Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Menulis Untuk Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pembelajaran dari Demo Mahasiswa Terprovokasi Aksi Kekerasan

12 April 2022   12:59 Diperbarui: 13 April 2022   04:15 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi demo mahasiswa  11 April di depan Gedung DPR RI. Doc Kompas.com

Adanya aksi kekerasan terhadap tokoh publik yang juga dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando pada demo mahasiswa tanggal 11 April di depan gedung DPR RI, mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Timbul pertanyaan apakah demo tersebut murni dilakukan oleh kalangan mahasiswa atau melebar melibatkan massa dari luar yang sengaja disusupi untuk sewaktu waktu melakukan tindakan anarkis.

Pertanyaan lain, mengapa mahasiswa bisa kecolongan alias mencair dalam melakukan aksi demo, sehingga massa dari luar bergabung.  Dan sejauh mana para Koordinator Lapangan (Korlap) mengenal simpul simpul massa aksinya dan menutup rapat barisan aksi, agar oknum massa luar tidak bergabung.

Pertanyaan ini hanya Korlap dan Pimpinan aksi yang bisa menjawabnya. Dan tentu saja tidak bisa lepas tangan begitu saja dari munculnya aksi kekerasan. Dimana  ditenggarai bukan dilakukan oleh mahasiswa. Ibarat pepatah, berani berbuat (demo), maka berani bertanggungjawab.

Korlap dan Pimpinan aksi  perlu memberi klarifikasi jika nantinya pelaku kekerasan telah ditangkap oleh Polisi. Apakah pelaku kekerasan bagian dari massa aksi yang turut dilibatkan dalam demo. Atau penyusup yang ingin memperkeruh suasana.

Korlap harus dapat mengklarifikasi secara jelas, jika nantinya dilakukan konfrontir dengan para pelaku yang viral terpublikasi di media massa dan media sosial. 

Dengan klarifikasi tersebut memudahkan Polisi untuk mengembangkan hasil pemeriksaan apa motif dan siapa dalang dibalik aksi kekerasan.

Yang jelas aksi kekerasan yang mencuat dalam aksi demo mahasiswa, memberi pelajaran penting. Yakni bagaimana aksi demo disiapkan secara matang dan meminimalisir dampak yang bakal muncul. 

Apalagi jika tuntutan aksi menarasikan isu krusial, dimana berpotensi disusupi pihak pihak berkepentingan.

Pelajaran pertama yakni bagaimana mengorganisir simpul simpul massa dari Organ (kampus) yang bergabung dalam aliansi demo. Biasanya sebelum turun demo, telah dilakukan konsolidasi berapa massa aksi dari masing masing Organ yang bergabung.

Dengan konsolidasi tersebut Korlap sudah punya bahan datatis, berapa massa aksi yang turun dan Organ mana saja yang bergabung. Jika melibatkan massa diluar mahasiswa, maka harus jelas Organnya, jumlah massanya serta siapa penanggungjawabnya.  

Sampai di sini muncul pertanyaan kalau melibatkan massa dari luar, apa urgensinya. Apakah tidak akan terjadi resisten jika demo kaum intelektual dikombinasikan dengan massa bukan mahasiswa. Apakah bisa menjamin tidak akan membias dan  mengarah pada adanya anarkisme.

Perlu diingat massa tanpa Organ dan penanggungjawab yang berbaur dalam demo mahasiswa sangat berpotensi terprovokasi. 

Karena massa tersebut tidak ikut dalan setting aksi, sehingga dominan tidak mengetahui tujuan demo. Makanya massa yang bergabung dalam aksi demo perlu untuk di-tracking.

Ini penting agar ketika terjadi kekerasan, akan mudah memilah pelaku adalah bagian dari aksi demo atau bukan. Kalau benar bergabung akan terlacak dari Organ mana dan siapa Penanggungjawabnya. Hal ini bisa terjadi jika aksi demo didesain dengan matang dengan simpul massa yang terorganisir baik.

Aksi demo mahasiswa  11 April di depan Gedung DPR RI. Doc Kompas.com
Aksi demo mahasiswa  11 April di depan Gedung DPR RI. Doc Kompas.com

Pelajaran kedua adalah pentingnya tanda pengenal yang dikenakan oleh simpul massa demi keamanan bersama. Biasanya tanda pengenal ini berupa pita yang terpasang di baju atau almamater massa aksi. Atau bisa juga berupa gelang tali di pergelangan tangan.

Dengan tanda pengenal ini, maka dipastikan terdeteksi oknum yang bukan bagian dalam aksi demo. Selain itu peserta demo saling mengenal dan menjaga kerapatan agar simpul aksi tidak mencair dan disusupi oknum tidak bertanggung jawab yang bertujuan memperkeruh suasana.

Pelajaran ketiga adalah penggunaan alat peraga aksi. Narasi dalam alat peraga haruslah relevan dengan isu yang dibawa dalam demo. Narasi boleh kritis, namun relevan, bukan sebaliknya tidak terkait dengan isu demo.

Seringkali narasi dalam alat peraga justru membias pada narasi yang bersifat vulgar dan antagonistik. Mungkin tujuannya ingin menghibur, namun saat dishare ke media sosial, menimbulkan antipati publik. Pada akhirnya esensi demo menjadi kehilangan makna, karena persepsi yang muncul di ruang publik justru bertolak belakang.

Pembelajaran diatas mungkin terkesan ideal untuk ukuran demo mahasiswa. Mungkin karena terlanjur ideal, sehingga sengaja dikesampingkan agar tidak membuat ribet. 

Mungkin saja, ada anggapan pada sebagian pelaku demo sekarang, bahwa demo tak perlu repot repot. Yang penting demo saja dulu urusan belakangan.

Anggapan seperti inilah yang terkadang beresiko saat demo dilakukan. Di lapangan yang terjadi justru sebaliknya. 

Kasus kekerasan  yang terjadi pada Ade Armando adalah bukti bagaimana provokasi telah menggerus tujuan utama demo mahasiswa. Publikasi tentang kekerasan justru mendominasi ruang publik dibanding tuntutan pendemo.

Tugas mahasiswa sebagai kaum intelektual adalah menyuarakan kebenaran dan keadilan untuk kebaikan Bangsa dan Negara. Penyalurannya bisa dalam bentuk aksi demo dan bisa juga berdialog langsung dengan Pemerintah.

Salah satunya yang dilakukan kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung Plus yang memilih berdialog langsung dengan Presiden Jokowi secara bernas, terkait kebijakan dan kondisi krusial Bangsa dan Kemasyarakatan yang harus menjadi perhatian serius Pemerintah.

Demokrasi telah menjamin penyampaian pendapat selama dilakukan secara bertanggung jawab. Mau aksi demo atau berdialog langsung silahkan, selama gagasan yang disampaikan logis, konstruktif dan konstitusional.

Namun jika mengedepankan aksi kekerasan, maka  bukan saja menggerus kapasitas mahasiswa sebagai kaum intelektual, namun juga mencederai peradaban demokrasi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun