Mohon tunggu...
Fadlan Hidayat
Fadlan Hidayat Mohon Tunggu... -

belajar menuangkan pikiran;

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyikapi RUU BPJS dan UU SJSN

27 Juli 2011   14:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:19 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memprihatikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini masih banyak rakyat yang hidup dalam keadaan tidak layak. Kondisi termasuk kesulitan mereka dalam mendapatkan dan memenuhi kebutuhan hidup seperti kesehatan, pendidikan, dsb.

Tentu keadaan tersebut jauh dari sebuah titik ideal atau cita-cita kemerdekaan. Bagaimana pun keadaan yang niscaya itu perlu dientaskan.

Dalam rangka hendak mengentaskan persoalan tersebutlah kemudian pemerintah mengusulkan RUU BPJS. RUU BPJS sendiri merupakan turunan dari UU SJSN (UU No.40/2004). Sampai kini pemerintah bersama DPR masih menggodok RUU BPJS tersebut. Hal yang membuat pembahasan RUU berjalan alot disebabkan tidak dicapainya kesepakatan antara pemerintah dan DPR untuk melebur 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK Dan ASKES) menjadi BPJS.

Sementara itu, selain tidak tercapainya titik temu mengenai peleburan 4 BUMN di bidang layanan jaminan sosial, di luar parlemen pun terjadi pro dan kontra. Setidaknya ada dua poin yang mendapat perhatian kritis dari RUU BPJS dan UU SJSN, sehingga melahirkan pro kontra.

Pertama, adanya kesan bahwa UU SJSN dan RUU BPJS mengalihkan jaminan sosial dari hak warga negara menjadi kewajiban warga negara. Mengapa demikian? Persoalannya ternyata baik pada UU SJSN dan RUU BPJS termuat bahwa rakyat dipungut iuran (Pasal 8 tentang Tugas BPJS) untuk mendapatkan jaminan sosial dan wajib menjadi peserta (Pasal 11 tentang kepesertaan).

Sontak saja menyembul pertanyaan, “Mengapa oh mengapa?”. Bukankah jaminan sosial merupakan hak rakyat yang telah dijamin oleh negara dan UU? Maka tidaklah heran jika kemudian pihak yang menolak RUU BPJS dan UU SJSN menilai apa yang diatur dalam RUU BPJS bukan jaminan sosial melainkan asuransi sosial. Pada UU SJSN pasal 19 (ayat 1) misalnya tertulis, “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”.

Jaminan sosial dan asuransi sosial tentu adalah hal yang berbeda. Jika jaminan sosial merupakan hak yang didapatkan oleh rakyat dari negaranya. Maka asuransi sosial justru menggambarkan sebuah permintaan dan penawaran terhadap suatu pelayanan, antara konsumen dan penyedia layanan dengan sistem premi.

Pada jaminan sosial, rakyat merupakan pihak yang otomatis mendapatkan jaminan dari negara. Pemberian jaminan sosial tidak lain merupakan tugas atau fungsi negara serta untuk mewujudkan cita-cita negara. Berbeda halnya dengan asuransi, dimana suatu lembaga menarik premi ke konsumennya untuk menjamin kerugian atau peristiwa yang menimpa konsumennya. Sehingga memang sifatnya seperti transaksi ekonomi.

Berdasarkan hal tersebut, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan, kalau jaminan sosial semestinya tidak pakai premi (iuran). Negara yang semestinya menanggung.

Dengan dasar itu pula, Anggota Wantimpres, Ibu Siti Fadillah Supari misalnya menyebutkan bahwa RUU BPJS dan bahkan UU SJSN inkonstitusional. Selain Siti Fadillah, Serikat Pekerja Buruh dan Ormas Islam seperti HTI juga memiliki sikap yang sama.

Sangat disayangkan jika terjadi hal demikian. Akan terjadi kemunduran dalam pelayanan negara pada rakyat. Mengapa untuk menjamin kesehatan warga negara misalnya, negara memungut dana untuk itu dari warga negaranya? Apakah pemasukan dari kekayaan alam yang melimpah dan potensi lainnya sudah demikian kecil atau tidak ada?

Kedua, pihak yang menolak UU SJSN dan RUU BPJS melihat ada perangkap neoliberal dalam proses legilasinya. Keterlibatan dan dukungan (tekanan) dari lembaga donor serta keuangan dunia tidak bisa dipungkiri.

Lukman Hamkim dari Front Nasional Perjuangan Buruh mengelaborasi adanya kepentingan modal asing yang besar yang mendalangi lahirnya RUU BPJS. Lukman dan rekan-rekan menunjuk pada Asian Development Bank yang rela mengucurkan dana 250 juta dollar Amerika. Padahal tidak ada makan siang gratis dari setiap bantuan pihak asing, apalagi instrumen kapitalisme global macam Bank Dunia dan ADB.

Peleburan empat BUMN mengindikasikan hal tersebut. Empat BUMN yang berada di bawah pemerintah itu berusaha dialih pindahkan menjadi badan hukum atau diprivatisasi. Beralihnya empat BUMN menjadi badan hukum selanjutnya membuka peluang investasi. Di sini kemudian, para pemodal dapat menanamkan investasinya.

Melihat kedua poin di atas, kita dapat menemukan benang merah bahwa ada pihak-pihak berkepentingan yang hendak semakin menggeser peran negara menjadi “perusahaan”. Pemerintah menjadikan warga negaranya sebagai “pembeli” atas kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, kalau warga negara ingin mendapatkan jaminan sosial, maka harus bayar iuran. Bahkan dalam UU dan RUU terkait ada sanksi yang diberikan kepada warga negara yang tidak mendaftar dan membayar iuran.

Bukan kali ini saja pemerintah “angkat tangan” dari kewajibannya sebagai pelindung dan penjamin kebutuhan warga negaranya. Pengurangan subsidi pendidikan, BBM, listrik, air bersih dsb contoh nyatanya.

Secara bersamaan pihak asing justru semakin kuat mencengkram negeri kita. Asing menguasai sektor-sektor yang menjadi hajat hidup orang banyak melalui investasi-investasinya. Sektor tambang dan mineral, migas, air bersih, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, asuransi telah didominasi oleh Multinasional Koperasi asing. Pandangannya dalam memenuhi atau melayani hajat hidup rakyat Indonesia pun bukanlah bersifat derma sosial, melainkan ekonomi. Sehingga kita bisa melihat dan merasakan, pada kebutuhan hidup sering terjadi kenaikan tarif. Dan bagi rakyat kecil makin sulit untuk menjangkaunya. Inilah yang disebut mantan Presiden BJ Habibie dengan “VOC berbaju baru”.

Oleh karena itu diperlukan kepekaan serta komitmen bersama untuk mengembalikan fungsi negara sebagaimana mestinya. Perihal RUU BPJS dan UU SJSN, terlihat bahwa jaminan sosial yang hendak diwujudkan dengan prinsip asuransi sosial. Sementara jaminan sendiri pada UUD 45 adalah hak warga negara. Demikianlah mengapa RUU BPJS dan ibu kandungnyamesti ditolak.

Tidak hanya dalam jaminan sosial tetapi pada persoalan lain yang sudah menggeser fungsi negara dalam melindungi dan melayani rakyat. Dalam rangka tujuan mengembalikan fungsi negara sebagaimana mestinya inilah gotong royong yang sering kita lafalkan mulut demi mulut, dikerahkan dengan nyata. Bukan malah gotong royong (baca:mendukung kebijakan) yang justru mengantarkan warga negara kian terlantar dan jauh dari keadilan sosial.[]

lihat versi terbitnya di sini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun