EMPAT keponakan saya baru saja selesai makan dan minum di sebuah sungai pada sebuah rekreasi, pekan lalu. Jamaknya anak muda, mereka membiarkan begitu saja botol bekas air mineral dan bungkusan makanan. Mereka melihat lingkungan sekelilingnya bertebaran sampah, yang dibuang para pengguna tempat rekreasi itu.
Layaknya anak muda yang punya kecenderungan berimitasi, tanpa beban keponakan saya membuang sampah tak jauh dari lokasi mereka duduk. Dalam sekejap, sekeliling kami dipenuhi sampah: bekas botol minuman mineral, kertas bungkusan mie goreng, hingga plastik yang sulit terurai.
Saya yang melihat perilaku tak bertanggungjawab mereka, segera menegur. Menyodori kantong kresek, saya meminta mereka memungut sampah-sampah yang mereka buang sebelumnya.
"Kan tidak masalah, nanti dihanyutkan air sungai," kata ponakan saya, sembari menunjuk aliran sungai di Krueng Keumala, Pidie, Aceh.
Tentu, saya tidak mau mendengar alasan mereka. Setengah memaksa, saya meminta mereka memungut sampah yang mereka hasilkan. Saya tahu, keempat keponakan saya itu dengan dongkol memungut sampah dan memasukkan ke dalam kantong kresek.
Ke mana sampah-sampah itu dibawa?
Saya meminta mereka membawa serta sampah dan membuangnya di lokasi pembuangan.
Inilah yang saya tanamkan kepada orang-orang dekat saya dalam mengelola sampah. Kadang-kadang, saya memasukkan sampah yang saya hasilkan--seperti bungkusan permen dan bekas tisu-- ke dalam saku baju atau celana. Nantinya, sampah itu akan saya buang ke tempatnya.
Untuk mengatasi sampah, memang perlu ditumbuhkan kesadaran di pribadi masing-masing orang. Tanpa kesadaran pribadi. sangat mustahil mengelola sampah dengan baik. Minimal, selain membantu kebersihan lingkungan, dengan tidak membuang sampah sembarangan kita telah membantu para petugas kebersihan dalam bekerja. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H