"Hakekat  Pendidikan itu menghasilkan pemikiran dan karya bagi orang banyak. "
 - Ki Hajar Dewantara-
Saat mampir di sebuah cafe di Kota Ambon Maluku, saya terkejut saat disapa oleh sang waitress perempuan berusia muda. "Bapak dari Kompasiana, kalau di Ambon ada juga penulis Kompasiana yang aktif. Mungkin saja karena saya menggunakan kaos bertuliskan Kompasiana, sehingga disapa demikian.
Tentu saya merasa surprise dengan sapaan tersebut, karena sudah beberapa kota di Indonesia yang saya kunjungi, nanti di sebuah kota di Wilayah Indonesia Timur, ada pekerja cafe yang familiar dengan Kompasiana.
Saya kagum dengan sang waitress muda tersebut, bukan saja karena hospitality yang dimiliki, namun juga karena melek dengan perkembangan dunia literasi di era digital saat ini. Dengan melek literasi, sang waitress punya referensi dalam menyapa konsumen yang datang.
Saat saya tanyakan dari mana mengenal Kompasianer asal Ambon tersebut, dijawab karena artikelnya sering diunggah di media sosial dan dirinya mengikuti unggahan tersebut. Iya juga mengaku akan belajar menulis disela-sela pekerjaannya.
Tentu saja saya mendorong sang waitress untuk bisa menulis, agar ia bisa turut mengambil bagian dalam dunia literasi melalui karya tulisan. Baik itu soal kuliner, pariwisata, Â enterpreneur, seni budaya, maupun humaniora yang ada di Ambon Maluku.
Krisis Literasi Kaum Milenial
Sembari menyeruput kopi yang saya pesan, saya berkontemplasi sejenak, sudah berapa banyak kaum milenial di Indonesia yang melek (Pahan) literasi. Serta seberapa besar kaum milenial memiliki kompetensi berupa skill dan knowledge dalam membuat karya literasi.
Selain itu apa sumbangsih Institusi Pendidikan terhadap siswa maupun mahasiswa menjadi insan yang melek literasi. Dimana bisa memberi manfaat bagi orang banyak saat mereka terjun ke masyarakat, sebagaimana yang diadagiumkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Rasa-rasanya dalam interaksi saya dengan banyak kaum milenial yang kelak menjadi bonus demografi di bangsa ini, passion mereka dalam karya literasi belumlah signifikan. Bahwa status mereka adalah kaum terdidik okelah, tapi bahwa mereka bisa berkarya, ini patut untuk diuji.
Saat membawakan materi tentang pelatihan menulis maupun personal branding  bagi kaum milenial maupun organisasi mahasiswa di daerah, saya mendapati sendiri kekurangan tersebut. Bahwa kesadaran kaum milenial untuk punya passion literasi harus terus didorong dan diberi penguatan kapasitas.
Tentu tidak harus Institusi Pendidikan semata yang disalahkan atas realitas ini. Karena tanggung jawab untuk memperkuat kapasitas diri terpulang kepada individu yang bersangkutan. Bagi individu yang menyadari penguatan kapasitas literasi itu penting, maka akan giat belajar dengan berbagai instrumen apapun.
Namun demikian, Institusi Pendidikan perlu juga mengevaluasi diri atas kenyataan ini. Bahwa salah satu faktor yang membuat anak didik lemah dalam passion literasi adalah, karena tidak mendapat penguatan dari internal Institusi baik di Sekolah maupun Kampus.
Alhasil lulusan Institusi Pendidikan yang mengabdi di berbagai bidang pekerjaan, adalah menjadi pekerja normatif, bukan pekerja berkarya. Mengapa normatif, karena rutinitas pekerjaan yang dijalani adalah sesuai dengan tupoksi.
Sementara tuntutan jaman saat ini, pekerja bukan hanya bisa kerja normatif semata, namun juga kerja berkarya. Mengapa demikian, agar bisa mentransformasi gagasan dan karya yang memberi manfaat bagi banyak orang.
Itulah sebabnya urgensi dari program merdeka belajar relevan terhadap kondisi kaum milenial saat ini. Yakni krisis kapasitas dalam karya literasi. Harus diakui kebijakan merdeka belajar baru diluncurkan Bulan Februari 2022 oleh Kemendikbudristek RI.
Namun tidak ada kata terlambat untuk menyiapkan generasi kedepan yang melek literasi. Yakni generasi yang bisa menghasilkan gagasan dan karya nyata di era digital saat ini. Menyiapkan generasi yang melek literasi, adalah perwujudan dari Praktik Baik dari Merdeka Belajar.
Penguatan Materi Esensial
Dalam penjelasan tentang Kurikulum Merdeka okeh Kemendikbudristek, disebutkan bahwa materi esensial adalah materi atau mata pelajaran penting yang harus dikuasai dan dipahami oleh siswa .
Adapun guru berperan dalam menentukan materi esensial, juga dalam memilih mana pembelajaran yang penting. Serta mengecek apakah ini termasuk pada kompetensi dasar yaitu literasi dan numerasi.
Seperti diketahui yang dimaksud iterasi adalah merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itulah terhadap materi esensial ini, disarankan untuk memasukkan materi yang relevan dengan perkembangan zaman dan dibutuhkan dalam tataran praksis. Diantaranya publik speaking, teknik menulis atau membuat konten serta problem solving untuk penguatan kompetensi literasi bagi siswa dan mahasiswa.
Dengan kompetensi materi ini, maka memudahkan mereka dalam mengkonversi dan mentransformasi gagasan dan karya di ruang publik, baik secara lisan, tulisan maupun tindakan. Kompetensi ini juga diperlukan saat nantinya  sudah terjun di bidang kerja apapun.
Tentu setiap siswa punya preferensi terkait materi tersebut, mengingat kemampuan setiap siswa berbeda. Disinilah peran guru untuk memetakan minat siswa sesuai portofolio yang dimiliki, terkait preferensi yang dimaksud.
Meski demikian alangkah baiknya jika keseluruhan materi ini dikuasai sejak dini, agar kelak ketika terjun di dunia kerja, kompetensi ini bisa bermanfaat. Karena semakin banyak knowledge dan skill dimiliki, sama dengan memupuk masa depan.
Sebaliknya semakin sedikit yang dimiliki, semakin terbatas yang bisa dilakukan. Apalagi sama sekali tidak memiliki kompetensi tersebut, maka jangan harap bisa menghasilkan karya literasi. Jika diibaratkan sebagai taman, adalah taman yang gersang karena tidak menghasilkan apa-apa.
Bergerak Bersama Lewat Kolaborasi
Dalam upaya Bergerak Bersama Menyemarakan Merdeka Belajar, maka dibutuhkan komitmen bersama dari semua Institusi dan Stakeholder. Ini penting jika menghendaki kebijakan Pemerintah terhadap reformasi pendidikan, bisa sukses menghasilkan generasi bangsa yang berkualitas dan berkarakter.
Institusi Pendidikan tidak harus merasa qualified dalam mengimplementasikan program merdeka belajar ini. Sebaliknya harus membuka diri melibatkan Stakeholder lain untuk berkolaborasi.Khususnya untuk penguatan materi esensial yang diperlukan oleh peserta didik.
Mengapa demikian, karena ada juga individu guru yang punya kelemahan dalam bidang literasi. Untuk karya tulisan misalnya, tidak semua guru punya kepasitas untuk melakukannya. Jangankan membuat tulisan atau artikel populer, membuat notulensi yang representatif pun masih menemui kendala.
Tentu ini bukan sekedar asumsi namun realitas. Karena saya juga berteman dengan sejumlah individu guru di daerah, sehingga tahu kapasitas mereka dalam bidang literasi. Minat dan bakat menulis tidak didalami, sehingga terkendala dalam menghasilkan karya tulisan yang bisa menjadi literasi di ruang publik.
Tentu ini menjadi kendala bagi para guru  yang akan bertindak sebagai pendamping, tutor maupun pengajaran bagi siswa terkait materi esensial, guna mengembangkan potensi dan passion yang diminati.
Bukankah esensi Kurikulum Merdeka itu sendiri sebagaimana yang dirisalahkan oleh Kemendikbudristek adalah, menciptakan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkembang sesuai keunikannya masing-masing.
Adapun posisi guru sebagai penggerak Merdeka Belajar, bukan hanya mampu mengajar dan mengelola kegiatan kelas secara efektif, tetapi juga membangun hubungan efektif kepada peserta didik.
Lalu bagaimana dengan guru di pelosok daerah yang belum menguasai materi esensial yang berkaitan dengan kompetensi peserta didik. Ini akan menjadi problem jika tidak ada jalan keluarnya. Tidak mungkin peserta didik tidak diberi pengajaran, hanya karena kendala tersebut.Â
Tentu saja diharapkan guru bisa berkolaborasi dengan penggiat literasi yang sudah berpengalaman melatih di kelas secara efektif, saat mentransformasi ilmunya kepada peserta.
Kolaborasi ini bertujuan agar program Merdeka Belajar yang visioner ini, tidak dilakukan setengah hati, tanpa melibatkan Stakeholder lain yang mumpuni dalam karya literasi.
Sebaliknya dilakukan secara holistik dengan tujuan menghasilkan generasi bangsa yang kreatif dan inovatif, Serta mampu berbagi karya dan gagasan untuk kebaikan peradaban.
Masa depan landscape pendidikan kita terpulang kepada seluruh Stakeholder terkait mau dibentuk seperti apa. Yang jelas belum ada kata terlambat dalam mencetak generasi melek literasi, asal mau bergerak bersama dan berkolaborasi bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H