"Tiga momen tidak terlewatkan di Kota Makassar, yakni menikmati Pantai Losari dengan menu khas pisang epenya, menonton film Bumi Manusia yang lagi fenomenal, serta menyimak pengumuman Presiden Jokowi soal pemindahan ibu kota di Kalimantan Timur."
 Mentari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat, memancarkan warna kuning kemerahan. Dari Pantai Losari, panorama matahari terbenam alias sunset tersebut begitu indah. Sebuah maha karya Sang Pencipta yang hanya bisa dikagumi dan disyukuri saat melihatnya. Bukan hanya saya saja, banyak warga di lokasi tersebut turut menikmati sunset, sembari duduk santai di pujasera yang memanjang di sepanjang Pantai Losari.
Menikmati sunset sembari menikmati kuliner khas Makassar, sudah menjadi tradisi warga setempat saat sore hari. Salah satunya yakni kuliner khas pisang epe alias pisang yang dibakar lalu dipenyetkan dan dipadukan cairan gula merah. Rasanya sudah pasti nikmat dan lezat. Sejak kecil, saya sudah menikmati pisang epe, dan saat dewasa jika ada kesempatan pulang ke Makassar, pasti menikmatinya.
Pantai Losari adalah saksi bagaimana peradaban Makassar berkembang dari waktu ke waktu. Bagi sebagian orang, Pantai Losari bukan hanya sebagai urat nadi yang menjadi jantung kehidupan, tetapi juga sebagai filosofi yang tumbuh bersama mereka. Filosofi yang dimaksud adalah Pantai Losari bersama denyut kehidupannya, telah melahirkan peradaban yang turut mengukir sejarah manusia.
Pantai Losari yang dulunya hanya menjadi tempat permandian laut oleh warga, kini tumbuh menjadi sebuah peradaban yang maju dan modern. Bahkan di daerah itu tengah digenjot proyek reklamasi Pembangunan Center of Indonesia (CPI) sebagai bagian dari rancangan induk kawasan bisnis global terpadu. Proyek CPI hendak menegaskan, bahwa Makasar adalah kota metro yang terus menggeliat di Kawasan Timur Indonesia.
Namun demikian, Pantai Losari tetap menjadi ruang publik yang familiar bagi warga Makassar. Pantai Losari sebagai ikonik kota Anging Mammiri, menyediakan anjungan yang representatif bagi wisatawan untuk tempat berkunjung. Pantai Losari juga memberi ruang yang layak masyarakat kecil untuk berdagang kuliner khas setempat. Jagung bakar, pisang epe dan roti bakar mendapat tempatnya. Pantai Losari oleh Pemerintah setempat dibangun dengan fasilitas yang bagus, namun aspek keadilan tetap diutamakan dengan menempatkan masyarakat kecil sebagai objek yang harus diberdayakan. Â Â
Perasaan nyaman di Pantai Losari, menjadi berkecamuk ketika menonton film Bumi Manusia di sebuah mall di Kota Makassar. Bagaimana tidak berkecamuk, melihat film  yang mengisahkan praktek ketidakadilan menimpa warga pribumi pada jaman kolonial. Bagaimana tidak perih, melihat ending film tersebut, saat Minke dan Nyai Ontosoroh hanya bisa pasrah ketika Annelies dibawah pergi ke negeri Belanda tanpa bisa menahannya. Sampai sampai Minke harus berkata, "kita sudah kalah ma." dan dibalas Nyai Ontosoroh, "kita sudah melawan nak, sebaik baiknya dan sehormat hormatnya." Â
Menonton film Bumi Manusia selama tiga jam, adalah momentum pergulatan perasaan. Bagi yang bertipikal melankolis, harus rela menghapus air mata berulang ulang, mengikuti alur cerita yang mengharu biru. Toh menonton Bumi Manusia, kita sebagai prnonton banyak mendapat pesan moral, bukan saja soal perlawanan, perkawanan, dan kegigihan, tapi juga tapi juga kesetiaan. Sebagaimana yang ditunjukkan seorang Darsam selaku pengawal yang setia kepada majikan Nyai Ontosoroh, hingga rela mengorbankan dirinya.
Juga pernyataan pernyataan dari pemainnya yang mengandung nilai filosofis. Sebagaimana saat Jean Marais seorang pelukis yang berkata kepada Minke, "seorang terpelajar harus berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." Sebuah otokritik bagi kita yang terkadang hanya di mulut saja bicara keadilan, namun dalam tindakan melakukan segregasi.Â
Intinya Bumi Manusia yang diangkat dari novel maha karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer itu, telah sukses memberikan gambaran bagaimana peradaban masa lalu bangsa ini. Dan bagaimana anak bangsa menghadapinya dengan penuh perjuangan dan air mata. Inilah film yang membuat saya pertama kalnya menyanyikan lagu Indonesia Raya didalam bioskop dan memberikan standing aplaus saat film berakhir. Film yang berhasil menggugah senangat nasionalisme dan kebangsaan saya dan penonton lainnya. Â Â
Kisah perlawanan terhadap ketidakadilan dalam Bumi Manusia yang dilakonkan Minke dan Nyai Ontosoroh bisa menjadi bahan refleksi bagi kita, saat Jokowi mengumumkan pemindahan ibu kota ke wilayah Kalimantan Timur. Hakekat pemindahan sebagai upaya mendapatkan sebuah ibu kota yang lebih layak, setidaknya tengah diperjuangkan oleh Jokowi. Â
Jakarta yang sudah padat dan sumpek sesugguhnya realitas atas ketidakadilan dan ketimpangan pembangunan yang dilakukan pada berpuluh tahun sebelumnya. Jakarta yang modern, berbanding terbalik dengan wilayah lain di Indonesia yang masih tertinggal, baik sarana prasarana maupun infra strukturnya.
Dengan memindahkan ibu kota ke Kaltim, merupakan cara Jokowi untuk membuat daerah lain di Indonesia lebih maju dan berkembang, bukan hanya Jakarta saja. Jakarta benar kota metropolitan, namun bebannya sudah sangat berat. Yakni beban kemacetan, polusi, dan kepadatan penduduk, makanya Jokowi berpikir Jakarta perlu dibantu dengan mengurangi bebannya. Rasanya sudah cukup semua energi terserap ke Jakarta, saatnya berbagi beban dan berbagi keseimbangan dengan daerah lain.
Saya meyakini bagi Jokowi, Bumi Manusia di era milenial ini, sejatinya adalah Bumi bagi manusia Indonesia yang hidup dalam peradaban yang lebih maju dan layak. Maju bukan saja dari aspek pemikiran semata, tapi juga dalam karya. Bumi dimana manusia Indonesia bebas dari kemiskinan yang menaungi. Itulah mengapa Jokowi getol menggenjot pembangunan di daerah pinggiran dan perbatasan, hanya agar rakyat Indonesia bisa merasakan dampak keadilan pembangunan.
Bumi Manusia yang dalam idiologi Pramoedya Ananta Toer adalah perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan jaman  kolonial, rasanya relevan dengan idiologi Jokowi yang berjuang agar Indonesia keluar dari ketidakadilan pembangunan yang menghambat rakyat untuk maju. Perjuangan Jokowi tergambar dari keinginaannya yang hendak membuat lompatan kemajuan lewat Visi Indonesia. Sebagaimana kata Jokowi saaat menyampaikan pidatonya, "sayalah yang memimpin lompatan kemajuan kita bersama."  Â
Pantai Losari, Bumi Manusia dan Pemindahan Ibu kota sejatinya adalah potret dari sebuah tapak sejarah peradaban bangsa. Potret sosial tentang bagaimana harusnya anak bangsa diperlakukan secara adil dan terhormat. Jokowi yang berjuang memindahkan ibukota akan berhadapan dengan pihak yang skeptis dan apriori. Juga pihak yang ingin mempertahankan status quo yang tidak rela ibu kota dipindahkan. Sebagai warga Sulawesi, saya senang jika ibu kota dipindahkan, karena jarak yang dekat hanya melintasi Selat Makassar dan dampaknya akan dirasakan oleh daerah terdekat.
Kita tidak ingin Jokowi menyerah dengan tantangan yang menghadang. Kita juga tidak berharap perjuangan Jokowi akan berakhir seperti kisah Minke dan Nyai Ontosoroh. Saat Minke berkata, "kita sudah kalah ma." Inspirasi dari Bumi Manusia, kiranya meneguhkan sikap Jokowi, untuk tetap komitmen memindahkan ibu kota demi pemerataan pembangunan. Sebagaimana dulu di tahun 1957 Bung Karno menginginkan ibukota pindah ke Kalimantan,
Biarlah waktu yang akan menjawab, kelak jika jadi dipindahklan, maka kita akan mendapatkan sebuah ibu kota dengan peradaban baru. Peradaban yang akan menghantar manusia Indonesia hidup dalam tatanan yang maju, adil dan egaliter. Dan berharap bumi Indonesia menjadi lebih baik.
"Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa," Nyai Ontosoroh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H