Umat Islam sudah menyambut hari Idul Fitri. Ada kegembiraan sekaligus kesedihan. Umat Islam beruntung memiliki bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits Rasul memberi kabar, bila saja umat Islam mengetahui melimpahnya rahmat Allah swt di dalamnya, niscaya umat menginginkan bulan Ramadhan pada semua bulan. Beruntung pula umat Islam ditaklif untuk beribadah puasa sebulan penuh di dalamnya. Sebabnya, puasa hamba-Ku kata Allah swt adalah untuk Ku. Demikianlah puasa pada tataran spritualnya.
Pasca Ramadhan ini, maka kita pun semoga mulai bertanya-tanya bagaimana impact ibadah puasa Ramadhan pada kehidupan sosial setelahnya. Maksud kehidupan sosial yangdimaksud di sini mencakup aspek politik, ekonomi, budaya, dan yang lainnnya.
Hal ini menarik karena apa? Dewasa ini kita bisa mengatakan kita masih berada di tengah krisis multidimensional. Korupsi yang merajalela, kriminalitas yang menggila, pergaulan bebas yang menyedihkan, dan berbagai problem lainnya.
Ditilik dari sisi ekonomi, masalah kriminalitas seperti korupsi, perampokan, pelacuran, sering dikatakan karena tuntutan perut. Atau kalau tidak demikian, dikarenakan oleh prestise yang melekat dalam tren kehidupan materialistik.
Tidak dapat dipungkiri, sekarang kita di bawah naungan kehidupan ekonomi yang materialistik, maka kita pun dipacu untuk hidup konsumtif. Membeli dan terus membeli. Berbagai produk pasar membanjiri dan secara sugestif membujuk kita membeli apapun, sekalipun bukan kebutuhan kita.
Di samping itu, dalam ekonomi yang kapitalistik ini, manusia tumbuh untuk menguasai. Sumber daya alam dieksploitasi untuk memenuhi pundi-pundi kantong segelintir pihak. Gunung demi gunung digali untuk menguasai emas hitam. Hutan demi hutan ditebang untuk menguasai batang-batang pepohonannya. Tenaga manusia diperas, bak budak, tanpa timbal balik gaji.
Bersamaan dengan itu kita pun menjadi manusia yang sekuler. Manusia yang menduniawikan apa pun, tanpa melihat lagi adanya konsekuensi keakhiratan di dalamnya. Kita bekerja untuk mencari rezeki, untuk melanjutkan kehidupannya, namun menghalalkan segala cara yang mestinya haram. Tidak lagi menimbang mana rezeki yang halal baginya. Kita mendapat jabatan sebagai amanah, namun untuk keuntungan pribadi kita berani mengkhianati amanat umat.
Sedikit atau banyak, dalam kehidupan sekarang bisa jadi kita terkena imbasnya. Mungkin kita menjadi pelaku yang berperilaku materialis, konsumtif, hedonis, egois, dan sekuler. Di sinilah kita merenungi sejenak terminologi puasa yang berarti menahan (al imsaq).
Mencuplik pemikiran reflektif Muhammad Ainun Najib dalam bukunya Tuhan pun Berpuasa, “Puasa adalah kegiatan menahan (diri.-pen) di tengah kebiasaan melampiaskan dan menumpahkan”, demikian tulis Cak Nun. Dengan kata lain, dan ini sering kita dengar daripara mubaligh, bahwa dalam Ramadhan kita dilatih untuk menahan, menundukkan atau mengendalikan nafsu yang sifatnya menuntut.
Cak Nun juga menulis “hakikat puasa mengajari kita untuk menghayati bahwa dalam kehidupan, kita tidak hanya bergaul dengan hak,tapi juga kewajiban, larangan dan anjuran”. Sebagaimana dalam berpuasa kita berhadapan dengan kewajiban menahan diri dari segala atau menghindari larangan yang dapat membatalkan puasa dan pahalanya. Maka dalam kehidupan di luar Ramadhan pun demikian, apalagi sekupnya lebih luas. Banyak aktivitas yang wajib kita kerjakan. Ada pula larangan yang harus kita jauhi. Sederhananya itulah pengertian takwa. Mengingat tujuan dari ibadah puasa adalah ketakwaan, maka hasil tersebut dapat dibawa atau berlanjut pada masa-masa pasca Ramadhan.
Kalau makna puasa yang demikian dapat kita hayati, maka kita berharap pasca Ramadhan ini semoga perilaku kita yang hanya melihat hak saja sementara meremehkan kewajiban dan larangan dapat berubah. Perilaku konsumtif semoga dapat kita rubah. Perilaku menghalalkan segala cara dalam mendapatkan rezeki, pangkat jabatan dsb mudah-mudahan terkikis. Oleh karena itu sebenarnya, pasca Ramadhan ini kita pun masih wajib ber”puasa”. Puasa Ramadhan ibarat rantai yang berkaitan dengan “puasa” setelahnya, selalu berputar, tidak berhenti.
Sebagai penutup, mari kita santap renungan (alm) KH. Zainudin MZ saat bertausiyah tentang puasa. Menyenggol penyelenggara negara beliau berpesan bahwa semestinya para pejabat saat berangkat ke kantor niat puasanya, nawaitu shauma ghadin-nya harus dikencangkan. Bukan sebaliknya, Allahumma laka shumtu-nya. Kalau niat para penyelenggara adalah niat berbuka, maka pasti berlebih-lebihan, ambil ini ambil itu, korupsi massal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H