"Saya seorang nasionalis, tapi nasionalis marhaen, hidup dengan kaum marhaen, mati dengan marhaen."(Sukarno, Mencapai Indonesia Merdeka 1933)
Penggalan kutipan Sukarno dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka diatas, menjadi prolog (lead) tulisan ini dalam momentum HUT ke 47 tahun PDI Perjuangan yang jatuh pada tanggal 10 Januari 2020. Judul tulisan sengaja saya angkat dalam sebuah pertanyaan reflektif, agar menjadi kontemplasi, apakah masih terpatri jiwa marhaenisme dalam segenap jiwa seluruh kader partai moncong putih. Ataukah sudah tergerus oleh perkembangan jaman di era disrupsi ini.
Menoleh ke 87 tahun lalu, saat Sukarno membuat risalah Mencapai Indonesi Merdeka, narasi marhaen berulang ulang kali disebut sang Proklamator yang jiwa dan semangat perjuangannya, diteruskan oleh segenap kader PDI Perjuangan di seluruh tanah air. Sukarno mengatakan, "saya dus bisa menutup bagian enam dari tulisan (risalah) ini dengan mengulangi apa sarinya."
Yakni, pertama, tujuannya pergerakan marhaen haruslah suatu masyarakat zonder kapitalisme dan imperialisme. Kedua, jembatan kearah masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri Indonesia. Ketiga, marhaen harus menjaga yang didalam Indonesia merdeka, marhaenlah yang menggengam politieke macht,  menggenggam  kekuasaan kekuasaan pemerintah.
Dalam konsepsi Bung Karno, yang dinamakan marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Kaum marhaen ini terdiri dari tiga unsur: Pertama, unsur kaum proletar Indonesia (buruh). Kedua, unsur kaum tani melarat Indonesia, dan Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain lain.
"Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum marhaenis? Kaum marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot bangsa. yang mengorganisir berjuta juta kaum marhaen itu, dan yang bersama sama dengan tenaga massa marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme. Dan yang bersama sama dengan massa marhaen itu membanting tulang untuk membangun negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur," kata Sukarno.
Sementara marhaenisme sendiri adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya. Secara positif, maka marhaenisme dinamakan juga sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Karena nasionalismenya kaum marhaen adalah nasionalisme yang social bewust (sadar/insaf) dan karena demokrasinya kaum marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula.
Marhaen dan KemiskinanÂ
Dalam Indonesia Menggugat yakni pidato pembelaan (pledoi) Sukarno dihadapan sidang pengadilan Kolonial tahun 1930, Sukarno menyebutkan bahwa, marhaen sebagai pergaulan hidup yang sebagaian besar terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil. Pendak kata kaum marhein yang apa apanya semua kecil. Makanya siapa yang tidak memperusahakan marhaenisme, walaupun seribu kali sehari ia berteriak cinta bangsa cinta rakyat, ia hanya menjalankan politik yang cuma politik politikan belaka.
"Kaum marhean sendiri merasakan saban hari bagaimana mereka kekurangan segala galanya, kekurangan bekal hidup, kekurangan pakaian. Kekurangan benda rumah tangga, keurangan bekal pendidikan anaknya, kekurangan tiap tiap bekal manusia walau yang paling sederhana jua adanya. Bahwa marhaen adalah rakyat minimunm lijdster, yaitu masyarakat yang sudah begitu meralat hidupnya," kata Bung Karno dalam Mencapai Indonesia Merdeka.
Sebagai penerus ajaran dan perjuangan Bung Karno, maka pernyataan dalam pledio persidangan 1930 tersebut rasanya masih relevan buat seluruh anggota dan kader PDI Perjuangan yang hari ini berusia 47 tahun. PDI Perjuangan sebagai partai wong cilik, harus terus merefleksikan dan mengimplementasikan apa yang diadagumkan oleh Sukarno. Yakni tetap menjadi kaum marhaenis yang senantiasa memperjuangan keberadaan kaum marhaen, yaitu kaum kecil (melarat/miskin) di bumi Indonesia yang harus diperbaiki taraf kehidupannya.
Keberadaan kader di tiga pilar yakni eksekutif, legislatif dan struktural harus menjadi garda terdepan sebagai perilaku marhaenis sejati. Bung Karno  sejak masa revolusi sudah mengingatkan, sebagai kaum marhaenis maka harus menjadi bagian perjuangan dari sebuah partai pelopor. Yakni partai yang memegang obor, partai yang berjalan di muka dan yang menyuluh jalan gelap dan penuh dengan ranjau ranjau, sehingga menjadi jalan yang terang.
Dalam realitas kebangsaan kita saat ini, prosentase keberadaan masyarakat miskin sebanyak 9.7 persen dari jumlah penduduk Indonesia, sementara jumlah angka pengangguran mencapai 5,1 persen. Itu artinya mereka yang masuk dalam konssepsi Bung Karno sebagai marhaen, masih lumayan banyak jumlahnya. Keberadaan potret kemiskinan inilah yang harus menjadi tugas PDI Perjuangan sebagai partai pelopor lewat kader kadernya yang ada di tiga pilar, untuk memberi kebewustan (kesadaran) menuju pada keunggulan.
Kemiskinan sebagai jalan gelap dan ranjau keadilan sosial, menjadi tantangan bagi PDI Perjuangan yang sebagai partai pemenang pemilu 2019 dan mengantar kadernya terbanyak di Parlemen Pusat dan menjadi Presiden Republik Indonesia untuk dapat mengatasinya. Memang bukan tugas mudah, tapi paling tidak sebagai partai penguasa, maka tanggungjawab untuk mengatasi kemiskinan menjadi tugas utama. Â Â
Megawati Simbol Marhaenis
 Dalam Buku Bu Mega menyebutkan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri selalu mengingatkan para kader tentang Pancasila 1 Juni, tentang ajaran trisakti Bung Karno, tentang perjuangan panjang merebut kemerdekaan dan keharusan partai untuk melayani rakyat kecil. Dimana mana Megawati selalu mengatakan, intisari ajaran Bung Karno kalau diperas hanya ada dua. Yakni keharusan untuk mencintai tanah air dan keharusan untuk berpihak pada yang miskin, yang lemah dan yang terpinggirkan.
Sebagai anak biologis dan anak idiologis Bung Karno, ketegasan ajaran Bung Karno kepada kader partai oleh seorang Megawati bukan hanya menjadi retorika semata, tapi diimplemetasikan dalam tataran praksis. Konsekuensi sebagai anak idiologis Bung Karno yang menanamkan konsepsi marhaenis dalam alam kesadaran seorang Megawati, secara tidak langsung menjadikan dirinya sebagai simbol dari marhaenis itu sendiri.
Simbol yang memberi pesan bahwa dirinya berpihak ke wong cilik. Yakni sebuah sikap hidup seorang marhaenis yang berpihak dan melayani masyarakat miskin. Menggerakkan kadernya yang berada di tiga pilar eksekutif, legislatif dan struktural sebagai petugas partai, untuk selalu menangis dan tertawa bersama rakyat. Untuk selalu turun ke lapangan bertemu rakyat, menyerap aspirasi dan melayani mereka.
Dalam buku menangis dan tertawa bersama rakyat, yang menceritakan kisah Megawai pada saat saat awal menjadi Ketua Umum Partai Baneng yang penuh tantangan dimasa orde baru. Disebutkan sosok Megawati mampu membaca bahasa rakyat ketika dengan kesabaran luar biasa ia berbicara dengan rakyat saat turun ke berbagai daerah. Megawati dalam berbagai pidatonya mengatakan, "sudah cukup lama kita  menangis, jangan menangis lagi tegakkan mukamu menjadi manusia sejati untuk menegakkan kebenaran. "
Sebagai Ketua Umum terlama di Indonesia kepiawaian Megawati dalam membaca dan memahami roh rakyat Indonesia, masih bisa dirasakan hingga saat ini. Karakter Megawati yang dekat dengan rakyat itulah yang turut menjadi teladan bagii banyak kader PDI Perjuangan untuk mempraktekkan perilaku dan jiwa marhaenis dalam kepemimpinannya. Seperti Presiden Joko Widodo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Surabaya Tri Rismaharini serta banyak lagi kader partai yang menjadi pemimpin di daerah.
Tantangan di era disrupsi saaat ini yang menampilkan ciri hidup masyarakat  yang indivudualisme, materialisme serta hedonisme menjadi tantangan bagi kader Partai yang rentan tergerus menjadi kaum pragmatis, serta terdegradasi menjadi kaum burjois. Kaum yang menurut Bung Karno, hanya menikmati enaknya nangka (kekuasaan) dari perjuangan merebut politieke macht.
"Awas kaum marhaen, awas dengan nasionalisme keburjoisan dan nasionalisme keningratan itu. Kaum marhaen Indonesia pun dus harus menjaga jangan sampai politieke macht (kekuasaan politik) itu jatuh ke dalam tangannya hak burjois dan ningrat Indonesia. Jangan sampai kaum marhaen yang 'kena getah' dan mereka yang memakan nangkanya," ujar Sukarno dalam Mencapai Indonesia Merdeka.
Saat menerima gelar doktor honoris causa di Universitas Soka Tokyo baru baru ini Megawati dalam pidatonya mengatakan, kemanusiaan yang adil dan beradab lahir dari rasa empati, persaudaraan dan pembebasan. Kemanusiaan yang adil dan beradab melahirkan politik emansipatoris, politik yang membuka ruang bagi mereka yang terpinggirkan. "Itulah keyakinan saya dalam berpolitik, yaitu politik kemanusiaan," ujar Megawati.
Usia 47 Tahun menjadi momentum bagi seluruh kader PDI Perjuangan ditanah air  untuk merefleksikan pernyataan Megawati tentang politik kemanusiaan. Yakni sebuah praktek politik yang sejatinya adalah ruh dari jiwa dan langgam marheanis yang menjadi adagium Bung Karno. Â
Selaamat Ulang Tahun ke 47. Merdeka!
Palu, 10 Januari 2020
Efrain Limbong, Sukarnois
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H