Seorang wanita menekuri tiket kereta api terakhir, kepergian mendadak dan di saat terakhir mendapatkan tiket dengan harga yang lebih murah, sebuah kereta bisnis menuju ke ibukota.
Seperti  robot dia menyeret koper ukuran kabin dan duduk bersandar di ruang tunggu, di sebuah peron stasiun kereta api terbesar di kota. Pikiran dan hatinya kosong, tatapan matanya kosong dan berkilat oleh airmata yang sepanjang jalan tak henti-hentinya menetes dari pelupuk matanya dan dia berusaha mengerjapkan matanya, saat pandangannya kabur oleh derai airmata yang tidak bersahabat untuk disuruh berhenti.
Sudah sebulan ini dirinya tidak mengurusi dirinya sendiri, tidak pernah makan dengan baik, tidak pernah mengurus wajahnya, ada sesuatu yang hilang  yang terus menerus disesalinya.
Dia pergi ke ibukota untuk menyelesaikan janji lama yang belum dia lakukan, sebuah janji .
Sepertinya segala sesuatu tertata untuk dipisahkan sebelumnya, manakala kehilangan itu, Â ketika dia dan suaminya habis bertengkar paling hebat dari seluruh pertengkaran selama pernikahan mereka selama sepuluh tahun.
Sepuluh tahun pernikahan yang sangat harmonis, seorang suami yang penyabar dan seorang istri yang setia dan ramah, entah kenapa hari- hari sebelum kehilangan itu, suaminya pemurung dan sangat pemarah, sehingga dia berfikir apakah suaminya tergoda wanita lainnya.
Hari-hari dingin itu berlanjut hampir sepuluh hari, dia bertanya pada suaminya apa yang terjadi dengan pekerjaannya. Tidak ada, tidak ada masalah katanya. Tetapi dia bahkan tidak mempercayai semua kata suaminya, yang biasanya begitu terbuka  tentang masalah yang ada dan mereka berdua saling memberi saran.
Hari naas itu adalah hari ketika suaminya bertugas sebagai  wakil dari perusahaan tempatnya bekerja, ada sesuatu yang tersembunyi, kecelakaan itu tidak masuk akal karena suaminya sangat sehat dan sigap.
Ia menekuri lagi tiket keretanya, mengecek nomer kursi dan menatap ke jendela, ketika seorang pemuda  dengan tatapan mata kosong mengangguk dan lalu duduk di kursi sampingnya.
Wanita itu menatap jendela, bulir airmata memburamkan pandangannya, pada rumah-rumah kumuh di sepanjang rel kereta api dan begitu dekat dengan rel itu terpasang.
Pemuda di sampingnya sama diamnya, ada sesuatu yang menarik perhatiannya, tato petir di dekat jempol  tangan kanan pria itu, tato petir, tato petir ...
Pemuda bertato petir di dekat jempol tangan kanan, menuju ibukota, perasaan bersalah terus mendera karena mencelakai seseorang. Itu karena dirinya butuh uang untuk membayar hutang cukup besar karena ditipu oleh investasi yang menggiurkan dan ternyata penipu wahid. Pamannya memberi informasi tentang siapa pria yang menipunya dan memberikan solusi bagaimana cara menuntaskan semuanya.Â
Pria penipu itu terlempar dari kereta saat menjelang kereta berhenti, pria muda bertato di dekat jempol tangan kanannya yang mendorongnya dari pintu kereta, begitu pintu terbuka di ujung satunya.
Lalu menyadari kesalahannya, pamannya memanfaatkan frustrasi dan kelemahan dirinya, pria yang didorongnya justru sedang menyelidiki investasi itu, ini saatnya menebus dosa dengan menyerahkan diri dan pamannya sendiri sebenarnya penipunya dan dia juga akan menuntut agar pamannya dihukum juga.
Dalam perjalanan kereta, pria bertato bercerita pada seorang wanita yang duduk di sampingnya, bagi patung dan robot dan airmata yang terus menerus menetes dari pelupuk mata wanita itu.
Sang wanita memejamkan matanya, ingatan akan catatan buku harian suaminya tentang teror dari pemuda bertato yang tak dikenal oleh suaminya, di kantor suaminya.
Sepanjang perjalanan kereta, sang pembunuh dan istri korban saling berbicara, lalu hukum bertindak selanjutnya.
Beberapa minggu sesudahnya, wanita itu bicara pada  nisan suaminya, janji telah terlaksana dan tabir terbuka.
 Cerita imajinasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H