Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi Tiga Tahun Gempa Pasigala dan Revisi UU Penanggulangan Bencana

28 September 2021   19:38 Diperbarui: 1 Oktober 2021   23:14 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangunan yang tersisa di lokasi tsunami Palu tahun 2018 lalu. Doc Pri

Tanggal 28 September 2021 tiga tahun sudah berlalu, namun sejumlah masalah masih mencuat dalam upaya penanganan pasca gempa, tsunami dan liquifaksi di wilayah Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) Provinsi Sulawesi Tengah.

Momentum tiga tahun pasca gempa dasyat 7,4 magnitudo melanda Pasigala tahun 2018 lalu, akan dikenang sebagai sebuah pengalaman spritual  melewati masa masa sulit  Serta perjuangan agar dapat bertahan hidup dalam situasi tidak menentu.

Tangisan, ratap duka cita dan penderitaan, melebur menjadi satu, saat bencana alam memporak porandakan Pasigala. Gempa, tsunami dan liquifaksi datang seketika merenggut korban jiwa dan harta benda warga Pasigala.

Kita yang masih diberikan keselamatan patut menaikkan ungkapan syukur atas perlindungan Sang Khalik  Dimana keselamatan tersebut telah mendorong hadirnya semangat kemanusiaan untuk saling berkontribusi terhadap sesama.

Semangat kemanusiaan yang terbangun dari gempa Pasigala itulah yang menegaskan bahwa modal sosial kita ternyata masih kuat. Modal sosial itu adalah tolong menolong, solidaritas, kepedulian dan rasa kebersamaan diantara penyintas gempa.

Modal sosial ini yang seharusnya menjadi pondasi dalam merefleksikan tiga tahun gempa Pasigala. Yakni sejauh mana upaya penanganan pasca gempa telah memberikan dampak kemasyalahatan bagi warga Pasigala.

Tentu ada beberapa hal yang menjadi catatan dalam momentum merefleksikan tiga tahun gempa Pasigala, dalam upaya penanganan dan rehabilitasi pasca gempa bagi masyarakat yang juga selaku penyintas gempa.

Pertama, keberadaan warga yang masih  menetap di sejumlah hunian sementara (Huntara) hingga tiga tahun berjalan menjadi realitas yang ironis. Bertahan di huntara dalam kondisi keterbatasan, menjadi sebuah paradoks dari geliat rehab rekon yang dilakukan oleh Pemerintah.

Huntara yang sempat ditinggali kini  sudah dibongkar. Doc Pri
Huntara yang sempat ditinggali kini  sudah dibongkar. Doc Pri
Sejumlah huntara yang sudah dibongkar karena habis masa kontrak lahannya, membuat warga penghuni harus meninggalkan huntara dan mencari tempat tinggal masing masing. Tentu Pemerintah perlu memperhatikan realitas ini sebagai tanggung jawab responsif kepada para  penyintas gempa di Pasigala.

Kedua, belum tuntasnya pembangunan hunian tetap (Huntap) di berbagai lokasi yang sudah ditetapkan, akibat kendala yang berlarut larut, adalah realitas yang harus bisa diatasi. 

Tujuannya agar pembangunan huntap oleh Balai Pelaksana Penyedia Perumahan (BP2P) Wilayah Sulawesi II Kementerian PUPR, bisa selesai sesuai target dan tepat waktu, sehingga bisa dihuni oleh masyarakat yang sudah tiga tahun bertahan di huntara.

Ketiga, ganti rugi pembebasan ahan yang belum tuntas menjadi kendala dalam pembangunan sarana dan infrastruktur sebagai bagian dari pelaksanaan rehab rekon pasca gempa. 

Pembangunan infrastruktur seperti huntap, jembatan dan jalan yang sudah teralokasikan anggarannya oleh Pemerintah Pusat, disayangkan tidak termanfaatkan hanya karena proses ganti rugi yang tidak terselesaikan.  

Maka langkah Gubernur Sulteng Rusdy Mastura yang telah mengalokasikan dana pembebasan lahan untuk Pemkot Palu, Pemkab Sigi dan Pemkab Donggala sebesar Rp 61,8 miliar merupakan bentuk komitmen Pemprov Sulteng dalam mendukung pembangunan fisik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Bantuan dana tersebut diharapkan dimanfaatkan untuk menuntaskan ganti rugi lahan.

Keempat, keberadaan beberapa bangunan yang terkena gempa, tsunami maupun liquifaksi dan masih dibiarkan teronggok di sejumlah tempat dan menjadi pemandangan di ruang publik, hingga kini belum dimanfaatkan dan dijadikan sebagai monumen peringatan gempa Pasigala atau dijadikan destinasi edukasi bencana alam.

Belajar dari Provinsi  Aceh yang telah memiliki monumen peringatan tsunami, ada baiknya Pemprov Sulteng dan Pemkot Palu juga menyiapkan desain dan areal untuk dijadikan monumen peringatan bencana gempa, tsunami dan liquifaksi. 

Dimana bisa menjadi peringatan atas tragedi kemanusiaan, sekaligus sebagai sarana edukasi bagaimana warga Pasigala bangkit dari gempa dasyat tersebut.

Kelima, geliat ekonomi masyarakat korban gempa semakin membaik dan ini harusnya terus mendapat dukungan stimulan Pemerintah sembari terus memberikan edukasi. Seperti misalnya masyarakat yang kini berdagang di lokasi tsunami Teluk Palu, perlu dikawal oleh Pemkot Palu sembari diberi bekal migitasi bencana.

Geliat ekonomi di Teluk Palu setelah adanya tanggul penahan ombak. Doc Pri
Geliat ekonomi di Teluk Palu setelah adanya tanggul penahan ombak. Doc Pri
Seperti diketahui tanggul penahan ombak yang bangun oleh Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III Palu setinggi tiga meter di Teluk Palu sebagai bagian rehab rekon pasca gempa, kini dimanfaatkan oleh pelaku UMKM untuk menarik minat pengunjung  menikmati kuliner sekaligus menikmati pemandangan Teluk Palu.  

Keenam, problem yang ada di huntap seperti fasilitas air bersih yang butuhkan oleh warga, perlu ditangani oleh instansi terkait dalam hal ini Balai Prasarana Pemukiman Wilayah (BPPW)  Sulteng Kementerian PUPR. Tentunya bekerjasama dengan Pemda setempat  agar warga bisa nyaman menetap di huntap yang sudah terbangun.

Ketujuh, Pemprov Sulteng bersama Pemda di Pasigala bekerjasama dengan Instansi terkait menyusun dan membuat riset tentang spot spot rawan bencana sekaligus wilayah migitasi di Pasigala. Agar dapat menjadi acuan bagi warga dan stakeholder dalam beraktivitas. Ini penting guna meminimalisir dampak yang ditimbulkan jika gempa terjadi.

Revisi UU Penanggulangan Bencana

Seiring dengan refleksi tiga tahun gempa Pasigala, saat ini tengah dilakukan revisi Undang Undang (UU) no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang melibatkan Pemerintah, DPR dan DPD RI. Pembahasan maraton dilakukan untuk menuntaskan revisi UU yang sudah berusia 14 tahun dan dinilai sudah tidak relevan dengan situasi saat ini.

Revisi dilakukan selain untuk mengakomodir   norma baru yang belum termuat dalam UU juga melakukan perubahan redaksional guna memberikan penegasan pasal demi pasal  yang ada dalam UU tersebut.  Diantaranya dalam BAB I Pasal 1, dimana  antara Pemerintah dan Legislatif dalam draf revisi sama sama mengusulkan perlunya perubahan redaksional .

Diantaranya menyangkut pengertian, status tanggap darurat, rehabilitasi, rekonstruksi, bantuan darurat bencana hingga status pengungsi. Selanjutnya soal penetapan status bencana dalam pasal 7 dalam draf RUU oleh Pemerintah, diusulkan  perubahan redaksional. Dimana perubahan redaksional tersebut akan dibahas dengan usulan dari DPR dan DPD RI.

Huntap di Kota Palu yang sudah ditinggali warga. Doc Pri 
Huntap di Kota Palu yang sudah ditinggali warga. Doc Pri 
Demikian pula pada pasal 9 mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran bencana, dimana dalam draf DPD RI sebelumnya, diusulkan norma baru serta perubahan redaksional yang memberi peran lebih besar kepada Pemda.  Selanjutnya pada pasal 18 terkait fungsi badan penanggulangan bencana daerah, juga diusulkan  menambahkan norma baru sekaligus perubahan redaksional.

Dalam pasal 67 menyangkut anggaran penanggulangan bencana, dalam draf DPD RI diusulkan perubahan substansi. Dimana menyebutkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengalokasikan dana penanggulangan bencana paling sedikit satu persen dalam APBN dan APBD.  

Dalam pasal 78  ayat 1 terkait bantuan untuk korban bencana, dalam draf Pemerintah diusulkan perubahan redaksional. Dimana menyebutkan bantuan jaminan hidup bukan hanya untuk korban bencana yang menimbulkan disabilitas, namun juga santunan kepada ahli waris bagi korban bencana yang meninggal dunia.

Yang menarik usulan perubahan redaksional untuk BAB VIII mengenai peran lembaga usaha dan lembaga internasional, dirubah menjadi peran masyarakat lembaga usaha dan lembaga internasional. Alasannya selama ini masyarakat berperan dalam penanggulangan bencana. Usulan norma baru ditambahkan pasal 80 ayat 1 dimana menyebutkan, masyarakat dapat berperan dalam penanggulangan bencana.

Pentingnya Migitasi Bencana

Kita berharap revisi UU Penanggulangan Bencana bisa dituntaskan dengan mengakomodir kepentingan daerah daerah yang rawan bencana di Indonesia termasuk di Sulawesi Tengah. 

Harus diakui peristiwa gempa dasyat Pasigala telah memberikan kesadaran bahwa dampak bencana alam sangat dirasakan oleh masyarakat dan daerah setempat. Dan kesadaran itu perlu tertuang dan terakomodir dalam regulasi UU Penanggulangan Bencana.

Namun dibalik bencana tersebut ada fakta mencengangkan, bahwa keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana tidak bisa diabaikan. Disatu sisi daerah yang terdampak bencana harus ditangani dengan pendekatan serta kebijakan holistik  yang bisa mengangkat daerah tersebut dari keterpurukan.

Tenda yang sempat dihuni pengungsi saat gempa Pasigala. Doc Pri
Tenda yang sempat dihuni pengungsi saat gempa Pasigala. Doc Pri
Pada akhirnya refleksi tiga tahun gempa Pasigala hendak mengingatkan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Untuk itu ada tiga hal yang penting untuk dijadikan bahan refleksi.  

Pertama, hidup di daerah rawan gempa baik di Pasigala atau wilayah lain di Sulteng, maka modal utama adalah pemahaman migitasi bencana yang mumpuni sebagai upaya penyelamatan diri masyarakat ketika gempa terjadi. Pengalaman banyaknya korban jiwa saat gempa dasyat tiga tahun lalu, menjadi pelajaran berharga bahwa migitasi bencana sangat penting.

Kedua, kepedulian sosial yang terbangun  saat bencana, harus tetap terimplementasi dalam konteks penanganan pasca gempa. Semangat kemanusiaan dan kepedulian sosial harus dapat mengesampingkan sikap ego pribadi, demi mengedepankan kepentingan bersama. Terutama dalam pelaksanaan rehab rekon pasca gempa di wilayah Pasigala.

Ketiga, saling sinergi antara Pemerintah Daerah dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam rehabilitasi pasca gempa. Sebagai masyarakat yang baik perlu mendukung langkah Pemerintah dalam mengupayakan penanganan rehab rekon. Disatu sisi political will Pemerintah dalam merespon dan memenuhi kebutuhan masyarakat korban gempa juga menjadi hal penting.

Semoga pengalaman melewati masa masa sulit saat gempa Pasigala tiga tahun lalu, menjadi momentum untuk memperkuat semangat kebersamaan dan solidaritas kemanusiaan, diantara sesama warga Pasigala pada khususnya dan warga  Sulteng pada umumnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun