Dinamika jelang 2024 diwarnai realitas politik yang terbangun di ruang publik secara intens. Adapun realitas politik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, adanya dukungan jabatan tiga periode untuk Presiden Jokowi yang disampaikan para relawan dalam Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia yang dihelat di Bandung belum lama ini. Di mana Jokowi menilai sah sah saja dukungan tersebut sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi.
Kedua, adanya safari politik dari para Calon Presiden (Capres) sebagai upaya membangun koalisi Partai Politik (Parpol) untuk dapat mengusung dalam Pilpres tahun 2024 nanti. Kali ini intens melakukan safari politik adalah Puan Maharani dalam kapasitas sebagai elit DPP PDI Perjuangan ke sejumlah Pimpinan Parpol.
Ketiga, adanya hasil survey dari sejumlah Lembaga yang mempresentasikan tingkat elektabilitas para Capres jelang 2024. Terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan Ganjar Pranowo diperingkat tertinggi sebesar 24,5 persen menyusul Prabowo Subianto 21,3 persen dan Anis Baswedan 19,3 persen.
Fenomena di atas telah menghadirkan dialektika publik dalam merespon realitas politik. Publik dengan berbagai argumentasinya tentu punya alasan ideal, dalam mencermati realitas tersebut. Sebagaimana kata Jokowi, setiap aspirasi dari publik, sah sah saja sebagai bentuk berdemokrasi.
Terkait adanya aspirasi Jokowi menjabat tiga periode, menjadi bagian dari dinamika berdialektika. Meski Jokowi sudah tegas menyatakan hanya sampai dua periode saja. Selain karena ingin fokus pada tugasnya, Â juga karena patuh pada Konstitusi yang mengamanatkan masa jabatan Presiden dan Wapres hanya dua periode.
Konsistensi pada masa jabatan dua periode dan menghargai aspirasi tiga periode dari para relawan, tentu tidak bisa langsung menjustifikasi Jokowi sebagai sosok yang gamang. Sampai di sini Jokowi selaku Eksekutif, telah on the track dalam berpijak pada titian Konstitusi.
Karena sejatinya kewenangan untuk mengubah Konstitusi terkait masa jabatan Presiden menjadi ranah Legislatif yakni MPR.Â