Saya bangga atas sebuah pencapaian yang diraih istri saya karena saya tahu dia mampu melakukannya karena Ia mengandalkan Tuhannya. Sesekali saya memperhatiakannya lembur sampai larut. Saya tahu bahwa ia sedang berjuang mempersiapkan sesuatu yang baik untuk dibagikan kepada orang lain. Istri saya adalah seorang pelayan. Itu yang saya kenal darinya.
Ia selalu mengawali dan mengakhiri setiap pekerjaan dengan meminta Tuhannya menolongnya karena ia merasa tidak mampu melakukannya. Meskipun ada saya di sampingnya, ia tetap terus berdoa. Saya memperhatikan detil-detil cara dia meramu dan menyusun setiap bahan ajar yang akan diceramahkan kepada masyarakat.Â
Bagi saya terlalu ribet. Terlalu merepotkan diri untuk sebuah materi yang mungkin saja orang tidak menghiraukannya. Materi untuk bapak-bapak dan mama-mama di kampung dibuat begitu eksklusif, cantik dan menarik. Begitu juga ketika ia mempersiapkan bahan ajar bagi mahasiswa2 kedokteran yang mayoritas lebih modern.Â
Isinya sama. Saya sering tertawa dengan tingkah laku istri saya yang aneh tapi membuat saya menangis hingga sesak di dada. Ia melayani dengan segenap miliknya. Tidak ada kesan pelit ilmu. Semua dibabat habis dengan didikan, arahan, dan pengayoman yang tinggi.
Saya bangga kepadamu hai sahabatku. Teman berlari sekaligus teman menariku. Terima kasih untuk sebuah pelajaran tentang rasa bangga yang benar. Saya jadi mengerti bagaimana menggunakan dan melakukan rasa itu dengan bijaksana. Kerendahan hati tiada batas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H