi.

Namun sinergisitas bukanlah hal mudah, karena daerah turut diperhadapkan dengan berbagai tantangan dan kendala, dalam menggenjot pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Diantaranya kendala anggaran, kebijakan, kondisi wilayah dan juga sumber daya manusia.

Menggantung Harapan Lewat Pemilu

Tanggal 14 Februari, pelaksanaan Pemilu 2024 untuk memilih pemimpin baru dihelat. Kita sudah mengikuti pemaparan visi misi dan program capres dan cawapees dalam debat, maupun saat kanpanye.

Kita semua tentu sudah punya preferensi terhadap siapa figur yang akan dipilih. Dan berharap pemimpin bangsa yang terpilih nantinya, akan dapat membawa bangsa Indonesia semakin melompat maju terutama di daerah.

Keberadaan jalan tol di Sulawesi mengejar ketertinggalan dengan pulau Jawa. (Dokumentasi pribadi)
Keberadaan jalan tol di Sulawesi mengejar ketertinggalan dengan pulau Jawa. (Dokumentasi pribadi)

Karena harus diakui daerah adalah wajah dari Indonesia. Daerah adalah penyangga keutuhan dan eksistensi negara. Jika ada daerah yang masih kesulitan aksesibilitasnya, maka sudah seharusnya pemimpin negara turut merasakan kesulitan tersebut.

Jika ada daerah yang kesenjangannya mencolok, maka tugas pemimpin negara mengambil kebijakan yang populis, untuk bersama daerah melakukan lompatan pembangunan demi kemajuan daerah.

Tentu lompatan yang dimaksud bukan hal yang muluk-muluk. Seperti harus membangun 40 kota yang setara dengan Jakarta. Ingat Jakarta sudah terlalu jauh melejit sebagai kota metropolitan. Akankah daerah dapat mengejar kesetaraannya dalam waktu yang singkat?

Yang dibutuhkan daerah adalah percepatan pembangunan sarana dan infrastruktur untuk aksesibilitas, sehingga mendukung pelayanan sektor pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, ekonomi dan industri di daerah.

Juga sarana dan infrastruktur yang nendukung terbukanya konektivitas antar daerah yang memperlancar mobilisasi warga dan logistik secara kontinyu. Baik melalui darat, laut dan udara, terutama di daerah kepulauan, pegunungan dan terpencil.

Termasuk sarana dan infrastruktur mendukung nilai tambah produksi komoditas dan sumber daya alam di daerah, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan berkurangnya angka kemiskinan.

Harus diakui dibutuhkan pemimpin negara yang visioner dan progresif demi melakukan percepatan pembangunan untuk kemajuan daerah. Semoga capres dan cawapres terpilih lewat Pemilu nanti, akan dapat mewujudkan harapan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun