Merasakan langsung dan menjadi penyintas gempa bumi Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) berkekuatan 7,4 magnitudo, merupakan pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup. Berada di atas tanah bergoyang dan bergelombang serta nyaris tertimpa bangunan runtuh, serasa "kiamat" sudah di depan mata.
Untuk itulah saya turut merasakan bagaimana penderitaan para korban sekaligus penyintas gempa Cianjur berkekuatan 5,6 magnitudo. Kehilangan anggota keluarga yang meninggal, rumah hancur, hidup di tenda-tenda pengungsian serta kekurangan logistik sehari hari, adalah pengalaman yang sudah dirasakan tahun 2018 lalu. Â Â
Hidup dalam situasi bencana ibarat hidup dalam ketidakpastian. Gempa susulan yang terus terjadi menghadirkan rasa was-was dan ketakutan. Ditambah lagi tiadanya bahan makanan, listrik padam, sinyal telepon hilang, serta BBM habis, komplit sudah penderitaan.
Bagaimana tidak saat itu semua orang pada menyelamatkan diri, apalagi saat gempa terjadi turut disertai tsunami dan liquifaksi yang menelan ribuan korban jiwa. Maka praktek penjarahan yang dilakukan  oleh oknum masyarakat pun, tidak bisa dihindarkan.
Penjarahan bukan hanya untuk bahan makanan dan logistik lainnya, namun juga BBM. Bahkan ada oknum masyarakat yang tidak bertanggungjawab, turut menjarah barang-barang yang ada di ruko, bahkan tempat usaha yang ditinggal pemiliknya saat menyelamatkan diri.
Demikian pula terhadap bantuan kemanusiaan yang datang dari luar wilayah Pasigala tidak luput dari penghadangan dan penjarahan. Terutama bantuan yang diangkut kendaraan truk yang melintas dari luar wilayah Sulawesi Tengah. Penghadangan dilakukan karena merasa membutuhkan bantuan, akibat kondisi di pengungsian yang serba kekurangan.
Namun praktek penghadangan dan penjarahan oleh oknum masyarakat dapat diatasi. Berkat antisipasi aparat keamanan, akhirnya bantuan bisa masuk ke wilayah Pasigala demi kepentingan para penyintas gempa yang sudah sangat menantikan datangnya bantuan.Â
Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten di Sulteng, Pemerintah Kabupaten dan Provinsi se Indonesia.
Bisa dikatakan bantuan kemanusiaan berupa bahan logistik untuk bencana gempa Pasigala termasuk yang terbesar, karena melibatkan berbagai elemen masyarakat dan stakeholder. Bantuan datang dariSelain itu bantuan juga datang dari berbagai LSM atau NGO dalam maupun luar negeri. Juga dari Parpol, Lembaga, Organisasi, serta Paguyuban baik yang ada di Sulteng maupun dari luar wilayah Sulteng. Berbagai relawan kemanusiaan datang dari penjuru tanah air, termasuk yang datang dari luar Indonesia.
Meski banyak bantuan kemanusiaan yang datang, namun jika tidak terkoordinir dan terkelola baik, tidak akan pernah cukup.Â
Banyaknya penyintas gempa yang membutuhkan bantuan logistik berupa bahan makanan, minuman, popok bayi, obat-obatan, tenda, terpal, tikar dan sebagainya, membuat bahan bantuan yang datang serasa tidak cukup.
Ini realitas dari pengalaman yang sudah pernah saya rasakan. Sebagai penyintas gempa saat itu, saya pun mengambil bagian sebagai relawan kemanusiaan di Palu.Â
Ada tiga tugas utama yang saat itu saya dan relawan lakukan. Yakni mengevakuasi korban jiwa, penyaluran bantuan dan pengobatan gratis.
Dari tiga tugas ini saya hanya sempat melakukan dua hal. Yakni turut melakukan penyaluran bantuan logistik serta pengobatan gratis bagi korban yang luka-luka.Â
Untuk pengobatan gratis dilakukan dengan dua skema, yakni di posko utama serta datang langsung ke tenda pengungsi dengan menyertakan dokter dan tim relawan.
Bagaimana dengan penyaluran bantuan logistik? Ini yang menjadi dilema. Begitu tahu di Posko kami ada bantuan logistik, banyak penyintas gempa yang datang langsung meminta bantuan. Terkadang bantuan sudah habis dibagikan, namun masih ada penyintas yang belum menerima bantuan.
Para penyintas pun akhirnya mencari bantuan ke posko relawan lain yang turut menyalurkan bantuan. Termasuk posko utama yang disiapkan oleh Pemerintah. Penyaluran bantuan logistik juga dilakukan langsung ke penyintas yang tersebar di berbagai tenda pengungsian
Tentu dengan memprioritaskan penyintas yang belum menerima bantuan. Namun sekali lagi dari pengalaman yang ada, sebanyak apapun bantuan yang didistribusikan ke tenda pengungsian para penyintas, tidak akan pernah cukup jika penyaluran tidak dilakukan secara terarah.
Pentingnya Koordinasi Bantuan
Satu hal yang merupakan sebuah keniscayaan saat bencana terjadi adalah, hadirnya rasa kemanusiaan untuk saling membantu. Inilah modal utama yang masih melekat kuat pada masyarakat kita.
Seperti sudah disebutkan di atas, bantuan datang bukan saja dari stakeholder Pemerintah, namun juga Lembaga Sosial dan Organisasi Kemasyarakatan. Semua pihak ingin menyalurkan langsung bantuan ke para korban maupun penyintas gempa.
Bagi pihak penyumbang ada yang langsung menyerahkan batuan logistik di posko utama yang disiapkan Pemerintah seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) maupun Dinas Sosial. Namun ada juga yang menyerahkan bantuan langsung ke posko bantuan yang didirikan oleh penyintas.
Selama tidak ada larangan, maka bantuan dapat diserahkan kemana saja, asal dipastikan diterima oleh penyintas. Karena yang dihindari adalah terjadinya penumpukkan bantuan logistik di posko utama. Padahal penyintas sudah sangat membutuhkan bantuan sementara dari posko utama belum tersalurkan.
Namun terkadang kendala data menjadi kendala dalam penyaluran bantuan. Pihak posko utama akan ragu memberikan bantuan jika koordinator pengungsi datang meminta bantuan, tanpa disertai data yang valid. Terutama terkait jumlah anggota penyintas, serta rincian logistik yang dibutuhkan.
Pergerakan masing-masing relawan dalam menyalurkan bantuan ke penyintas bencana tentu ada plus minusnya. Plusnya, bantuan langsung sampai ke penyintas yang membutuhkan. Minusnya, penyaluran tidak akan merata, karena relawan punya keterbatasan terhadap kuantitas bantuan.
Apalagi jika ada banyak titik pengungsian, tidak menutup kemungkinan ada yang sudah berungkali menerima bantuan, dan ada yang hanya sekali menerima bantuan. Pengalaman adanya suara pengungsi yang menyuarakan belum menerima bantuan, bisa jadi karena tidak terjangkau oleh relawan.
Oleh karena itu pentingnya koordinasi bebagai elemen relawan dengan stakeholder pemerintah dalam penyaluran bantuan. Tujuannya agar mekanisme penyaluran dan update data bisa lebih valid. Â Di satu sisi mapping penyaluran bantuan bisa terkoordinasi dengan baik.
Dengan koordinasi yang baik diantara relawan dan stakeholder pemerintah, maka bisa saling menutupi dan mendukung dalam penyaluran bantuan. Bisa menghindari tumpukan bantuan di posko pengungsi yang sudah berulangkali mendapat bantuan.
Jika antara relawan dan pemerintah sudah terjalin kordinasi yang baik, maka penyintas gempa juga perlu diberikan pencerahan agar tidak bertindak segregasi terhadap penyaluran bantuan. Adanya berita terkait pengrusakan atribut tenda pengungsi Cianjur merupakan hall miris yang tidak perlu terjadi.
Karena pemberian bantuan bencana adalah bagian dari misi kemanusiaan pihak relawan atau penyumbang, tanpa melihat latar belakang penerimanya. Karena itu demi kemanusiaan apalagi penyintas gempa yang membutuhkan bantuan, jangan ada pihak bertindak merugikan pihak penyintas.
Validasi Data Rehab Rekon
Sebagaimana diberitakan, Presiden Jokowi memastikan Pemerintah akan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi berbagai bangunan yang terdampak gempa di Cianjur. Selain rehab rekon terhadap fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos) yang rusak, juga terhadap rumah warga yang jumlahnya cukup signifikan.
Terkait dengan hal tersebut, maka data valid untuk kepentingan rehab rekon pasca gempa sangat dibutuhkan. Data valid ini dibutuhkan untuk rehab rumah warga korban gempa, yang dilakukan dengan dua skema. Yakni pertama, melalui dana stimulan untuk kategori rumah rusak berat, sedang dan ringan. Kedua, relokasi pemukiman dengan ketersediaan hunian tetap (Huntap).
Skema pertama ini juga dilakukan untuk merehabilitasi rumah korban gempa di Pasigala tahun 2018 lalu. Di mana terbagi tiga kategori untuk rusak berat stimulan sebesar Rp 50 juta per rumah, rusak sedang Rp 25 juta dan rusak ringan Rp 10 juta. Dana stimulan ini digunakan merehab rumah dengan pola swadaya mandiri.
Untuk dampak gempa Cianjur, skema ini juga diberlakukan bagi korban yang rumahnya rusak. Di mana ada ketambahan stimulan sebesar Rp 5 juta untuk tiga kategori, sehingga untuk rusak berat menjadi Rp 55 juta, rusak sedang Rp 30 juta dan rusak ringan Rp 15 juta.
Kendala untuk realisasi pemberian stimulan tersebut yakni validasi data yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan hingga Kabupaten. Jangan dianggap sepele soal validasi data ini, karena akan diverifikasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Jika ditemukan data tidak valid, maka diminta untuk dilakukan perbaikan.
Pengalaman lambatnya penyaluran dana stimulan untuk korban gempa Pasigala, salah satunya karena terkendala data yang kurang valid. Adanya korban yang belum terdata serta tidak akuratnya kategori rumah rusak mengharuskan perbaikan data. Hasil perbaikan dan verifikasi tentu membutuhkan waktu, sehingga ikut mempengaruhi realisasi pemberian stimulan.
Validasi data juga dibutuhkan terhadap relokasi pemukiman lewat ketersediaan hunian tetap (Huntap) yang dibangun oleh Pemerintah atau Yayasan tertentu. Ini penting agar korban menerima huntap jelas dan tidak menjadi problem saat proses penyerahan huntap. Â
Sudah dipastikan oleh Kementerian PUPR akan dilakukan relokasi terhadap 2.400 rumah terdampak gempa. Adapun lahan untuk relokasi juga sudah disiapkan di tiga titik, di mana nantinya akan dibangun hunian dengan kontruksi tahan gempa.
Maka satu hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur untuk pelaksanaan rehab rekon fasum, fasos dan relokasi rumah warga korban gempa yang membutuhkan pembebasan lahan, adalah proses konsolidasi tanah yang clean and clear. Â
Sekali lagi jangan dianggap sepele soal konsolidasi tanah ini, karena bisa turut mempengaruhi lambatnya penuntasan rehab rekon. Karena berkaitan dengan pembebasan lahan. Sebagaimana penuntasan rehab rekon gempa Pasigala yang sudah memasuk tahun keempat sejak 2018.
Seperti diketahui pembebasan lahan menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah. Sementara rehab rekon menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat. Untuk itu semakin cepat proses konsolidasi tanah dilakukan untuk kepentingan rehab rekon, maka semakin cepat penuntasannya. Apalagi jika program rehab rekon sudah disiapkan oleh Pemerintah Pusat lewat berbagai skema anggaran.
Intinya dalam upaya penanganan bencana gempa di daerah, baik proses penanganan korban, penyaluran bantuan dan rehab rekon mengedepankan koordinasi dan sinergisitas  antara pihak terkait dan lintas stakeholder. Selain itu keseriusan masing masing pihak dalam menjalankan tupoksi dan tanggung jawabnya sangat diperlukan, agar penanganan bisa berjalan cepat, tepat dan sesuai target.
Menangani dampak bencana memang tidak mudah. Apa yang sudah direncanakan dan diprogramkan secara ideal namun kadang meleset, karena berbagai kendala di lapangan. Namun tidak ada salahnya belajar dari pengalaman daerah lain dalam penanganan bencana, agar lebih siap mengatasi berbagai kendala yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H