Penulis cilik adalah sebutan berlebih-lebihan, ketika kelas lima Sekolah Dasar ada lomba menulis dan menjadi nomor satu tanpa hadiah apa-apa dan kebanggaan dekat dengan guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelas (guru SD jaman dulu merangkap jabatan dan mengajar semua mata pelajaran).
'Teruslah menulis, kamu punya bakat. Aku punya mesin ketik di rumah, pakai saja"
Wah itu luar biasa. Pak guru SD-ku meminjamkan mesin ketik manual agar saya terus menulis dan bisa menerbitkan buku waktu itu.
Tiap sore sepulang sekolah dan melaksanakan tugas rumah seperti memasak oseng-oseng tempe untuk lauk dan membantu pekerjaan rumah (yang sekarang jarang dilakukan anak-anak saya). Saya datang ke rumah pak guru, bukannya bermain dengan putrinya yang juga kawan sekelas saya, saya meminjam mesin ketik itu sampai hampir lulus SD. Lalu kehilangan jejak ketika saya mulai SMP dan berhenti meminjam mesin ketik karena sebagai petugas perpustaakan SMP saat jam istirahat, saya bisa mengetik sehabis jam sekolah, satu dua jam. Buku tidak jadi dicetak karena sistimnya penulisnya yang bayar lalu menjual sendiri. Anak SMP tidak punya duit untuk mencetak buku.
Saat SMP ada Majalah Dinding alias Mading yang diurus langsung dan diedit oleh bu guru Bahasa Infonesia. Tiga hati sekali diganti yang ditempelkan olah anak yang piket. Tiga hari sekali tiga sampai enam puisi saya  yang saya kumpulkan atau kadang ditanyakan oleh bu guru
'Efi, puisimu mana?'
Apa saja bisa jadi puisi, entah bunga Sakura atau Mawar atau apa saja, terbaca di mading. Dan kadang ada yang bilang
Kok bisa banyak banget bikin puisinyaÂ
Saya bilang, sudah terbiasa.
Satu kejadian karena saya juga suka dolan ke tempat teman, diajak ke sebuah gua tersembunyi yang besarnya mungkin separo batu caves dan berada di dalam tanah.
Saya menuliskan reportase tentang gua itu tanpa foto (kamera masih sesuatu yang sangat mewah).Reportase saya tulis dalam bahasa Jawa dan saya ketik saya kirimkan ke Surat Kabar Jateng'Parikesit'. Saya pikir anak smp kelas satu atau dua, menulis di koran regional meski sekedar reportase, saya tidak menunggu apa-apa.