Mohon tunggu...
Efida Lubis
Efida Lubis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hubungan Internasional | Universitas Jember | 2022

Perempuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Boikot Israel: Dampak Ekonomi dan Politik Internasional

29 Februari 2024   12:28 Diperbarui: 29 Februari 2024   14:32 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia yang semakin terhubung secara global, aksi boikot terhadap perusahaan internasional yang mendukung Israel telah menjadi topik yang menarik perhatian dalam ranah ekonomi politik internasional. Dengan implikasi ekonomi, politik, dan internasional yang kompleks, boikot ini memunculkan berbagai pertanyaan tentang dampaknya terhadap pasar global dan hubungan antar negara. Dalam artikel ini, kita akan mengekplorasi sudut pandang ekonomi politik internasional terkait dengan fenomena ini.

Aksi boikot terhadap perusahaan internasional pendukung Israel telah menimbulkan kontroversi di berbagai belahan dunia. Hal ini dilakukan sebagai bentuk empati terhadap konflik yang terjadi di Gaza, Palestina. Alasan utama dilakukannya boikot terhadap Israel adalah untuk memprotes kependudukan Israel atas wilayah Palestina, pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Palestina, dan pembangunan pemukiman ilegal di wilayah Palestina. Boikot terhadap Israel dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain memboikot produk-produk Israel dan yang mendukungnya, memboikot perusahaan-perusahaan Israel, dan acara-acara yang diselenggarakan oleh Israel.

Konflik Israel dengan Palestina berdampak signifikan terhadap perusahaan-perusahaan Israel. Gangguan rantai pasokan akibat konflik menyebabkan perusahaan kesulitan mendapatkan bahan baku dan komponen penting, sehingga produksi dan pengiriman barang tertunda dan menimbulkan kerugian ekonomi. Penurunan permintaan ekspor akibat aksi boikot terhadap Israel juga memukul perusahaan Israel, menyebabkan berkurangnya permintaan dan pendapatan ekspor. Kenaikan biaya produksi akibat konflik juga menambah beban perusahaan, karena mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk keamanan dan perlindungan karyawan serta asset. Selain itu konflik ini menyebabkan penurunan pada sektor pariwisata karena wisatawan enggan mengunjungi Israel, sehingga berdampak negatif pada perusahaan pariwisata dan hotel. Isolasi internasional yang dialami Israel akibat konflik ini mempersulit perusahaan untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan asing dan mengakses pasar global.

Perusahaan-perusahaan besar Israel mengalami kerugian yang cukup signifikan. Kerugian-kerugian tersebut dialami oleh beberapa perusahaan Israel, salah satunya yaitu Carmel Agrexco, perusahaan ekspor pertanian terbesar di Israel. Carmel Agrexco mengalami likuidasi diakibatkan oleh aksi boikot besar-besaran di sejumlah wilayah. Akibatnya, petani-petani Israel mengalami kesulitan dalam ekspor hasil panen, sehingga hal ini memberikan dampak buruk bagi perekonomian Israel.

Aksi boikot terhadap Israel pada tahun 2023 telah menyebabkan penurunan permintaan ekspor Israel secara signifikan. Hal ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik Israel, pengeluaran swasta mengalami penurunan 26,3% sementara ekspor turun 18,3% dan investasi aset tetap anjlok 67,8%. Kerugian tersebut disebabkan oleh aksi boikot terhadap Israel yang dilakukan oleh negara-negara Arab dan tekanan dari organisasi-organisasi pro-Palestina di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Namun, pada sektor pengeluaran pemerintah terhadap biaya perang dan kompensasi dalam sektor bisnis dan rumah tangga mengalami kenaikan 88,1%. Kerugian yang dialami akibat dari hal ini menyebabkan hilangnya lapangan kerja dan penurunan pendapatan pemerintahan Israel. Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan bahwa ada sekitar 100 ribu pekerja Israel kehilangan pekerjaan mereka pada tahun 2023 akibat Aksi boikot Israel. Boikot Israel menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa di Israel dan negara-negara tetangganya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pasokan barang dan jasa akibat boikot, serta meningkatnya biaya transportasi dan distribusi.

Perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat dan Eropa seperti Orange, G4S, Veolia, General Mills, dan CRH juga telah menarik diri dari pasar Israel. Mereka melakukan hal tersebut setelah adanya kampanye boikot besar-besaran yang melibatkan perusahaan mereka. Kemudian beberapa perusahaan yang terkena dampak sosial atas aksi boikot ini diantaranya yaitu, MCDoland's dan Sturbucks. Restoran makanan cepat saji, MCDonald's mendapat kecaman setelah diketahui mengirimkan ribuan porsi makanan untuk Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Sama halnya dengan Starbucks, yang ikut mendapatkan kecaman akibat menggugat serikat pekerjanya, Starbucks Worker United, setelah organisasi tersebut mengunggah pesan di X, yang menyatakan solidaritas terhadap Palestina. Hal ini sangat mempengaruhi perusahaan-perusahaan mitra dari dua brand tersebut yang mengakibatkan turunnya pemasukan dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan mitra.   Dari contoh dua brand besar yang mengalami kerugian cukup signifikan, perusahaan-perusahaan lain menjadi takut untuk berinvestasi dan bekerja sama dengan Israel. Akibat dari hal ini, Israel kekurangan investor-investor luar.

Selain kerugian dari segi ekonomi yang dialami oleh Israel, Israel juga mengalami kerugian kekuatan politik internasional. Banyak negara yang akhirnya sepakat untuk memutuskan hubungan diplomasi dengan Israel untuk mengurangi risiko kerugian. Negara-negara tersebut diantaranya adalah Bolivia, Kolombia, dan Yordania yang memutuskan untuk memberhentikan hubungan diplomasi dengan Israel karena kejahatan negara tersebut terhadap rakyat Palestina. Wakil Menteri Luar Negeri Bolivia, Freddy Mamani, pada konferensi pers menyatakan bahwa Bolivia memutuskan hubungan diplomatik dengan negara Israel sebagai penolakan dan kecaman atas serangan militer Israel yang agresif dan tidak proporsional yang terjadi di jalur Gaza.

Israel juga kehilangan respect dari negara-negara besar yang menolak aksi serangan di jalur Gaza, hal tersebut terbukti ketika debat terbuka Dewan Keamanan (DK) yang berlangsung di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat, pada Selasa (23/1/2024) terkait isu Palestina. Pada saat Duta Besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Gilad Erdan menyampaikan pidatonya, sebagian besar Menteri Luar Negeri melakukan Walk Out, termasuk Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Dalam debat terbuka tersebut, Retno secara tegas menentang pernyataan dari Benjamin Netanyahu, selaku Perdana Menteri Israel yang menolak pembentukan negara Palestina.

Dalam menanggapi reaksi dari sebagian besar negara atas konflik yang dilakukan oleh Israel di jalur Gaza, Palestina. Israel berusaha untuk melobi perusahaan dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris. Dalam pelaksanaan sidang PBB yang berlangsung di Amerika Serikat, negara Israel masih dapat berpartisipasi dan mengikuti jalannya sidang. Salah satu sidang yang membahas tentang gencatan senjata antara Israel dan Palestina, hampir 3/4 negara anggota PBB menyetujui adanya gencatan senjata, namun keputusan PBB tidak demikian.  Selain itu, Israel juga melakukan lobi pada negara Inggris, dengan melemahkan beberapa organisasi BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi). Langkah yang diambil oleh negara Inggris yaitu melarang kelompok BDS terkemuka, Kampanye Solidaritas Palestina, untuk beropresi di Inggris. Israel juga berhasil menarik beberapa investasi dari perusahaan yang mendukung BDS.

Kebijakan yang telah dilakukan oleh Israel dapat mengurangi kerugian yang telah dialami akibat dari gerakan boikot, namun efek yang dihasilkan tidak terlalu berdampak besar. Hal ini dikarenakan besar kecilnya dampak dari aksi boikot ini tergantung dari seberapa besar gerakan boikot ini dilakukan. Semakin banyak aksi boikot dilakukan, akan memberikan peringatan kepada banyak perusahaan dan negara yang akan melakukan kerja sama dengan Israel.

Adapun dampak yang menimpa Israel akibat dari adanya aksi boikot ini tidak terlalu signifikan. Israel merupakan negara pengekspor barang intermediet atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain dengan persentase produksi mencapai 40%. Israel juga mengekspor 50% barang diferensiasi atau barang yang tidak dapat digantikan, seperti chip komputer. Namun, aksi boikot tetap mempengaruhi kepercayaan investor dalam melakukan investasi terhadap Israel karena adanya kemungkinan mengalami kerugian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun