Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Menempatkan Nilai Keindonesiaan di Atas Rivalitas Kontestasi Politik

4 November 2023   17:06 Diperbarui: 6 November 2023   09:37 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan sosialisasi Kepemiluan di daerah yang melibatkan unsur masyarakat. (Dokumentasi KPU Magetan)

"Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyarakatkan bahwa untuk memulihkannya, kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru."
 -Yudi Latif-

Adagium dari mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI tersebut, dikutip dari tulisan berjudul Relevansi Pancasila Dalam Hidup Kekinian yang termuat dalam buku Nilai Keindonesiaan. Diterbitkan oleh penerbit buku Kompas tahun 2017.

Dalam tulisan tersebut, Yudi Latif mengutip ancaman lima krisis yang ditenggarai oleh Bung Karno tahun 1952. Pertama, krisis politik. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral dan kelima, krisis kewibawaan (otoritas).

Menjelang tahun politik 2024 ancaman lima krisis tersebut semakin menjadi, jika direlevansikan dengan kondisi konstelasi politik saat ini. Di mana diwarnai dengan rivalitas kontestasi yang semakin biner dan mendegradasi.

Ironisnya, justru yang terlibat rivalitas secara biner tersebut adalah mereka para elit politik yang seharusnya menjaga stabilitas politik dan demokrasi berlangsung secara egaliter dan guyub.

Namun justru para elit politik semakin terang benderang mengumbar narasi-narasi yang saling mendegradasi di ruang publik, lewat berbagai instrumen media massa maupun media sosial.

Lebih ironis lagi terjadi di tingkat grassroots. Di mana publik juga intens menggerus bahkan menjustifikasi person, kelompok, parpol hingga kandidat tertentu lewat narasi maupun konten yang antagonistik.

Ancaman lima krisis yang disebut oleh Yudi Latif dalam tulisannya, telah disadari bakal memunculkan kekhawatiran. Di mana publik bukan saja tidak percaya lagi pada proses demokrasi di negara ini.

Lebih dari itu menjadikan momen kontestasi politik, sebagai ajang menyalurkan ekspresi ketidaksukaan secara tidak terkendali. Sebagai bukti lihatlah di media sosial. Di mana momentum kontestasi politik bukan lagi menjadi sarana pendidikan politik, tapi polarisasi politik.

Lalu siapakah yang harus disalahkan saat lima krisis di atas terkonversi menjadi sebuah realitas? Apakah harus menyalahkan elemen pemerintah semata? Atau elemen stakeholder serta elemen masyarakat yang rentan terdampak provokasi?

Saling menyalahkan tanpa introspeksi tentu akan menguras waktu dan energi. Apalagi jika ini dibiarkan berlangsung hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Alangkah baiknya semua pihak (terutama elit politik) untuk berkontemplasi. Karena bisa jadi akutnya berbagai krisis tersebut, salah satunya ada kontribusi kita di dalamnya.

Sudah tepat sebagaimana ditulis oleh Yudi Latif, bahwa krisis yang terjadi harus segera dipulihkan, dengan melibatkan seluruh elemen bangsa. Caranya bukan lewat pendekatan politik seperti biasanya (politic as usual). Namun lewat visi politik baru yang  mengedepankan Nilai Keindonesiaan di atas rivalitas kontestasi politik.

Nilai Keindonesiaan adalah nilai budaya yang berakar dan bertumbuh dari peradaban bangsa ini. Berupa semangat gotong royong, guyub dan egaliter antar sesama. Nilai yang semakin tergerus, karena pengaruh budaya luar yang membawa dampak individualis, materialis dan hedonis.

Visi politik baru yang bersumber dari Nilai Keindonesiaan itu, harus menjadi edukasi dan literasi bagi elit politik dan masyarakat. Demi menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa, di atas ambisi kekuasaan yang diperoleh dari rivalitas kontestasi politik yang saling mendegradasi.

Visi politik baru itu harus menjadi pencerahan bagi seluruh anak bangsa. Bahwa pesta demokrasi sejatinya harus dilakukan secara riang gembira. Bukan secara kebencian, amarah, apalagi permusuhan diantara sesama anak bangsa.

Bahwa berbeda pilihan dan dukungan sah-sah saja dan wajar dalam iklim berdemokrasi. Yang tidak wajar jika dalam memperjuangkan dukungannya harus merugikan dan mengorbankan pihak lain, hanya karena beda pilihan dan dukungan.

Visi politik baru adalah aktualisasi dari kesadaran berpolitik. Bahwa muara dari kontestasi politik adalah hadirnya pemimpin bangsa berkarakter negarawan yang akan mewujudkan kesejahteraan di depan pintu-pintu rumah rakyat.

Pemimpin yang akan membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang aman, makmur dan sentosa. Pemimpin yang mewujudkan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi negara ini.

Dengan kesadaran ini, mari kita selaku anak bangsa menyambut pelaksanaan Pilpres 2024 dengan semangat persatuan. Yakni menempatkan Nilai Keindonesiaan diatas rivalitas kontestasi. 

Bahwa boleh saja berbeda pilihan dalam mendukung kandidat tertentu. Namun lebih dari pada itu, kita satu pilihan dalam menjaga keutuhan bangsa. Yakni Indonesia tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun