Mohon tunggu...
Efi anggriani
Efi anggriani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Menulislah dan biarkan tulisanmu mengikuti takdirnya-Buya Hamka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perundungan Itu Seperti Gunung Es

17 April 2019   06:53 Diperbarui: 17 April 2019   13:32 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekedar ilustrasi.

Sebenarnya saya tidak ingin mendefinisikan apa itu perundungan atau bullying.Saya hanya ingin bercerita.

Yang pertama ketika suatu siang pulang dari sebuah pertokoan ,saya dan suami saya sengaja berjalan melewati gang di belakang toko itu menuju sebuah pasar tradisional.Gang itu sangat sepi,siang kira-kira jam satu  dan mendapati kumpulan anak-anak lelaki dengan seragam Sekolah Dasar ,kira-kira tujuh orang.Kemungkinan besar mereka sudah pulang sekolah dan begitu saya perhatikan keenam anak itu sedang menghajar salah seorang temannya dan saya langsung berteriak"Hei!..Do ngopo kui?"(Pada ngapain?".

Buku-buku berserakan dan sebuah tas ransel usang tergeletak.Tiba -tiba rasa marah yang entah kenapa saya berteriak kasar.

"Mau tak telponkan pak polisi?Mana rumah kalian ?"

Mereka langsung bilang:

"Mboten kok..mboten(Enggak kok Enggak)"

Maksutnya?

Maksutnya sudah biasa seperti itu dan hanya bercanda.

Apaan!

Dan si anak yang dihajar tadi badannya kecil kerempeng.Hanya diam memunguti buku-bukunya.Yang lain langsung kabur dengan sepeda masing-masing.

Tidak banyak cakap,anak itu saya suruh pulang dan saya suruh untuk berani.Berani,ya berani,juga berani bilang pada orang tuanya.Karena apa?karena kadangkala pas anak pulang sekolah,pas kedua orang tua bekerja,tidak tahu bahwa anak tersebut baru saja digebukin pake tas oleh teman-temannya.Tas berat berisi tumpukan buku-buku.

Yang kedua pas lewat sebuah Sekolah Dasar seorang anak perempuan menangis dan  beberapa temannya ternyata mengolok-olok dia dan bilang"cengeng-cengeng" sambil tertawa-tawa.Saya tidak bertanya pada anak itu.

Yang ketiga ,peristiwa traumatis ketika saya kelas enam SD kalau tidak keliru,seorang teman lelaki ditemukan menggantung diri di pohon dekat sebuah jembatan,dan saya lalu teringat anak itu memang menjadi sasaran olok-olokan teman yang lain karena kebetulan berkali-kali tidak naik kelas dan sering diejek sebagai 'wong edan' dan semua teman pria menjauhi serta tidak mau berteman dengannya.

Saya rasa perundungan itu bisa menimpa siapa saja,karena perundungan itu bisa berupa perkataan verbal bukan hanya secara fisik menurut saya dan sifatnya adalah untuk menunjukkan bahwa yang satu lebih superior dan yang satunya inferior.

Disitulah dibutuhkan tameng,untuk ukuran anak kecil yang masih labil memang lebih rentan tapi yang sudah dewasa pun bisa juga sama rentannya.

Kasus Chester Bennington misalnya,orang tidak pernah melihat bahwa sebenarnya ada sesuatu yang belum selesai dengan masa lalunya yaitu 'rasa sakit',merasa direndahkan dan lain sebagainya dan biasanya berakhir dengan muncul pada pikiran bawah sadar yang terus menerus bicara di otaknya dan berakhir dengan depresi.

Orang-orang yang pernah mengalami perundungan akut di masa lalunya,sebenarnya harus diselesaikan,atau semacam diterapi.

Baiklah ,saya bukan ahli psikologi tapi saya hanya mau bilang,sakit psikis itu tidak terlihat dan itu lebih sulit diketahui kalau tidak diungkapkan.

Dan coba,apa yang akan terjadi dengan anak-anak kurban bullying?

Saya rasa ada tiga hal:

Pertama sembuh dengan seluruh kekuatannya  berdamai dengan yang dilaluinya dan akan menjadi orang yang hebat nantinya.

Yang kedua bisa menjadi anak yang terpuruk dan terus down hingga depresi.

Yang ketiga bisa menjadi orang yang sangat pendendam dan pembenci karena merasa tidak pernah ada yang menyayanginya.

Sesungguhnya menyepelekan efek mental akibat dibully itu sangat tidak pas bagi masa depan anak-anak korban perundungan.

Saya tidak ingin sok menggurui,tapi mari kita didik'olah roso',mata batin anak-anak kita,berikan lingkungan yang kondusif di rumah maupun di sekolah.Kalau perlu pasang CCTV  di lorong-lorong sekolah yang lumayan sepi.

Apakah itu masuk akal?

Mulailah dari yang sederhana.Berilah contoh.

Pemikiran ini bersifat subyektif.

Apa itu'olah roso'?

Menumbuhkan Empati pada orang lain.

Sesuatu yang tajam pada nurani yang harus diasah sehingga anak-anak tidak melakukan perundungan pada orang lain hanya supaya terlihat hebat.

Kadang bertanya,apa yang akan terjadi dengan anak-anak kurban bullying itu?

Apalagi jika orang tuanya di posisi inferior daripada orang tua pembully.

Dan kuasa bicara.

Itu akan menjadi sebuah gunung es yang lalu muncul mengagetkan.

Masuk akal kah kalau ditentukan batas umur memiliki akun media sosial?

Sidak sewaktu-waktu apa konten di Hp anak-anak sekolah,sewaktu-waktu tanpa memberitahu.

Saya hanya bertanya.

Perundungan harus dihentikan.

Apakah itu terlalu  idealis?

Inilah tipe idealis.Ya begini.

Yang sesungguhnya hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anak.

Tapi mari kita lihat.

Pada jaman dulu ada orang tua yang menghajar anaknya,itu sudah biasa dan kemudian ada payung hukum ,begitu juga dengan perundungan,supaya anak-anak tahu bahwa akan ada konsekuensi jika melakukan perundungan ,sehingga mereka berhati-hati dan  berusaha tidak melakukannya.

Tulisan ini bersifat subyektif dan  hanya berfikir  dunia ini ternyata sangat keras.

Pertanyaan jangan tanya ke saya.

Ini hanya uneg-uneg saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun