Mohon tunggu...
Fakhrurradzie Gade
Fakhrurradzie Gade Mohon Tunggu... profesional -

Jurnalis, tinggal di Banda Aceh. Bekerja untuk Situs Berita ACEHKITA.COM. Stringer di The Associated Press. Pernah menerbitkan Majalah ACEHKINI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nurjannah & Qanun Jinayah

21 Oktober 2009   09:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 2473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Fakhrurradzie Gade, jurnalis tinggal di Banda Aceh

MENJELANG waktu berbuka puasa, bersama dua teman (Yo Fauzan dan Abdul Munar), saya mengunjungi Desa Lamtimpeung, Tungkop, Aceh Besar. Letaknya hanya sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Ke Lamtimpeung, kami ingin menunaikan amanah sejumlah pembaca acehkita.com. Sekitar dua bulan lalu, reporter acehkita.com, Riza Nasser, menurunkan liputan tentang Nurjannah, perempuan berusia 22 tahun yang menderita lumpuh layu sejak usia 4 bulan. Nurjannah terbujur kaku di atas dipan di dalam kamar sempit dan pengap. Aroma pesing merebak, hingga keluar rumah. Suasana kamar juga tak tertata. Kasur, kain, pakaian, saling bertindih: awut-awutan. Singkatnya, kamar itu sangat tak layak dihuni.

Nurjannah tinggal bersama ayah dan dua adiknya di rumah tipe 36 tersebut. Ada tiga kamar ukuran kecil yang tak terurus. Nurjannah tidur sendirian. Kamar di sebelah Nurjannah, dibiarkan kosong melompong. Ayahnya, tidur di kamar yang dekat ruang tamu. Jangan bayangkan ruang tamu dilengkapi televisi, meja dan kursi. Buang bayangan itu, karena di sana hanya ada tumpukan baju berserakan, sepeda bekas. Di dekat kamar Nurjannah, tergeletak satu kompor. Di atasnya ada penggorengan. Di sekitar kompor, cangkang telur ayam berserakan, dibiarkan bebas tergeletak di atas lantai. Rumah dicat kuning itu semi permanen.

"Binteh kadikap le kamue (dinding rumah dimakan rayap)," kata Muhammad Dehan, ayah Nurjannah. Telunjuknya mengarah ke dinding rumah.

Dehan mengurus anak-anaknya seorang diri, sejak istrinya meninggal dunia beberapa tahun silam. Ia hanya seorang pemelihara sapi suruhan orang. Kerjanya serabutan. Penghasilan sebulan paling banyak 200.000. Tinggal di pinggiran Kota Banda Aceh yang tingkat inflasinya tinggi, uang segitu sama-sekali tidak mencukupi. Apalagi untuk membiayai anak-anaknya. Tapi Dehan tak putus asa. Ia bekerja apa saja yang bisa menghasilkan rupiah.

Dua hari lalu, seorang warga yang hendak melangsungkan resepsi pernikahan memintanya menjaga sapi yang akan dipotong pada hari kenduri. Sapi agak kecil itu ditambat tak jauh dari rumahnya. Oya, sekitar 10 meter dari rumah, ada kandang kerbau atau sapi. Di sinilah, sapi-sapi peliharaannya bernaung. Bulan lalu, saat meugang puasa, Dehan menjual sapi yang dipelihara secara mawah. Mawah merupakan cara memelihara bagi hasil. Setelah modal membeli sapi dikembalikan ke pemodal, angka selisih dibagi berdua: antara dia dan pemodal.

"Misalnya harga sapi waktu dibeli itu lima juta rupiah dan waktu dijual tujuh juta, bagi hasilnya yang dua juta selisih itu," kata Dehan. "Ya dapat sejuta per orang."

Melihat kehidupan Dehan, saya kehabisan kata-kata. Betapa Ia tegar melakoni hidup dengan segudang permasalahan yang melingkupinya.

Sore itu, Dehan memakai oblong putih lengan biru. Bajunya dipakai terbalik: bagian dalam dibiarkan menjadi bagian terluar. Baju itu bukan dibeli, tapi diberi orang saat musim kampanye. Ya, baju putih berlengan biru itu atribut kampanye Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono. Di punggung Dehan jelas tertulis nama pasangan itu. Sementara di bagian depan, gambar SBY-Boediono lagi tersenyum juga terlihat jelas.

Nurjannah juga memakai baju SBY. Bantal yang tergeletak di samping Nurjannah juga dibajukan SBY. Saya tidak bertanya apakah keluarga ini pendukung SBY. Tapi yang jelas, tak jauh dari rumah Dehan, masih di dalam pekarangan rumahnya, ada bendera Partai Aceh. Ehm, saat pemilu presiden lalu, aktivis partai bentukan Gerakan Aceh Merdeka ini menyokong pasangan yang diusung Partai Demokrat ini. Hiruk-pikuk pemilu menyeruak ke kamar Nurjannah: yang terbujur kaku.

Melihat kondisi Nurjannah kemarin, saya teringat berita di sebuat media lokal di Banda Aceh, yang memuat pernyataan Abu Panton. Nama terakhir ini merupakan ulama yang bermukim di Aceh Utara. Ia mengasuh dayah di Panton Labu. Abu merupakan ulama yang disegani. Ia tak dekat kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun