Setelah sekian lama penasaran, akhirnya melihat dengan mata kepala sendiri keberadaan aksesoris Natal di ruas jalan Kota Solo, di awal bulan Desember 2023 ini.
Rasa penasaran mencuat karena tahun 2022 lalu hanya melihat dari media sosial, terkait keberadaan aksesoris Natal di ruas jalan yang difasilitasi oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Solo.
Saat itu narasi tentang Solo sebagai Kota toleransi mendominasi media sosial dan media arus utama, karena sikap inklusif Pemkot Solo menghadirkan aksesoris Natal di ruang publik.
Padahal keberadaan aksesoris Natal apalagi di bulan Desember, rentan menghadirkan pro kontra di kalangan masyarakat. Bahkan bagi kalangan yang kontra, menjurus kepada pendegradasian pemasangan aksesoris Natal.
Namun di Solo dimana umat Kristiani sebagai minoritas, toleransi bagi yang merayakan Natal justru diapresiasi lewat pemasangan aksesoris Natal di ruang publik. Sebagaimana yang terlihat di ruas jalan kota tak jauh dari Balaikota Surakarta.
Tentu apresiasi patut ditujukan kepada Pemkot Solo yang berinisiatif memfasilitasi keberadaan aksesoris Natal, guna mengapreasi warga Kristiani di Solo yang merayakan Natal di Bulan Desember ini.
Juga kepada masyarakat Solo atas sikap dan kesadaran toleransi menerima keberadaan aksesoris Natal tersebut di ruang publik. Terlebih kepada para pemuka agama di Solo yang pastinya intens membangun dialog inklusif, demi mewujudkan kerukunan dan toleransi beragama.
Saya yakin tanpa sikap inklusif dari unsur pemerintah, pemuka agama serta masyarakat Solo, maka kehadiran aksesoris Natal di ruang publik tak akan terealisasi. Karena hanya dengan mengembangkan sikap inklusif dan toleransi, sekat perbedaan bisa diretas.
Bukan bermaksud untuk skeptis, karena tidak semua Pemerintah Daerah (Pemda) di Indonesia turut memfasilitasi aksesoris Natal di ruang publik, demi mengapresiasi umat Kristiani yang akan merayakan Natal.
Pilihan untuk menghindari suasana pro kontra di level publik serta resistensi karena keberadaan aksesoris Natal, menjadi alasan mengapa tidak memasang aksesoris tersebut.
Dalam konteks itu, kita bisa memaklumi jika Pemda ingin menghindari kegaduhan di masyarakat. Namun dalam konteks kebangsaan tidak perlu juga Pemda merasa kuatir berlebihan, hanya karena adanya kemungkinan munculnya pro kontra.
Walau sejatinya dibeberapa tempat, ada juga Pemda turut memfasilitasi momentum perayaan Natal namun dengan cara yang beda. Tidak harus dengan cara memasang aksesoris Natal di ruang publik. Sebaliknya menjamin agar penyelenggaraan Natal di daerahnya berlangsung secara aman dan damai. Â
Karena sebagai abdi negara, sudah selayaknya pemerintah mengayomi semua elemen masyarakat berbeda agama di daerahnya. Tentu dengan pendekatan yang relevan dan tidak bertentangan dengan regulasi dan konstitusi negara.
Landasan yang digunakan oleh Pemerintah tentu saja konstitusi UUD 1945 yang menjamin perlindungan terhadap semua umat beragama yang ada di Indonesia. Â
Namun seringkali pendekatan konstitusi saja tidak cukup. Kesadaran bertoleransi yang belum memadai di sebagian kalangan masyarakat, justru sering kali mendegradasi keberadaan konstitusi, demi penggerusan simbol-simbol agama dari pihak berbeda.
Kembali ke Pemkot Solo. Memastikan keberadaan konstitusi dan kesadaran pada toleransi, menjadi garda terdepan terhadap penghormatan bagi simbol umat beragama di ruang publik.
Pemerintah dengan langgam dan kesadaran seperti ini akan menghadirkan rasa kepercayaan dan keteladan dari masyarakatnya. Atas political will membangun komitmen bertoleransi dan kerukunan antar umat beragama.
Bukan saja di Solo, disejumlah Mall di Surabaya dan Jakarta yang saya jumpai, juga menghadirkan aksesoris berupa  pohon Natal guna memeriahkan momen Natal di bulan Desember ini.
Bahkan di salah satu Mall di Surabaya, saya mendapati pohon Natal berukuran sangat tinggi. Seumur-umur baru pertama kali saya melihat pohon natal tersebut. Saking tinggi saat berpose di pohon natal tersebut saya terlihat sangat kecil.
Keberadaan aksesoris Natal di ruang publik jangan dilihat sebagai bentuk berlebihan, pemerintah, pelaku usaha maupun stakeholder terkait, dalam mengapresiasi momen perayaan Natal bagi umat Kristiani di Bulan Desember.
Bukan juga sebagai bentuk menghadirkan dimensi eksklusif terhadap umat Kristiani yang akan merayakan Natal. Sebaliknya dilihat sebagai ungkapan berbagi rasa sukacIta dan kebersamaan, dalam bingkai kedamaian.
Saya yakin umat Kristiani juga tidak menghendaki perlunya keberadaan gemerlap aksesoris Natal khususnya di daerah dimana umat Kristianinya minoritas. Yang penting adalah bagaimana umat bisa merayakan Natal secara aman dan damai.
Karena bagi umat Kristiani ada atau tidak adanya aksesoris Natal, sejatinya tidak mengurangi spirit sukacita dalam merayakan Natal. Keberadaan aksesoris Natal hanyalah instrumen yang memberi warna sukacita dalam perayaan Natal tersebut.
Yang penting adalah bagaimana merefleksikan makna Natal dan mengaktualisasikan dalam kehidupan bersama. Yakni menjadi insan manusia yang senantiasa membawa kesan baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Insan yang senantiasa hidup dalam dimensi tolerensi beragama. Serta mengaktualisasikan sikap hidup  yang harmonis dengan sesama umat beragama lainnya. Itulah hakekat insan Kristiani dalam memaknai perayaan Natal.
Tentu sangat indah melihat keberadaan aksesoris Natal di ruang publik. Namun lebih indah lagi jika dalam hidup berbangsa, semangat toleransi menjadi sikap hidup untuk saling menghormati diantara pemeluk agama yang berbeda keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H