Dimana Sulteng kelak akan menjadi jembatan penghubung antara ibu kota negara yang baru dengan Wilayah Timur Indonesia, Serta dapat menjadi penghubung antara Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) wilayah II yang meliputi laut Sulawesi, Selat Makassar, laut flores dan selat lombok dengan wilayah III yang meliputi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu dan Samudera Hindia.
Hasanuddin Atjo menilai, pemindahan ibu kota negara untuk mengatasi masalah disparitas antar wilayah lain di Indonesia. Disatu sisi akan turut mendongkrak kemajuan di daerah penyanggah termasuk Sulteng. Menurutnya, Sulteng sebagai jembatan bagi Kawasan Timur Indonesia, harus dapat menjadi pemasok dan pemenuhan kebutuhan. Seperti bahan makanan pokok, energi pracetak, industri metal, industri minyak, dan logistik. "Yang jelas pemindahan ibu kota akan berdampak pada terbangunnya pusat-pusat pertumbuhan baru termasuk beberapa daerah di Sulteng," tuturnya.
Namun nada skeptis juga datang dari sejumlah pihak, dimana melihat dampak ancaman  terhadap lingkungan cukup besar jika pembangunan sudah berproses di ibu kota baru. Pasalnya, selama ini Sulteng termasuk daerah yang menyuplai bahan galian C yakni sirtu ke daerah Kalimantan untuk pembanguan infrastruktur. Ditenggarai kebutuhan material galian C akan lebih besar dan eksploitasi akan semakin tidak terkendali, khususnya di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Donggala untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan.
Ancaman lain adalah, sebagaimana pengalaman Jakarta sebagai ibukota menjadi magnet tersendiri, bagi pencari kerja berbondong bondong datang untuk mendapat pekerjaan  dan meninggalkan daerahnya. Dipastikan tidak sedikit warga Sulteng yang akan merantau mencari peruntungan di ibu kota baru, padahal tenaga dan sumber dayanya diperlukan untuk membangun daerah.Â
Dikuatirkan akan terjadi distorsi peradaban, warga yang terbiasa hidup dalam kearifan lokal akan berubah menjadi pragmatis, karena magnet pembangunan yang gradual. Â
Namun narasi ancaman tersebut semua masih sebatas asumsi, karena realitasnya dalam pembangunan pasti ada ancaman dan juga peluang. Fakta juga Sudah memperlihatkan  bahwa kerusakan lingkungan juga sudah terjadi sebelum pemindahan ibukota.Â
Makanya Pemerintah daerah yang kredibel, pasti akan mempertimbangkan baik buruknya dampak sebuah pembangunan dari sebuah pemindahan ibu kota.
Pemerintah juga juga punya kajian dalam sebuah analis SWOT yakni metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) sebagai solusi.Â
Yang menjadi persoalan jangan sampai Sulteng terkesan 'gagap' dalam merespon lompatan Visi Indonesia Jokowi, termasuk soal pemindahan ibu kota yang sudah tidak bisa ditawar lagi.
Kita salut dengan sosok Hasanuddin Atjo yang punya visi cemerlang dalam merespon wacana pemindahan ibu kota. Visinya tentang peran Sulteng sebagai jembatan penghubung dengan membangun jalan tol Tambu Kasimbar sepanjang 28 kilometer, adalah visi cerdas. Dimana jal tol tersebut nantinya akan dilalui oleh sejumlah alat transportasi darat yang dimuat oleh kapal fery dari ibukota Negara atau wilayah lain.Â
Visi ini sudah disampaikannya dalam forum penyusunan RPJMN 2020-2024 di Manado. Tidak menutup kemungkinan, kelak akan dieksekusi oleh Jokowi  Jika dianggap strategis dalam menunjang kemajuan daerah Sulteng dan memberi dampak pada pembangunan ibu kota baru.
Kita juga mengapresiasi seorang Wakil Rakyat seperti Ahmad HM Ali yang punya framing bagaimana Sulteng harus merespon pemindahan ibu kota. Figur yang punya konsepsi, seperti apa Sulteng harus berbuat dalam konteks geopolitik Sulawesi.Â
Narasinya bahwa sebagai daerah terdekat dan penyalur logistik, Sulteng harus membangun infra struktur yang cepat dan memadai, menggambarkan bahwa sosok Ahmad Ali bukan hanya memiliki visi, tapi juga aksi. Betullah kata adagium bahwa, visi tanpa aksi adalah sebuah lamunan.