Mohon tunggu...
Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kelabu

25 Maret 2016   23:22 Diperbarui: 26 Maret 2016   18:29 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: ilovehdwallpapers.com"][/caption]Realitas benar-benar kelabu. Hati kita boleh kuat dan tangguh untuk hadapi hidup. Namun, tak dapat disangkal kalau pada kenyataannya, hidup punya banyak kehidupan. Oleh karena itu, jika melihat seseorang yang sangat menikmati sekali sakitnya hati, jangan tanyakan mengapa. Karena itulah kenyataan. Hidup punya banyak kehidupan. Khalil Gibran, penikmat sakit hati yang paling ulung. Kenikmatannya melampaui kebahagiaan kehidupan cerita cinta insan beriman yang sangat sejahtera.

Entah mengapa, bahagia itu sangat absurd untuk ditelaah. Cinta begitu sulit dijelaskan. Sudah beribu seniman yang tak bosan-bosannya menggubah karya lantaran cinta yang tak terjelaskan itu. Mungkin, itulah hidup, kelabu. Malang-melintang kabut tidak menentukan insan telah menyetubuhi kemisteriusan hidup. Manusia tidak bisa semena-mena karena kenyataan yang datang mencekam. Kurasa, jika semakin kita menjunjung kesempurnaan, realitas akan semakin bias.

Meski demikian, manusia adalah makhluk yang punya bebal sangat kental. Suka sekali mengadu hidup. Nyawa dijual untuk membayar hasrat. Wibawa dipampang murah untuk membeli cinta. Lantaran, makhluk seperti manusia apakah layak untuk mengatakan hidup ini anugerah ataukah sebaliknya? Dunia terlalu mistis, eksotis, serta pedih untuk diteliti dengan cerdik hari demi hari. Kenapa tidak punahkan saja? Apa kita punya daya, suara hati mengejek. Ah, sudahlah itu hanyalah perasaan yang terbang. Biarkan saja dia menghilang.

Tetapi omong-omong tentang manusia, cinta, kerumitan, dan ketidakmasukakalan lainnya, sebenarnya tidak pantas untuk dibukukan dengan keegoan. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah menceritakan kisah dengan canda, air mata, berdramaturgi dengan aksesoris perasaan lainnya. Yang disimpulkan adalah sebagian kecil dari yang tidak terkatakan.

Realitas buruk lainnya adalah realitas yang tidak aku mengerti waktu awal aku berjumpa. Aku punya teman seorang yang penampilannya cukup elegan untuk seusia kami. Sebenarnya tidak juga sih, hanya keangkuhannya itu yang melunturkan semua ketidaksempurnaan yang dia punya. Kita sering berjumpa, manusia-manusia yang sombong sebenarnya takut untuk terbuka. Anton adalah salah satunya. Namun, setelah aku telusuri lebih dalam semakin aku tidak menemukan apa-apa. Bagi orang-orang yang kalau suatu saat berjumpa anak ini, emosi pasti tidak bisa dibendung. Mencuat dengan derasnya.

Anak ini bukan keturunan Dewa Siwa. Dia tidak bermaksud mendekonstruksi segala ketulusan yang sudah sangat megah didirikan di dalam jiwa manusia. Dia tidak bermaksud melunturkan semua perbendaharaan bahasa kebaikan, kesederhanaan, yang sudah disusun dalam rak kepribadian dengan susah payah. Dia tidak bermaksud membendung opini publik dengan senang hati dan tetap bergembira dalam sinisan yang komprehensif. Dia juga tidak bermaksud merusak pemikiran konservatif umat manusia. Tetapi dialah dia, anak Fakultas Hukum yang walau dalam obrolan biasa selalu menggunakan bahasa-bahasa ilmiah, anehnya dalam diskusi ilmiah Anton lebih banyak diamnya.

Anton memang bagian dari orang-orang yang pasti direkam oleh sejarah, diliput oleh media, terpampang di depan layar kaca, dibicarakan dalam diskusi-diskusi ilmiah, dan punya pengikut-pengikut nantinya, setara dengan Marx, Tan, Hatta, dan tokoh besar lainnya. Itulah Anton, selalu berbeda dalam cara pandang. Dalam ranah politik, Anton ini layak disebut provokator. Tidak peduli pada seberapa besar kekuatan yang ia bawa, Anton menghantam tembok kekuasaan yang semena-mena dengan kebenaran. Bermodalkan badan, nyali, napas, serta bahasa-bahasa ilmiahnya, Anton tidak takut menghadapi serdadu berpeluru seribu. Anton maju, serbu, darahnya mengalir bunuh, untuk para pengacau.

Dengan demikian, jika selamat dari perjuangannya menghancurkan seluruh ketidakadilan, Anton tetap menjadi orang yang punya banyak penggemar tetapi sedikit sanak-saudara maupun teman dekatnya. Pulang dari perang Anton akan dihidangkan gadis-gadis cantik yang centil, Anton akan ditiduri putri cantik anak Peri Kemanusiaan, Anton akan tidur berselimutkan uang, karena Anton adalah pangeran yang gagah berani, gilang-gemilang, gegap-gempita, yang sangat layak untuk diperlakukan demikian. Karena jika tidak, Anton tidak ngotot tanpa cukong, namun elite-elite politik akan merasa berdosa untuk melihat perjuangannya sebagai keikhlasan. Maklum, orang–orang politik, tawar-menawar harga diri, keputusan adalah barang dagang.

Untuk kemanusiaan, Anton akan pragmatis memperjuangkan keadilan. Ketika orang menjunjung tinggi dirinya Anton akan marah, Anton akan mengalienasikan diri ke tepi pantai. Anton tidak suka jika orang-orang memujinya. Anton akan memaki-maki orang yang mengikutinya. Namun, Anton pada saat yang bersamaan disenangi banyak orang. Anton pembenci manusia namun memperjuangkan keadilan untuk manusia.

Betapa menyebalkan sekali untuk mengerti tentang Anton. Tidak ada guna mencari psikiater untuk menanyakan bahwa Anton ini manusia gila nomor keberapa. Tidak ada guna lagi untuk meneliti dengan ilmu kedokteran, ke laboratorium untuk mendeteksi penyakit apa yang diderita anak ini. Tidak ada guna, karena Anton tidak ada dalam daftar penyakit jiwa yang dimiliki psikiater sepanjang zaman, serta tidak ada daftar penyakit ilmiah yang terdaftar dalam otak para dokter. Anton tidak bisa dipahami, dan tidak bisa diteliti. Dunia pun tidak sanggup untuk mengerti.

Ironisnya, jika bicara tentang wanita. Wajah Anton akan merah padam. Malu-malu. Setidaknya lebih baik dari sebelumnya. Bagiku, Anton ini sang pendulang malu. Saking seringnya bertemu malu, dia tidak tahu bagaimana rasanya malu. Anton punya beberapa teman wanita. Anton adalah teman yang tidak sadar aku di mana saat kali pertama berjumpa dengannya.

Namun, waktu aku pernah duduk bersama-sama dengannya, Anton ini pernah memarahi seorang wanita apa adanya, wanita yang menunggang nama Dewi. Bukan Dewi kemewahan melainkan Dewi Kesederhanaan. Dewi ini orangnnya agak sembrono. Jika bercanda dengannya kita akan tertawa sampai terpingkal-pingkal mengingat wajahnya yang sangat semringah. Senyumnya segar pahit. Wajahnya gelap. Melihat Dewi kita akan teringat foto John Cena ketika hidungnya darah.

Waktu itu Dewi bercanda dengan Anton sampai dia menginjak sepatu fantovel yang dikenakan Anton. Anton pun berdiri dan menampar pipi Dewi. Dewi yang wajahnya sangat seram berlari sambil menangis. Sampai sekarang jika mendengar nama Anton, Dewi akan melagukan sumpah serapa jenis nenek moyang. Coba, kalau Ayu yang menginjak sepatu itu, Anton akan mengelap dengan penuh gaya, menyibak rambut halusnya yang sedikit agak tebal seperti iklan sampo. Mengesankan, sekaligus menggelikan.

Anton pernah memberi bunga kepada Ayu. Waktu ditanya sama teman-teman, Anton dengan angkuh menjawab kalau itu adalah bunga-bunga saja. Tidak ada makna apa-apa di balik bunga itu. Baru kenal Ayu satu hari Anton sudah ajak Ayu makan di restoran. Bayangkan, kami yang sudah lama berteman dengannya tidak pernah diajaknya. Sekadar traktir nasi jinggo pun tidak. Betapa menyedihkan. Alih-alih lengket dengan wanita, Anton akhirnya disalagunakan wanita. Anton tidak pernah diterima, namun selalu bersama wanita. Anton bersama mereka, mereka bersama uang Anton. Yang Anton tidak tahu adalah wanita itu sangat ekspresionistik.

Belum sempat menghabiskan kisah bersama Ayu, kedatangan Serli sangat mengganggu keadaan psikis Anton. Dua hari bersama Ayu, dua hari juga bersama Serli. Anton punya pembagian yang jelas untuk kebutuhannya. Ayu dan Serli berteman. Di renggang waktu ketika Ayu dan Serli bertemu, mereka berdua akan menceritakan kekonyolan Anton. Tidak hanya sekedar konyol, tetapi mereka juga menganggap itu bodoh. Mereka akan menghitung-hitung besarnya uang yang sudah Anton habiskan bersama mereka masing-masing.

Ayu dan Serli akan tertawa sepuas-puasnya sampai mata mereka berkaca-kaca. Betapa bahagianya mereka menemukan pria semacam ini. Belum sempat kudengar Anton sekali dipeluk mesra oleh keduanya. Setidaknya membayar kebaikan Anton dengan kehangatan pelukan kasih. Sialnya, Anton tidak pernah menuntut, dan rasa-rasanya tidak pernah menginginkan itu. Anton memang absurd.

Belum habis bercerita dengan wanita, jika Anton dibebankan tanggung jawab untuk segera dilaksanakan Anton akan mengakhiri pertemuan dengan wanita itu. Ada kala ditinggalkan mereka. Anton sangat bertanggung jawab sekali jika urusannya soal prosedur, birokrasi, dan ketatanegaraan. Bicaranya selalu terbuka. Kata-katannya tajam. Harus pakai asas-asas yang jelaslah Pak, begitulah ketika Anton tidak puas dengan pembicaraan teman-temannya.

Ringkas saja tentang Anton, mengisahkannya kita jadi ingin terus bertanya bahwa ada apa di balik kerumitannya di mata kita, dan ketegasannya sendiri di balik pelupuk matannya. Anton mungkin adalah orang yang peduli dengan pandangannya sendiri tentang dirinya, dan acuh terhadap lingkungan di sekitar. Bicaranya pelan, tegas, berasas-asas, penuh kelembutan hanya untuk wanita cantik. Anton bertanggung jawab sekali.

Nasib tersial untuk wanita berwajah pas-pasan, bercandanya tidak ada batas, yang blak-blakan adalah ketika berjumpa dengan Anton. Wajah Anton memang seperti pria-pria di iklan sampho namun jiwanya berisi akal sehat yang melumpuhkan kepekaan. Syukur-syukur jika hanya dicerca oleh Anton, karena biasannya dia pakai tampar. Anton memang memuakkan sekaligus memukau.

Bahwa dengan demikian dunia yang absurd tidak pantas untuk diterima dengan ikhlas sebagai anugerah. Sebagai manusia sebenarnya Anton membutuhkan ilusi. Ilusi keindahan, ilusi kebaikan, ilusi kemanusiaan, pokoknya ilusi yang mampu menciptakan kepekaan. Sebagai manusia, Anton membutuhkan penghayatan untuk memaknai esensinya sebagai manusia yang berada. Tidak ada yang tahu jelas, di balik kerumitanya itu Anton sedang menikmati kebahagiaan yang ilusi itu. Sebab, untuk seorang Anton dunianya nampak sangat kabur di mata kita, mungkin penuh sensasional di matanya.

Di mataku Anton hanyalah korban definisi yang dirumuskan di dalam buku-buku ilmiah, korban kerumitan zaman serta keabu-abuan keberadaan kebenaran dan kesalahan yang akan punah itu. Dunia adalah dunia kebenaran yang sangat kaku. Anton anti-perikemanusiaan, perikeadilaan, perikesejahteraan, serta peri-peri yang lainnya. Bagi Anton, semua itu hanyalah peri yang selamanya akan tetap menjadi peri. Kalaupun peri itu bertubuh, peri-peri itu akan selamanya tersesat. Tanggung jawab, dan kesepakatan pemahaman ilmiah Anton kunyah serta bersetubuh dengan sempurna. Namun, kesesatannya adalah kesesatan yang sempurna pula. Kesesatan terhadap peri-peri itu. Peri-peri yang sebenarnya hidup. Peri yang bernyawa dan bertubuh dan berwibawa.

Mungkin, kesesatannya disebabkan pengkhianatan peri-peri indah itu. Membawanya pada ketamakan untuk hanya menyetubuhi definisi-definisi mengenai hidup yang diidentifikasi dalam pemahaman ilmiah. Sebab, untuk wanita akal sehat tidak diijinkan untuk banyak bicara. Untuk cinta sangat tidak pantas untuk dibakukan. Pada intinya yang Anton tidak tahu wanita itu sangat ekspresionistik. Aku tidak tahu akan sampai kapan Anton akan dijajah peri-peri yang dia abaikan, namun untuk seorang manusia pengalaman akan menempanya hingga melahirkan pandangan yang lebih ideal untuk hidup yang tidak pernah ideal. 

Denpasar, 25 Maret 2016

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun