Menonton film Bumi Manusia selama tiga jam, adalah momentum pergulatan perasaan. Bagi yang bertipikal melankolis, harus rela menghapus air mata berulang ulang, mengikuti alur cerita yang mengharu biru. Toh menonton Bumi Manusia, kita sebagai prnonton banyak mendapat pesan moral, bukan saja soal perlawanan, perkawanan, dan kegigihan, tapi juga tapi juga kesetiaan. Sebagaimana yang ditunjukkan seorang Darsam selaku pengawal yang setia kepada majikan Nyai Ontosoroh, hingga rela mengorbankan dirinya.
Juga pernyataan pernyataan dari pemainnya yang mengandung nilai filosofis. Sebagaimana saat Jean Marais seorang pelukis yang berkata kepada Minke, "seorang terpelajar harus berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." Sebuah otokritik bagi kita yang terkadang hanya di mulut saja bicara keadilan, namun dalam tindakan melakukan segregasi.Â
Intinya Bumi Manusia yang diangkat dari novel maha karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer itu, telah sukses memberikan gambaran bagaimana peradaban masa lalu bangsa ini. Dan bagaimana anak bangsa menghadapinya dengan penuh perjuangan dan air mata. Inilah film yang membuat saya pertama kalnya menyanyikan lagu Indonesia Raya didalam bioskop dan memberikan standing aplaus saat film berakhir. Film yang berhasil menggugah senangat nasionalisme dan kebangsaan saya dan penonton lainnya. Â Â
Kisah perlawanan terhadap ketidakadilan dalam Bumi Manusia yang dilakonkan Minke dan Nyai Ontosoroh bisa menjadi bahan refleksi bagi kita, saat Jokowi mengumumkan pemindahan ibu kota ke wilayah Kalimantan Timur. Hakekat pemindahan sebagai upaya mendapatkan sebuah ibu kota yang lebih layak, setidaknya tengah diperjuangkan oleh Jokowi. Â
Jakarta yang sudah padat dan sumpek sesugguhnya realitas atas ketidakadilan dan ketimpangan pembangunan yang dilakukan pada berpuluh tahun sebelumnya. Jakarta yang modern, berbanding terbalik dengan wilayah lain di Indonesia yang masih tertinggal, baik sarana prasarana maupun infra strukturnya.
Dengan memindahkan ibu kota ke Kaltim, merupakan cara Jokowi untuk membuat daerah lain di Indonesia lebih maju dan berkembang, bukan hanya Jakarta saja. Jakarta benar kota metropolitan, namun bebannya sudah sangat berat. Yakni beban kemacetan, polusi, dan kepadatan penduduk, makanya Jokowi berpikir Jakarta perlu dibantu dengan mengurangi bebannya. Rasanya sudah cukup semua energi terserap ke Jakarta, saatnya berbagi beban dan berbagi keseimbangan dengan daerah lain.
Saya meyakini bagi Jokowi, Bumi Manusia di era milenial ini, sejatinya adalah Bumi bagi manusia Indonesia yang hidup dalam peradaban yang lebih maju dan layak. Maju bukan saja dari aspek pemikiran semata, tapi juga dalam karya. Bumi dimana manusia Indonesia bebas dari kemiskinan yang menaungi. Itulah mengapa Jokowi getol menggenjot pembangunan di daerah pinggiran dan perbatasan, hanya agar rakyat Indonesia bisa merasakan dampak keadilan pembangunan.
Bumi Manusia yang dalam idiologi Pramoedya Ananta Toer adalah perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan jaman  kolonial, rasanya relevan dengan idiologi Jokowi yang berjuang agar Indonesia keluar dari ketidakadilan pembangunan yang menghambat rakyat untuk maju. Perjuangan Jokowi tergambar dari keinginaannya yang hendak membuat lompatan kemajuan lewat Visi Indonesia. Sebagaimana kata Jokowi saaat menyampaikan pidatonya, "sayalah yang memimpin lompatan kemajuan kita bersama."  Â
Pantai Losari, Bumi Manusia dan Pemindahan Ibu kota sejatinya adalah potret dari sebuah tapak sejarah peradaban bangsa. Potret sosial tentang bagaimana harusnya anak bangsa diperlakukan secara adil dan terhormat. Jokowi yang berjuang memindahkan ibukota akan berhadapan dengan pihak yang skeptis dan apriori. Juga pihak yang ingin mempertahankan status quo yang tidak rela ibu kota dipindahkan. Sebagai warga Sulawesi, saya senang jika ibu kota dipindahkan, karena jarak yang dekat hanya melintasi Selat Makassar dan dampaknya akan dirasakan oleh daerah terdekat.