Pemilu tahun 2024 haruslah digelar secara beradab, tidak sekedar berkualitas semata. Karena terbukti kampanye berkualitas pada pelaksanaan Pemilu sebelumnya, tidak mampu menghindari polarisasi antar sesama anak bangsa.Â
Sejatinya setiap pelaksanaan Pemilu baik Pemilihan Legislatif (Pileg) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serta Pemilihan Presiden (Pilpres) mengedepankan politik agonistik, berupa penawaran program dan gagasan. Namun realitasnya yang mencuat adalah penawaran politik antagonistik, berupa resistensi dan degradasi yang bermuara pada terjadinya segregasi.
Segregasi mencuat menjadi polarisasi atau pembelahan sesama anak bangsa dan berlangsung secara biner, baik sebelum hingga sesudah Pemilu digelar. Polarisasi yang terjadinya secara biner tersebut, bukan saja membuat Pemilu menjadi tidak berkualitas, namun juga tidak beradab.
Ya bagaimana tidak beradab ketika yang mencuat dalam penawaran politik adalah produksi hoaks, fitnah, serta kebencian yang menimbulkan post truth di kalangan masyarakat. Jika aspek ini yang mencuat, bagaimana bisa diharapkan pesta demokrasi lima tahunan akan membangun sebuah peradaban politik yang mencerahkan.
Uniknya politik antagonistik terjadi secara transparan baik di dunia nyata maupun dunia maya melalui media sosial. Hal ini tidak mampu dibendung oleh penyelenggara Pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) termasuk juga oleh peserta Pemilu yakni partai politik.
Stakeholder Pemilu tersebut hanya bisa menyaksikan politik antagonistik merusak peradaban demokrasi di tanah air. Padahal tanggung jawab menghindarkan terjadinya segregasi dan polarisasi dalam Pemilu adalah menjadi tugas dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, penyelenggara, dan peserta Pemilu.
Bukan sebaliknya membiarkan polarisasi terus terjadi secara biner dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada Pemilu sebelumnya, bahkan masih terbawa bawa hingga kini.
Maka momentum digelarnya Pemilu 2024 (Khusus Pileg) pada tanggal 14 Pebruari yang bertepatan dengan hari kasih sayang, harusnya dijadikan momentun untuk mengkampanyekan Pemilu yang beradab. Yakni Pemilu yang mengedepankan segala bentuk sikap, perilaku, atau tata cara mencerminkan nilai sopan santun, kebaikan, serta budi pekerti. Karena masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang selalu menjalankan hidupnya sesuai aturan atau tata cara yang benar.
Hindari Narasi Politik Antagonistik
Bukankah Pemilu yang akan dihelat di 2024 nanti akan memiiliki berbagai perangkat aturan yang mengatur peserta Pemilu serta masyarakat selaku pemilik suara agar tidak keluar dari koridor pesta demokrasi.Â
Aturan itulah yang nantinya harus ditaati oleh setiap warga negara, sehingga tercipta Pemilu yang bukan saja berkualitas, namun juga beradab.Â
Salah satu contoh, dalam Pemilu nanti semua komponen baik calon legislatif, parpol, maupun masyarakat dilarang melakukan praktek politisasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dalam kampanye di semua saluran politik, terutama media massa maupun media sosial.
Lewat aturan ini maka seharusnya tidak ada praktek politisasi SARA sebagai penawaran politik antagonistik yang dilakukan oleh siapapun tanpa terkecuali. Terutama oleh peserta Pemilu yang berkontestasi dalam Pemilu.
Karena harus diakui, narasi SARA ini yang terkadang menjadi olahan politik oknum masyarakat maupun politisi hampa yang ingin mencapai kemenangan dengan segala cara. Mengesampingkan narasi program maupun gagasan yang harusnya menjadi penawaran politik agonistik dari peserta Pemilu.
Narasi SARA yang disampaikan secara hoaks dan penuh kebencian tersebut, terutama lewat media sosial, sudah seharusnya dihindari dalam setiap momentum kontestasi politik di tanah air. Sudah tidak relevan lagi menggunakan narasi SARA demi meraih kemenangan politik.
Penyelenggara Pemilu harusnya mencegah dan bertindak tegas terhadap oknum-oknum yang masih gemar bermain SARA sebagai penawaran politiknya. Jangan ada lagi pola lama yang mengedepankan SARA dalam momentum Pemilu di era konvergensi saat ini.
Pengalaman sebelumnya, penyelenggara Pemilu, yakni KPU dan Bawaslu memang menggandeng kelompok-kelompok masyarakat untuk terlibat membangun Pemilu yang berkualitas dan beradab. Pun juga dengan peserta Pemilu, yakni partai politik (parpol) dalam melakukan sosialisasi terhadap berbagai aturan terkait penyelenggaraan Pemilu yang damai.
Namun tetap saja penawaran politik antagonistik dalam kontestasi politik masih sering terjadi. Padahal sudah ada komitmen yang dibuat oleh peserta Pemilu termasuk para caleg untuk mengedepankan cara-cara yang jujur dan damai dalam berkontestasi.
Tanggung Jawab Pendidikan Politik
Harus diakui keberadaan parpol berperan penting dalam membangun iklim politik yang kondusif menjelang Pemilu 2024. Karena parpol memiliki program pendidikan politik dan memiliki konstituen, baik berupa struktur maupun anggota dan simpatisan partai.
Kesadaran berpolitik yang damai dan beradab seharusnya melekat pada konstituen parpol dalam menyongsong Pemilu 2024. Jika peran kongkrit dilakukan oleh parpol dalam memberikan penguatan politik, maka niscaya kesadaran tersebut bisa terwujud.
Sembari parpol terus menerus melakukan pendidikan politik terhadap konstituennya, maka tugas penyelenggara Pemilu untuk memberi penguatan kepada publik tentang pentingnya Pemilu yang beradab. Yakni Pemilu yang terhindari dari segala bentuk yang mempolarisasi sesama anak bangsa.
Karena sejatinya Pemilu adalah instrumen untuk menghadirkan para wakil rakyat dan pemimpin daerah dan negara yang nantinya akan bekerja melayani kepentingan masyarakat. Yakni kepentingan yang berkaitan dengan peradaban kehidupan masyarakat.
Maka apalah gunanya Pemilu sukses memilih para wakil rakyat dan pemimpin daerah dan negara, kalau sesama anak bangsa masih terus saling menghujat dan menghina tanpa ada akhir.
Potensi Pemilu 2024 akan kembali mempolarisasi anak bangsa sebenarnya sudah bisa dibaca dari sekarang. Misalnya berbagai kontra narasi yang dihembuskan oknum elit politik lewat informasi hoaks maupun kebencian yang dilakukan lewat media sosial.
Ini sesungguhnya adalah bentuk penawaran politik antagonistik yang sudah dilakukan menyongsong Pemilu 2024. Sayangnya apa yang dilakukan tersebut selain menghadirkan kegaduhan, juga bentuk penawaran politik yang tidak mendidik di ruang publik.
Maka kita memberi apresiasi kepada aparat hukum yang dari sedini mungkin mengatasi olahan politik antagonistik lewat narasi yang bersifat hoaks, fitnah, dan kebencian. Karena jika tidak ditangkal dari sekarang, akan semakin menjadi-jadi hingga Pemilu 2024.
Maka sekali lagi tugas bersama antara pemerintah, penyelenggara Pemilu, serta parpol untuk mengawal kesiapan Pemilu 2024. Tentu saja dengan melibatkan komponen masyarakat lainnya seperti perguruan tinggi, lembaga keumatan, ormas serta elemen lainnya untuk terlibat dalam melakukan pendidikan politik.
Kita berharap Pemilu 2024 kedepan yang dilakukan secara serentak terlaksana secara beradab. Karena jika tidak, maka hanya akan mengulang Pemilu sebelumnya yang membentangkan polarisasi sesama anak bangsa. Sebuah realitas yang mengancam persatuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H