Indeks Kebahagiaan masyarakat di tiap Propinsi di Indonesia ditentukan lewat tiga dimensi. Yakni Kepuasan Hidup (Life Satisfaction), Perasaan (Affect) dan Makna Hidup (Eudaimonia).
Tiga dimensi inilah yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) RI dalam melakukan survei pengukuran indeks kebahagiaan (SPTK) yang dilaksanakan 3 tahun sekali. Dan hasilnya sepuluh Propinsi dikategorikan sebagai Propinsi paling bahagia di Indonesia tahun 2021.
Kesepuluh Provinsi dengan Indeks Kebahagiaan tertinggi tersebut adalah Maluku Utara (76,34). Diikuti Kalimantan Utara (76,33), Maluku (76,28), Jambi (75,17), Sulawesi Utara (74,96), Kepulauan Riau (74,78), Gorontalo (74,77), Papua Barat (74,52), Sulawesi Tengah (74,46) dan Sulawesi Tenggara (73,98).
Sementara sepuluh Provinsi dengan Indeks Kebahagiaan terendah di Indonesia yakni, Sumatera Barat (71,34) Aceh (71,24), DKI Jakarta: (70,68), Sumatera Utara: (70,57), Nusa Tenggara Timur (70,31), Jawa Barat (70,23), Nusa Tenggara Barat: (69,98), Papua (69,87, Bengkulu: (69,74), dan Banten (68,08).
Indeks Kebahagiaan yang dipublikasikan BPS pada akhir tahun 2021,
menempatkan Propinsi Sulawesi Tengah diperingkat sembilan. Adapun nilai indeks kebahagian Sulteng tahun 2021 yakni 74,46 mengalami peningkatan dari tahun 2017 sebesar 71,92. Hasil survei Indeks Kebahagiaan tersebut didapatkan dengan melakukan pengambilan data langsung di masyarakat.
Tentu ada yang menarik dari sejumlah Provinsi yang menunjukan Indeks Kebahagiaan tertinggi, Yakni dimana cenderung ke Provinsi yang masuk sebagai kategori kepulauan, mengalami kesenjangan infrastruktur serta keterbatasan komunikasi telekomunikasi. Diantaranya Maluku Utara, Maluku, dan Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, Papua Barat serta Sulawesi Tengah.
Dengan kondisi tersebut seharusnya menjadi paradoks dalam mencapai Indeks Kebahagiaan tertinggi. Namun realitas dari survei BPS membuktikan sebaliknya. Justru Propinsi yang masih mengalami disparitas dalam sejumlah sektor tersebut, malah menapaki kebahagiaan tertinggi.
Ini sekaligus menjawab sinyalemen bahwa Propinsi yang lebih maju dari modern sarana dan prasarananya, akan beririsan dengan kebahagiaan warganya. Ternyata faktanya tidak seperti itu. Terbukti pada Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Dimana dari tiga dimensi yakni kepuasan hidup, perasaan dan makna hidup, mendapatkan indeks terendah alias tidak bahagia.
Lalu mengapa justru di Propinsi yang masuk kategori Kepulauan yang mengalami disparitas di berbagai sektor, justru Indeks Kebahagiaanya tertinggi. Inilah yang menarik untuk dicermati. Karena bukankah justru di daerah yang mengalami keterbatasan tersebut, masyarakatnya lebih tidak bahagia karena berhadapan dengan realitas yang menyulitkan dan penuh tantangan.
Bisa jadi jawabnya karena masyarakat sudah terbiasa menjalani kehidupan secara ikhlas dan pasrah bertahun tahun. Sehingga tidak lagi menjadikan medan yang berat serta wilayah yang sulit, sebagai sebuah problem. Disinilah kepuasaan hidup, perasaan serta makna hidup melebur menjadi satu dan memberikan kebahagiaan yang hakiki bagi mereka.
Dalam kunjungan ke pelosok daerah di Sulawesi Tengah yang mengalami keterbatasan sarana dan prasarana, saya menemukan adanya perjumpaan yang egaliter dan guyub dengan masyarakat setempat. Disinilah saya menilai bahwa keterbatasan, kesenjangan dan kesulitan tidak harus menggerus kebahagiaan masyarakat.
Bahwa masyarakat mempertanyakan adanya ketimpangan dan perlu mendapat perhatian dari pihak terkait, merupakan hal yang lumrah. Namun kesenjangan sebagai realitas tantangan yang harus dijalani tanpa harus mengeluh, itulah kenyataan hidup yang sehari hari dilakoni masyarakat. Â
Saya terkadang berefleksi melihat perjuangan masyarakat di wilayah Kulawi Kabupaten Sigi yang harus menggunakan kendaraan roda dua melewati medan sulit untuk membawa barang ke tempatnya. Demikian pula dengan masyarakat di wilayah Pamona Kabupaten Poso yang berjibaku dengan jalan rusak untuk bisa sampai ke daerahnya.
Pergumulan atas keterbatasan sarana dan infrastruktur tersebut sesungguhnya menjadi potret dari adanya disparitas di sejumlah daerah di Sulteng. Dimana masyarakat setempat sudah terbiasa menghadapi kondisi tersebut secara familiar. Baik yang ada di daerah kepulauan yang terjauh, maupun di pegunungan yang tidak bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat.
Dimana tidak alasan untuk mengeluhkan kenyataan yang ada. Dan tidak harus membuang energi untuk mencari cari kesalahan. Hidup harus terus berjalan, meski diperhadapkan berbagai tantangan. Tak ada alasan untuk tidak bersyukur dan bahagia, ditengah situasi yang penuh keterbatasan dan kesulitan.
Kita berharap Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah tidak berpuas diri dengan capaian Indeks Kebahagiaan yang menempatkan Sulawesi Tengah di sepuluh besar Propinsi paling bahagia di Indonesia. Sebaliknya menggenjot pembangunan di daerah daerah yang mengalami keterbatasan sarana prasarana, agar aktivitas masyarakatnya menjadi lebih mudah.
Karena hasil survei BPS saja, tidak cukup untuk menjawab persoalan masyarakat di daerah yang mengalami keterbatasan sarana dan prasarana. Capaian kebahagiaan harus setimpal dengan kemajuan di berbagai sektor, lewat terobosan nyata yang memberikan dampak peradaban bagi masyarakat.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi siapapun yang menjadi Pemimpin di daerah Sulawesi Tengah. Karena hakekat keberadaan seorang  Pemimpin adalah mampu melakukan perubahan dari satu fase ke fase berikutnya. Untuk melakukan terobosan memang tidak semudah membalikkan tangan, namun jika ada niat dan kemauan pasti ada jalan untuk mewujudkannya. Â
Pada akhirnya hasil survei Indeks Kebahagiaan yang dibuat oleh BPS telah menghadirkan sebuah fakta mengejutkan bagi kita. Bahwa elemen utama dari kebahagian sejatinya adalah pola pikir. Adapun materi, sarana dan fasilitas, adalah sebagai elemen pelengkap semata. Keterbatasan materi, fasilitas dan sarana tidak menjadi penghalang bagi tiap orang untuk bisa bahagia.
Lewat pola pikir yang efektif akan terbawa pada kepuasaan hidup, perasaan serta makna hidup seseorang. Karena sejatinya kebahagian itu ada pada pikiran dan hati (Perasaan). Jika perasaan terjaga baik, maka seseorang akan senantiasa mensyukuri apa yang sudah didapatkan dalam hidup (Kepuasan).
Dan ketika rasa syukur senantiasa dipanjatkan, maka disitulah makna hidup menjadi berarti. Karena hidup yang berarti, adalah hidup yang didalamnya ada kebahagiaan. Â
"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H