Kerusuhan yang diwarnai aksi kekerasan di Stadion Kanjuruhan Malang tentu sangat disesalkan, karena menyebabkan ratusan jiwa melayang. Hal ini tidak lepas dari bias logika segelintir oknum suporter yang tidak bertanggungjawab, dalam menyikapi hasil pertandingan.
Bertindak tanpa menggunakan nalar yang benar, pada akhirnya bermuara pada tragedi kemanusiaan. Bertindak ceroboh mengabaikan prinsip sportivitas, karena tidak bisa menerima kekalahan.
Tak bisa melihat fakta dengan pikiran jernih, bahwa kekalahan dan kemenangan adalah lumrah dalam sebuah pertandingan. Inilah realitas dari insan sepakbola yang belum tercerahkan memaknai hakekat sepakbola. Namun ngotot datang ke stadion demi fanatisme semu.
Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan Malang adalah bukti, bahwa kekerasan dalam sepakbola telah mengalahkan logika. Dimana sepakbola sebagai sesuatu yang istimewa, dinantikan serta mencerahkan hidup, harus terdegradasi dalam sekejap akibat bias logika.
Kasus memilukan di Stadion Kanjuruhan, adalah noda hitam dari persepakbolaan nasional. Eforia sukacita yang dirasakan beberapa hari lalu saat Timnas Indonesia mengalahkan Curacao dalam FIFA Mactday, berganti dukacita atas kematian ratusan suporter sepakbola.
Ini adalah ironi buat bangsa Indonesia, saat mata dunia berempati atas tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan Malang pada Sabtu tanggal 1 Oktober 2022. Sebuah kemunduran dari upaya memajukan sepakbola, lewat capaian prestasi yang sudah mulai terlihat hasilnya.
Hari-hari berat sepakbola nasional akan dilewati sembari menanti sanksi apa yang akan dijatuhkan oleh FIFA. Disatu sisi mengembalikan kepercayaan dunia terhadap persepakbolaan nasional, menjadi kerja ekstra dari stakeholder sepakbola.
Mungkinkah Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 pada tahun depan, bakal dicabut gaweannya oleh FIFA. Bisa ya bisa juga tidak, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Yang jelas tragedi Stadion Kanjuruhan sudah mencoreng kesiapan Indonesia, sebagai tuan rumah nanti.
Juga menjadi catatan minus, bahwa dalam menjaga keselamatan bersama di Stadion kita masih lalai dan tidak siap. Ratusan nyawa yang melayang akibat kerusuhan, Â adalah gambaran bagaimana tidak profesionalnya kita dalam mengelola gawean sepakbola.
Dibalik tragedi kemanusiaan Kanjuruhan Malang, inilah momentum yang tepat untuk berkontemplasi. Bahwa jangan ada lagi kekerasan dalam sepakbola Indonesia. Dan jangan ada lagi kerusuhan yang menelan korban jiwa. Semoga ini yang terakhir.