Mohon tunggu...
Efi Fitriyyah
Efi Fitriyyah Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Bandung

Blogger Bandung

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mapah ka Bandung: Tentang Patrakomala dan Napak Tilas Sejarah Bandung

30 Desember 2016   11:57 Diperbarui: 30 Desember 2016   16:34 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patrakomala? Apa itu? Yang paling cepat terbayang saat nama ini disebut adalah nama jalan di Bandung, tidak jauh dari Taman Foto Bandung, di kawasa kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumur Bandung. Tapi tau tidak sih kalau Patrakomala ini adalah nama bunga?

sumber foto: bandung.panduanwisata.id
sumber foto: bandung.panduanwisata.id
Gimana kalau saya sebut nama Kembang Merak, Merak-merakan atau Kembang Abang? Nah tau kan? Iya ini adalah nama bunga yang didaulat jadi bunga maskot khas kota Bandung. 

Walaupun sebenarnya endemik bunga ini bukan asli Bandung tapi dari Amerika Selatan. Bunga plus daun dan bibitnya yang berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit seperti diare, sariawan, kejang, hepatitis dan beberapa penyakit lainnya juga jadi penghias 10 stilasi di Bandung.

Mapah Ka Bandung

Sabtu kemarin, tanggal 24 Desember 2016 bersama teman-teman komunitas Kompasiana Bandung a.k.a KBandung kami menyusuri beberapa jejak Stilasi di Bandung, termasuk makam para Bupati Bandung dan keluarganya.

Sekitar jam 06.30 dengan menumpang ojek online saya tiba di titik temu halteu Alun-alun Bandung yang disepakati sebagai titik temu. Sudah ada Bang Aswi, Ummi Bindya, Bu Intan dan Yeni yang tiba di sana. Kemudian menyusul Dedi, Teh Eka, Teh Yuli, Euis, Jihan dan Bu Maria.

Dari titik meet up halte Alun-alun Bandung, kami memulai perjalanan dengan menyeberangi jalan Asia Afrika. Tidak jauh dari alun-alun ini kami berhenti di depan gedung Jiwasraya. Seperti halnya gedung-gedung tua lainnya di sepanjang jalan Asia Afrika, gedung Jiswaraya dengan arsitektur bergaya Indo Europeesche Stijl ini menyimpan sejarah  para pejuang di Bandung.

Kalau memerhatikan ukiran bunga Patrakomala yang terletak di atas stilasi, hampir semuanya sudah tidak punya putik. Duh kenapa pada usil gini sih ya? Hanya satu Stilasi yang masih memiliki ornamen Patrakomala yang lengkap dengan putiknya yaitu Stilasi yang terdapat di SD Asmi, jalan Asmi Bandung. Sayangnya pada saat itu kami belum sempat mengjungi Monumen berbentuk prisma segitiga sama sisi tegak ini karena waktunya belum memungkin. Mungkin saya harus menyempatkan sendiri main ke sana kalau ga sabar :)

FYI, ke-10 Stilasi atau monumen mini ini dibuat pada tahun 1997 oleh seniman Sunaryo. Insiasi pembuatan Stilasi ini digagas oleh komunitas Bandung Heritage yang bekerjasama dengan pihak-pihak lainnya. Berikut ini adalah daftar 10 Stilasi yang di Bandung. Jangan lupa untuk mampir dan berfoto kalau kebetulan sedang berada di sekitaran ini.

Stilasi 1

Terletak di  jalan, Dago, tepatnya persimpangan Jalan Ir. H. Juanda dan Jalan Sultan Agung, di depan gedung  yang pernah jadi kantor berita Jepang, Domei. Gedung ini juga ternyata tempat  pertama kalinya di mana teks  proklamasi dibaca oleh warga Bandung.

Stilasi 2

Bisa di jumpai di persimpangan Jalan Braga dan Jalan Naripan, dekat gedung Bank Jabar Banten (BJB). Pada Oktober 1945, dua pejuang Bandung yaitu Moeljono dan E. Karmas melakukan perobekan bendera Belanda di sana.

Stilasi 3

Ini Stilasi pertama yang kami kunjungi. Gedung di belakang stilasi ini bediri, dibangun pada tahun 1914, gedung yang dulunya milik perusahaan Asuransi  Jiwa dari Belanda (Nederlandsche Indische Levensverzkering en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ) pernah dijadikan markas Resimen 8, Divisi III Priangan, Komandemen I Jawa Barat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Letkol Omon Abdurarachman.  

Empat bulan berselang setelah menduduki gedung ini, pasukan TKR berhasil menyerang kantong-kantong Inggris di Bandung. Di antaranya dengan menyerang hotel Homann dan Preanger.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Stilasi 4

Terdapat disamping rumah yang  sekarang jadi bengkel, beralamat  di jalan Simpang Lima. Rumah ini pernah jadi saksi tempat perumusan dan keputusan pembumihangusan kota Bandung yang dikenal dengan Bandung Lautan Api.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Stilasi 5

Bisa ditemukan di sekitar persimpangan Jalan Oto Iskandardinata dan Jalan Kautamaan Istri, tidak jauh dari komplek sekola Kautamaan Istri.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Stilasi 6

Stilasi keenam ini kami jumpai di depan toko sepatu. Kondisinya terlihat ‘kucel’ tapi masih kokoh berdiri. Toko sepatu  ini sendiri ternyata dulunya merupakan rumah  A.H Nahution sekaligus markas komando Divisi III Siliwangi yang saat itu di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Stilasi 7

Ada di persimpangan Jalan Lengkong Tengah dan Jalan Lengkong Dalam.

Stilasi 8

Terdapat di Jalan Jembatan baru. Daerah ini juga merupakan salah satu garis pertahanan pejuang saat terjadi pertempuran Lengkong.

Stilasi 9

Ada di SD ASMI, Jalan Asmi. Seperti yang saya bilang kalau kondisi ornamen Patrakomala di sini palling komplit. Begitu juga dengan batu prisma segitiga sama sisi tegaknya masih terawat dengan baik. Dulu, gedung sekolah ini pernah digunakan sebagai markas pemuda pejuang, Pesindo dan BBRI sebelum  peristiwa Bandung Lautan Api.

Stilasi 10

Posisinya ada di depan sebuah gereja di Jalan Mohamad Toha  yang pernah jadi  jalur utama pengungsian. Kalau gedung tempat beradanya Stilasi 1 merupakan tempat petama dibacanya naskah Proklamasi oleh warga Bandung, di sini pernah jadi gedung pemancar NIROM untuk menyebarluaskan proklamsi kemerdekaan. Bukan hanya disebarkan ke seluruh Indonesia tapi juga ke penjuru dunia, lho.

(sumber)

Alun-alun Bandung

Sebelum menyusuri 3 Stilasi lainnya (dari 10 stilasi yang ada) kami menyempatkan dulu untuk berfoto di lapangan alun-alun Bandung yang beralas rumput sintetis ini. Kalau memperhatikan format arsitektur alun-alun Bandung ternyata merupakan akulturasi dari kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi di seluruh pulau Jawa.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Kalau masih ingat, sebelum lapangan Alun-alun Bandung dilapisi dengan rumput sintetis, dulu di sini pernah berdiri dengan kokoh dua pohon beringin yang tumbuh. Jujur saja saya ga begitu tau dengan kebiasaan warga Bandung saat nongkrong di Alun-alun ini apakah ada perlakuan khusus dengan pohon beringin yang sekarang sudah tidak ada. 

Kalau di Yogya, sampai saat ini masih ada kebiasaan Masangin, yaitu berjalan dengan kondisi mata tertutup melewati jalan di antara kedua pohon yang ada. Konon katanya kalau berhasil melaluinya dengan lurus, keinginannya akan terkabul. Hmmm…

Monumen Bambu Runcing

Dari Alun-alun Bandung kami melanjutkan perjalanan ke ruas jalan Kepatihan  - Dalem Kaum. Di sini, depan mall Yogya kami berhenti di depan Monumen Bambu Runcing. Diduga kuat monumen ini mempunyai hubungan dengan perjuangan dua pejuang laskar wanita (Laswi) di mana pada saat itu Zus Willy da Zus Susilawati memenggal kepala tentar Gurkha dalam sebuah pertempuran di kawasan Ciroyom.  

Kepala tentara Gurkha ini sempat diarak dari jalan Cibadak sampai ke Markas Divisi III di Regentsweg (rumah kolonel AH Nasution yang sekarang jadi toko sepatu), sebelum diserahkan pada komandan Laswi yaitu Ibu Arudji.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Jangan khawatir soal keberadaan monument Bandung Lautan Api ini, karena pihak manajemen Yogya Kepatihan sudah berkomitmen dengan Legiun Veteran Republik Indonesia  untuk merawatnya.

Sakola Kautamaan Istri

Cagar sejarah yang masih bediri kokoh ini juga jadi salah satu titik yang kami kunjungi. Dulunya merupakan sekolah khusus untuk para wanita pribumi yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tanggal 16 Januari 1904 dengan nama Sakola Istri (pada tahun 1910 diganti namanya jadi Sakola Kautamaan Istri). 

Sekolah yang ternyata didukung oleh Inspektur Pengajaran Hindia Belanda,  yaitu Inspektur C. Den Hammer  ini mengajarkan  keterampilan dasar yang umumnya dipelajari oleh para perempuan seperti merenda, memasak, menjahit juga membaca dan menulis. Dibantu oleh saudara misannya, Dewi Sartika pun mengajarkan keterampilan lainnya seperti membatik dan bahasa  Belanda.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Jajan di Toko Roti Sidodadi

Roti yang enak di Bandung? Banyaaak. Tapi ga afdol kalau tidak mencicipi roti legendaris yang sudah ada sejak tahun 1954. Toko roti yang beralamat di jalan Otto Iskandardinata (Otista) no 255 dengan penampakan jadul ini tetap jadi toko roti favorit warga Bandung. Roti-rotinya dibuat dari bahan bebas pengawet dan cara memasak dengan menggunakan arang ini mempunyai  kurang lebih 30 jenis varian yang biasanya habis diborong pembeli sebelum jam 13. 

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Resminya toko ini dibuka jam 10 pagi tapi waktu kami datang ke sana sekitar jam 9, toko ini sudah melayani pembeli dengan cara membuka dan menutup pintu toko untuk membatasi pembeli yang datang. Kami sempat memborong beberapa roti yang ada di sana. 

Wangi roti yang menguar di ruangan toko sungguh menggoda. Menunggu pengunjug surut agar bisa dilayani? Jangan harap! Jadi sebelum kehabisan, setengah berteriak kalau perlu mintalah pelayan untuk melayani kita, mengambil roti atau kue mana saja yang akan dibeli.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Jangan lupa untuk membeli roti unggulan seperti roti Gambang, roti Krenten dan roti tawar Frans. Saya sendiri punya rekomendasi roti cinnamonnya. Aroma dan rasa kayu manis yang lembut saat dikunyah bikin kangen.

Mengunjungi Makam para Bupati Bandung

Kesan spooky biasanya identik saat mengunjungi komplek pemakanan. Entah karena kami bekunjung siang hari atau memang kondisi pemakamannya terawat dengan  baik, saya merasa biasa saja saat mengunjungi komplek pemakaman ini. Maksudnya tidak ada terasa hawa dingin yang mengusap bulu kuduk dan bikin saya pengen buru-buru meninggalkan area ini.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Di komplek yang juga dimakamkan  Dewi Sartika (rangkanya dipindahkan dari kuburan sebelumnya) saya sempat ngobrol dengan penjaga makan di sana.  Bisa dibilang kalau komplek pemakaman ini adalah kompleknya para menak (sebutkan untuk kaum ningrat) urang Sunda. 

Selain para Bupati Bandung, di sini juga dimakamkan para bupati kawasan Priangan lainnya juga para istri dan garis keturunannya. Diantarannya kerabat dari Raffi Ahmad dan Pegy Melati Sukma pun ada yang dimakamkan di sini.  Yang jela, ga sembarang orang bisa dimakamkan di sini.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Makam utama yang dinaungi payung di bagian paling depan adalah makam Bupati Bandung Raden Adipati Wiranatakusumah II yang merupakan Bupati Bandung ke-6. Beliau ini memerintah  pada tahun 1794 sampai dengan tahun 1829, juga yang memindahkan ibukota kabupaten Bandug yang saat itu dipusatkan di Dayeuhkolot. 

Ketika tiba di  Bandung, dengan menyusuri  sungai Citarum sampai ke sungai Cikapundung, beliau pernah menancapkan  tongkat yang ketika dicabut memancar mata air yang jernih. Kelak tempat mata air keluar ini dikenal dengan nama Sumur Bandung yang sekarang lokasinya terdapat di dalam gedung PLN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun