Mohon tunggu...
Fakhrurradzie Gade
Fakhrurradzie Gade Mohon Tunggu... profesional -

Jurnalis, tinggal di Banda Aceh. Bekerja untuk Situs Berita ACEHKITA.COM. Stringer di The Associated Press. Pernah menerbitkan Majalah ACEHKINI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nurjannah & Qanun Jinayah

21 Oktober 2009   09:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 2473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam berita itu, Abu Panton menyentil pengesahan Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Abu bilang, Qanun yang mengatur hukum rajam dan cambuk bagi pelanggar Syariat Islam baru bisa diterapkan kalau saja masyarakat Aceh sudah sadar hukum dan hidupnya makmur. Minimal sudah tidak berada di bawah garis kemiskinan.

Pernyataan nyaris serupa dikemukakan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Ziauddin Ahmad. Saat kami wawancarai menjelang dinihari usai rapat paripurna DPR Aceh, saya dan sejumlah wartawan ikut memintai tanggapan Ziauddin soal penerapan hukum rajam. Ziauddin terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap hukum rajam bagi pelaku zina yang telah menikah. Menurut Ziauddin, hukum Islam baru bisa ditegakkan kalau masyarakat di suatu negeri sudah hidup mapan dan sadar hukum. Nah, dua hal inilah yang belum dipunyai Aceh.

"Bagaimana, misalnya, kita menerapkan hukum potong tangan bagi yang mencuri," kata Ziauddin, "kalau perekonomian kita belum bagus."

Benar, bagaimana mungkin kita menggembar-gemborkan penegakan syariat Islam kalau sendi-sendi kehidupan masyarakat belum dibenahi. Syariat Islam kan bukan hanya hukum potong tangan, cambuk, rajam semata. Ia melingkupi segala aspek. Ada aspek sosial, ekonomi, syariat, hukum, dan banyak lagi.

Saya menilai bahwa selama ini para politisi –yang pemahaman agamanya pas-pasan—ingin memaksakan pemahaman dan keyakinan syariatnya kepada masyarakat. Mereka selalu mengklaim bertindak atas amanah rakyat. Di sini, mereka mengambil secuil ayat al-Quran dan meninggalkan ayat-ayat lainnya. Bukankah pola beragama seperti ini sangat dibenci oleh Allah dan Nabi-Nya?

Bagaimana mungkin hanya menegakkan hukum Allah di bidang lendir, judi, dan minuman, sementara ajaran dan hukum Allah yang lain ditinggalkan begitu saja. Misalnya, korupsi dan pembunuhan. Bukankah dalam Islam dua aspek ini juga mendapat sorotan tajam? Bagaimana misalnya dalil dalam Islam menyebutkan bahwa "pembunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk neraka". Ini dalil untuk orang yang sama-sama ingin saling bunuh. Di sisi lain bagaimana misalnya Tuhan berjanji akan menempatkan pembunuh di neraka.

Dalam al-Quran memang tak ada kata khusus soal korupsi, tapi ini kan identik dengan mencuri. Nah, bagaimana dengan hukum potong tangan bagi si pencuri dan koruptor? Apa karena ada politisi dan pejabat yang berselemak kasus korupsi lantas hukum tak tegak?

Sungguh aneh para politisi yang mengaku sedang berjihad ini: agama menjadi dagangan semata.

Sebelum pikiran terus berkeliaran ke mana-mana, saya kembali fokus pada Dehan dan Nurjannah yang terbaring di kamar berbau pesing. Aroma amoniak menusuk hidung, hingga ke relung kepala yang membuat pusing. Tapi, penegakan syariat Islam dalam bentuk membebaskan orang-orang dari kemiskinan, sama sekali tak dipikirkan para politisi itu. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun