Mohon tunggu...
Fadlan Hidayat
Fadlan Hidayat Mohon Tunggu... -

belajar menuangkan pikiran;

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menuju Penentuan 1 Syawal yang Sehat

4 September 2011   04:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:15 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan penentuan 1 Syawal memberikan kesan tersendiri bagi umat Islam di negeri ini. ada yang menyikapinya dengan bijak namun ada pula yang tidak. Sekalipun memang perbedaan penentuan 1 Syawal yang terjadi perlu disikapi secara kritis.

Sebabnya apa yang terjadi di lapangan, yaitu ketika berlangsungnya proses penentuan hilal dengan rukyat, setidaknya tiga titik di negeri ini berhasil melihat hilal. Tim-tim pemantau rukyat yang berhasil melihat hilal pun sedia diambil sumpahnya (voa-islam.com, 30/8).

Pengetahuan tentang penetapan 1 Syawal dengan metode rukyat akan sah sekalipun hanya satu orang saja yang menemukan atau melihat hilal. Namun yang terjadi tidak demikian. Ketika hasil-hasil tim pemantau rukyat di bawa ke sidang penetapan 1 Syawal kemenag, hasil tim pemantau rukyat yang berhasil melihat hilal dianulir. 1 Syawal pun ditetapkan tanggal 31 Agustus atau hari Rabu.

Ijtihad seseorang tidak akan menggugurkan ijtihad yang lainnya. Konsekuensi terlihatnya hilal atau awal bulan syawal, maka puasa Ramadhan pun berakhir dan haram berpuasa pada 1 Syawal. Umat Islam yang meyakini bahwa hilal telah terlihat pada Senin petang pun melaksanakan shalat ied hari Selasa. Sementara umat Islam yang mengikuti ketetapan pemerintah, melaksanakan shalat ied hari Rabu. Perbedaan sepanjang memiliki argumen memang merupakan keniscayaan. Itupun kalau salah satu pihak ternyata keliru atau lemah dalam argumennya, maka dengan jiwa besar mengikuti argumen yang lebih kuat dan kemungkinan benarnya besar.

Penentuan hilal melalui metode rukyat kita serahkan saja pada elemen yang berkompeten. Para ulama’, ahli falak, dan lainnya. Hal yang mengusik penulis adalah bahwa terjadi saling klaim benar-salah oleh umat yang awam terkait penetapan 1 Syawal tersebut. Sebagian umat Islam yang awam dengan entengnya melontarkan pendapat atau pernyataan dan menganggap pendapatnya lah yang benar. Padahal mereka pun tidak memahami bagaimana landasan penetapan hilal, atau bagaimana fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan ketika penentuan hilal tersebut berlangsung.

Pihak awam yang demikian biasanya hanya mengambil atau melihat informasi dari satu sumber saja, sebutlah televisi. Sementara mereka karena aktivitas lainnya, tidak selalu menyimak perkembangan berita yang terjadi atau disiarkan oleh televisi. Atau pada televisinya, yang karena di dominasi suguhan hiburan, akhirnya hanya menyampaikan berita terkait penentuan 1 syawal secara tidak lengkap dan utuh (parsial).

Padahal peristiwa seperti penetapan 1 Syawal, merupakan peristiwa yang berlangsung cepat, dan terkategori sangat penting atau sangat dibutuhkan. Dengan kata lain, pemberitaan penentuan 1 Syawal memerlukan verifikasi yang utuh dan akurat. Pemberitaan yang hanya menampilkan satu sumber berita saja tentu tidak akan maksimal. Apalagi ketika sumber utama, sebutlah dari pemerintah ditetapkan seolah sebagai yang benar.

Demikianlah yang terjadi, masyarakat kita masih menjadikan televisi sebagai referensi utama. Namun banyak chanel televisi yang masih menyandarkan pemberitaan pada sumber berita saja dan memberi porsi kecil pada sumber selainnya. Dalam kasus ini (juga beberapa yang lain), televisi cenderung menjadikan pemerintah sebagai sumber berita utamanya ketimbang sumber di luar pemerintah. Selebihnya, pemberitaan dari sumber non pemerintah hanya bergulir melalui teks berjalan yang tidak semua masyarakat membacanya.

Padahal ketika menelurusi internet, maka akan didapatlah pemberitaan berbeda dari sumber lainnya. Dari internet juga atau situs berita on line, kita melihat perkembangan yang cepat terkait suatu pemberitaan. Misalnya bagaimana, Idul Fitri pada hari Selasa (30/8) tidak hanya dilaksanakan oleh jama’ah dari ormas seperti Muhamdiyah, MMI, FPI atau HTI, melainkan warga nahdiyin sekalipun (republika.co.id, 30/8).

Sekali lagi, perbedaan lumrah terjadi. Hanya saja bagaimana perbedaan itu juga memiliki sandaran atau argumen yang dapat dibandingkan. Harapannya agar sandaran, argumen atau dalil yang lemah dapat berbesar jiwa menerima yang lebih kuat. Ada rukyat global msalnya yang dapat mewujudkan penyatuan 1 Ramadhan maupun 1 Syawal. Belum lagi ditambah semakin canggihnya teknologi. Apalagi bagi umat Islam, perayaan Idul Fitri atau 1 Syawal merupakan syi’ar keagamaan sekaligus syi’ar persatuan umat. Ini betul-betul menjadi renungan bersama.

Selanjutnya kita perlu menghindari penyikapan perbedaan yang tidak sehat. Terlebih dalam tubuh umat Islam sendiri. Pada kasus penetapan 1 Ramadhan atau 1 Syawal dan penanggalan lainnya, umat harus menerima edukasi yang baik. Penentuan 1 Ramadhan atau 1 Syawal merupakan siklus tahunan, sehingga mestinya elemen-elemen umat yang kompeten dapat lebih optimal dalam hal ini. semoga tahun berikutnya, penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, juga momen lainnya dapat berlangsung dengan sehat. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun