JEJERAN kitab kuno tersusun rapi di atas meja di ruang tamu. Warnanya tak lagi utuh. Lembaran kitab kuno yang tadinya berwarna putih, kini kecoklatan, dimakan usia. Luffat al Tullab, nama salah satu kitab kuno itu. Kitab karangan Syeikh Zakaria Ansari ditulis pada abad 16 masehi. Sisi terluar kitab kuno itu sobek, dimakan rayap. Manuskrip kuno tulisan tangan Syeikh Zakaria itu berisikan pelbagai macam topik, mulai dari hukum Islam, cara berjihad, seni dan sastra, sejarah, hingga pengobatan. Di sudut lain, agak tersembunyi dari ruang tamu, naskah kuno yang lain tersusun seadanya. Di sini, ada sekitar lima buku kuno. Ada Mir-at al Tullab karangan Syeikh Abdul Rauf Al Singkili atau yang tenar dengan nama Syiah Kuala. Kitab ini menjadi rujukan Syiah Kuala, hakim agung kerajaan, dalam memutuskan pelbagai perkara di Kesultanan Aceh Darussalam. Mir-at al Tullab digunakan pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin (1641-1675) hingga Ratu Kamalat Syah (1688-1699).
Jangan bayangkan naskah itu tersimpan di Museum Negeri Aceh. Bukan. Manuskrip kuno yang usianya hampir lima abad itu, tersimpan di rumah Tarmizi Abdul Hamid. Ia warga biasa. Hanya pegawai tingkat menengah di Balai Pengembangan Teknologi Pertanian Aceh. Sore itu, di ruang tamunya yang sempit, Tarmizi hanya “memamerkan” beberapa judul naskah kuno saja. Ia telah mengoleksi tak kurang dari 500 manuskrip kuno yang ditulis sepanjang abad 15 hingga 19 masehi.Tarmizi berkenalan dengan naskah kuno usai lawatannya ke Singapura pada 1995 lalu. Itu pun secara tak sengaja. Pada tahun itu, Tarmizi mengunjungi negeri singa untuk sebuah urusan dinas kantornya. Saat mengunjungi salah satu museum di Singapura, Tarmizi melihat sejumlah koleksi naskah kuno yang ditulis oleh orang Aceh tempo dulu. Di Aceh, Tarmizi tak menjumpai naskah kuno ini. “Mereka mengoleksi mahakarya orang hebat Aceh,” kata pria yang akrab disapa Cek Midi itu, Jumat (27/5). Begitu pulang ke Aceh, Tarmizi bertekad untuk melestarikan peninggalan indatu-nya. Ia mulai berburu naskah kuno yang tercecer pada warga Aceh. Manuskrip pertama yang dia peroleh yaitu Sir al Salikin, karangan Syeikh Abdul Samad Palembani. Kitab ini diperoleh dari seorang warga di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, pada pertengahan 1995. Ia juga berburu hingga ke Riau. “Manuskrip yang saya simpan merupakan yang tercecer dari masyarakat di seluruh Aceh,” ujar Tarmizi. Pelbagai macam cara digunakan untuk memperoleh literatur kuno yang sarat dengan ilmu pengetahuan itu. Kadangkala, ia menukar naskah dengan al-Quran cetakan masa kini. Di lain waktu, ia melakukan barter: naskah ditukar dengan beras atau padi. “Kalau kita beli tidak sanggup, karena nggak ada standard harga. Kalau dipatok harganya pun, pasti tidak sanggup kita beli,” ujar suami Nurul Husna ini. “Saya cuma memberikan kompensasi pada mereka sebagai ucapan terimakasih.” Pun begitu, tak terhitung lagi entah berapa ratus juta uang telah dikeluarkan Tarmizi. Terakhir, ia menjual enam petak tanah peninggalan orangtuanya di Pidie, untuk membiayai perawatan naskah yang telah dikoleksinya. Usahanya melestarikan peninggalan masa lampau tak sia-sia. Hingga kini, di rumahnya, Tarmizi telah mengoleksi sekitar 500 naskah kuno. “Naskah-naskah itu gudang ilmu pengetahuan. Ada soal tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum Islam (fiqh), termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq,” kata dia. “Tinggal Aceh, dan Indonesia saja yang harus memanfaatkannya.”
Manuskrip itu beraksara Arab-Jawi. Tak semua orang pandai membaca aksara ini. Meski beraksara Arab-Jawoe, kebanyakan manuskrip koleksi Tarmizi berbahasa Melayu. Hanya sedikit saja yang ditulis dalam bahasa Aceh. Karena itu, kini Tarmizi punya tugas baru, agar koleksinya itu bisa dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Aceh masa kini.Pelan-pelan, ia mengajak kawannya yang peduli pada naskah kuno untuk mengalih-aksarakan naskah itu: dari Arab-Jawi ke latin. Baru dua kitab saja yang telah rampung dialih-aksarakan, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi. Sedangkan Mir-at Al Thullab, Tarjuman Multafiq (keduanya karangan Syiah Kuala); Durar Li Syarhi Al Aqaid karangan Syeikh Nuruddin Al Raniry; dan Tajjul Muluk, masih dalam proses alih-aksara. “Biar anak muda sekarang bisa belajar,” kata dia. Usaha lain, ia mendigitalisasi naskah-naskah itu. Baru 20 judul naskah saja yang berhasil didigitalisasi. Selain kekurangan dana, Tarmizi juga terhambat di sumberdaya manusia. “Seharusnya ada gerakan yang masif untuk mendigitalkan naskah-naskah ini,” sebut Tarmizi. Keuntungan digitalisasi, selain agar naskah ini punya salinan, “Saya punya cita-cita naskah ini juga bisa diakses siapa pun, dari mana pun juga. Jadi tidak mesti datang ke rumah saya,” katanya. Jika kelak naskah itu diunggah ke perpustakaan di internet, Tarmizi berharap bisa menemukan naskah serupa di negara lain, sehingga bisa menyempurnakan bagian-bagian naskah yang hilang. Lagi-lagi, keterbatasan dana menjadi penghambat upaya Tarmizi mengawetkan manuskrip ini. Pada tahun pertama usai tsunami, Tarmizi memperoleh bantuan dari Pemerintah Jepang untuk merestorasi naskah yang sobek atau dimakan rayap. Namun belum semua naskah berhasil direstorasi. “Harga kertasnya mahal, satu meter saja hingga Rp 23 juta. Tidak sembarang kertas,” ujarnya. Kertas untuk restorasi menyerupai kertas plastik berserat tipis. Warnanya putih. Merawat ratusan naskah kuno perlu dana besar. Sebagai seorang pegawai tingkat menengah, jelas Tarmizi bakal kelimpungan. Jadilah, ia hanya merawat manuskrip-manuskrip itu dengan cara yang masih sangat tradisional. Ia membalut manuskrip itu dengan kain yang telah ditaburi kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkeh. “Biar rayap tidak memakan buku-buku ini,” kata Tarmizi. Beruntung, kertas buku, mushaf, al-Quran, dan kitab yang diproduksi negara-negara Eropa pada akhir abad 18 dan awal abad 19 cocok untuk suhu di Aceh. “Bisa bertahan ratusan tahun asal dipelihara dengan baik,” kata Dr. Annabel Gallop, peneliti dari The British Library.
Sore itu, Annabel mengunjungi rumah Tarmizi di Kompleks Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di Lampineung, Banda Aceh. Annabel terkagum-kagum dengan mushaf dan kitab Mir-at Al Tullab yang ditulis tangan. “Jumlah naskah tentang Islam dari Aceh sangat banyak, yang ditulis dalam bahasa Melayu untuk menyebarkan agama Islam,” kata perempuan yang fasih membaca tulisan Arab-Jawi.Menurut Annabel, naskah karangan ulama Aceh pada abad 16 hingga 19 punya ciri khas tersendiri. Seni kaligrafi dan hiasan di sampul dan di pinggir setiap halaman, mempunyai nilai seni tinggi. “Mungkin ini identitas bangsa. Struktur yang digunakan juga sama, ada garis vertikal di setiap lukisan gambar di pinggir halaman. Tapi Aceh masih kalah dengan seni dari Pattani, Thailand Selatan,” ujar doktor asal Inggris ini. Annabel menyayangkan jika Tarmizi dibiarkan seorang diri merawat ratusan naskah yang punya nilai tinggi ini. Lantas, adakah perhatian dari pemerintah untuk merawat naskah ini? Menurut Tarmizi, ia pernah menerima tawaran untuk menyimpan ratusan naskah itu di Museum Negeri Aceh dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Perpustakaan Nasional pernah meminta Tarmizi menjual manuskrip itu. Namun ia menolak. Jika dijual, naskah-naskah itu akan diangkut ke Jakarta. Ia juga mendapat tawaran Museum Aceh untuk menyimpan naskah itu di sana. Tapi tak jelas bagaimana mekanisme perawatan dan penyimpanan di museum, termasuk bagaimana kalau naskah itu hilang dan terbakar. Hal-hal teknis itulah yang kemudian mengurungkan niat Tarmizi untuk mengabaikan tawaran museum. Menurut Tarmizi, jika pemerintah serius untuk melestarikan manuskrip yang menggambarkan kegelimangan Aceh di bidang pendidikan dan seni budaya pada masa lampau, ada baiknya membantu upaya yang tengah dilakukan sekarang ini, yaitu digitalisasi. Ia butuh banyak mikrofilm dan sumberdaya manusia. Tarmizi menghabiskan separuh usia dan hartanya untuk melestarikan peninggalan indatu, agar generasi Aceh masa kini bisa mempelajari pelbagai pengetahuan yang telah diabadikan pendahulunya. “Saya bangga menyimpan naskah-naskah ini,” aku pria kelahiran Pidie, 45 tahun silam ini. [A]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H